bc

DOKTER TAMPAN ITU SUAMIKU

book_age18+
3.4K
FOLLOW
28.8K
READ
arranged marriage
sweet
city
virgin
wife
like
intro-logo
Blurb

Menikah?

Oke, tapi bukan karena test pack sialan yang menunjukkan hasil positif. No!

Sasmitha memang sudah berumur, tapi dia tak mungkin menikah hanya gara-gara perkara konyol itu. Apalagi sama orang yang sama sekali tak dia kenal.

Ini semua gara-gara Dokter Ashkan. Andai dia tak memberi test pack sialan itu, Sasmitha tak akan diburu sang ibunda untuk segera menikah.

"Mama, jodoh, rezeki, dan maut itu udah ada yang ngatur," kata Sasmitha.

"Iya, Mama tau. Kalau sampai sekarang kamu nggak nikah-nikah, itu artinya kamu yang susah diatur."

Lalu, bagaimanakah kisah Sasmitha dan Dokter Ashkan hingga bisa ke pelaminan?

chap-preview
Free preview
Hasil Test Pack Positif
"Jangan-jangan kamu hamil? Gawat, Mith! Anak siapa itu? Gimana perasaan Nyobes kalo tau kamu hamil?" Nyobes adalah mamaku. "Jangan sotoy, deh, Mak! Mana mungkin aku hamil? Nikah aja belum!" semburku. Namun, sepertinya Tiana tak peduli. Dia melanjutkan aksinya menakut-nakutiku. "Heh, sekarang itu banyak ya kejadian hamil di luar nikah. Jujur sama aku, Mith." Astaga! Rasanya aku ingin sekali menyumpal mulut Tiana yang seperti ember bocor. "Jangan kenceng-kenceng ngapa? Malu-maluin banget, sih?" Aku sangat geram kepada Tiana. Bisa-bisanya dia tidak menjaga omongan di tempat umum seperti ini. FYI, malam ini kami sedang ada di taman, menikmati malam Sabtu selepas kerja. Kebetulan malam ini suami Tiana sift malam, jadi dia bisa bebas pergi bareng aku. Kalau besok, jangan harap. Tiana pasti disekap suaminya di kamar. Mereka kan pasangan m***m. "Jujur aja deh, Mith. Kamu ngelakuin ini sama siapa?" Tiana berbisik-bisik, tetapi masih saja bisa didengar orang-orang di sebelah. Buktinya, mereka memandangku dengan tatapan ingin tahu dan jijik. Ingin kumaki saja. "Kamu kalo mau nuduh aku yang bener dikit kek, Mak. Pacar aja nggak punya, gimana bisa aku hamil?" "Siapa tau aja kamu udah frustasi, terus nyewa cowok hidung belang buat—" Segera kujejalkan kentang goreng ke mulut Tiana, supaya mulutnya ada remnya. Cantik-cantik, bocor banget. "Udah, deh. Sekarang gimana solusinya supaya aku bisa cepet datang bulan," ketusku. "Ke dokter kandungan, periksa. Nih, nomornya." Tiana menyodorkan sebuah kartu nama untukku setelah menelan kentang goreng. * Ruangan ini tampak sangat menegangkan, tentu saja bagi diriku sendiri. Sepertinya, AC di sini juga menyala 24 jam nonstop dengan suhu 16°C. Ini hanya dugaanku lho, ya, karena dinginnya terasa hingga ke tulang. Serius, aku tak pernah menyalakan AC sedingin itu. Ruangan luas dengan kursi berjajar rapi ini semakin terasa dingin ketika seorang wanita berperut buncit itu keluar. Ini berarti segera tiba giliranku masuk ke ruangan di depan sana. Nah, benar saja. Tak lama, seorang suster keluar sambil memegang catatan. Dia menyebutkan nomor urut pasien selanjutnya, tentu saja itu nomor urutku saat mendaftar tadi. "Sasmitha Indriani." Sepertinya suster itu tak sabar menungguku mendekat, sampai-sampai menyebutkan nama lengkapku segala. Jujur, aku gemetar membayangkannya. Terkahir, aku masuk rumah sakit ketika operasi usus buntu, dan itu terjadi sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Kini, aku kembali ke sini dengan keluhan berbeda dan dengan dokter yang beda pula. Namun begitu, tentu saja rasa gemetarnya sama dengan yang dahulu. Bahkan, kali ini jauh lebih menegangkan. Bayangan akan hasil pemeriksaan membuatku tak bisa sedikit tenang. Ruangan bertuliskan nama si empunya di atas pintu masuk semakin membuat bulu meremang. Seharusnya, aku tidak menuruti omongan Tiana untuk memeriksakan diri ke sini. Apalagi sampai ke dokter SpOG. Ya, ampun! Ini sangat berlebihan. Aku ini masih perawan. Ya ... meskipun usiaku sudah pantas punya anak dua, atau tiga malah. Namun, aku masih jomlo, perawan ting-ting. Catat! Tiana bilang, bahwa aku harus serius dengan gejala yang aku alami ini jika tak mau berimbas ke masa depan. Please, ini berlebihan nggak sih? Oke, temanku itu memang pengalaman, tetapi tak harus membawa masalahku seserius ini, bukan? Apalagi hanya perkara terlambat datang bulan. Bukankah itu hal wajar. Terlambat datang bulan bisa dialami siapa saja, kan? Oke, tak mengapa. Mungkin lebih baik aku memang memeriksakan kondisiku sebelum hal-hal aneh terjadi. Dengan semangat '45 aku masuk ruangan dokter, berharap bisa menemukan titik cerah akan masalah yang kuhadapi kali ini. Aku berharap tak ada operasi atau suntik-menyuntik. Aku tak sanggup membayangkan jarum tajam itu menusuk kulitku. "Silakan duduk!" kata dokter di hadapan tanpa menatapku. Beliau sedang sibuk dengan buku di mejanya. Aku duduk setelah mengucapkan terima kasih. Rasa gemetar kian merambat, apalagi dokternya setampan ini. Iya, dokternya masih muda, tampan lagi. Tiana tak salah kali ini, penilaiannya terhadap seorang cowok tepat. Kali ini. Iya, baru kali ini, tolong garis bawahi. "Ada yang bisa saya bantu?" Sebentar, rasa-rasanya aku tidak asing dengan wajah dokter ini. Seperti pernah bertemu, tetapi di mana, ya? Ah, otak ini memang bermasalah bila dipaksa mengingat. "A-anu, Dok. Sa-saya itu, apa namanya?" Sepertinya aku butuh sesuatu agar tidak gagap begini. Berhadapan dengan orang tampan dalam keadaan gagap itu sangat membuat harga diriku anjlok. Ini bukan Sasmitha banget! "Coba jangan tegang, relaks aja. Pelan-pelan." Dokter di hadapan melipat tangannya di meja. Dia fokus menatapku, membuatku ser-seran. Sepertinya, apa yang dikatakan dokter ini benar, aku terlalu gugup. Selain itu, aku juga tak mau ada vonis aneh-aneh atas keluhanku. Apalagi sampai masuk head line news di koran, berita online, televisi, atau lainnya dengan tag line Seorang Wanita Meninggal Akibat Terlambat Datang Bulan. Fix! Aku tak akan pernah bisa membayangkan betapa syoknya Mama membacanya. "Saya terlambat datang bulan, Dok," kataku setelah rasa grogi itu menguar. Seketika dokter di hadapan menatapku seolah-olah tak percaya, alisnya tertaut. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, aku hanya menangkap keanehan dari tatapan itu. Dia memperhatikanku sedemikian rupa, sampai aku risi. "Kamu?" Dokter tampan dengan wajah bersih tanpa bulu halus di dagu—hanya ada kumis tipis—bernama Ashkan ini mengerutkan dahi. Ada apa? Apa dia mengenalku? Atau jangan-jangan memang kami pernah bertemu seperti yang aku katakan tadi? Otak, ingatlah sesuatu, please! Aku mengetuk-ketuk jidat, berusaha mengingat. Namun, semua itu sia-sia belaka. Tak ada yang bisa kuingat pasal pertemuan kami. "Jadi, sudah berapa minggu Adik telat?" Adik? Adakah dokter seramah dan seakrab dia sampai memanggil adik kepada pasiennya? Iya, memang Tiana pernah bercerita kalau Dokter Ashkan itu ramah dan santun, tetapi apa ini tidak berlebihan? Aku belum pernah ketemu dokter seperti dia—yang memanggil adik ke pasien, kecuali pasien anak-anak. "Berapa Minggu telatnya?" tanya Dokter Ashkan ketika aku belum menjawab juga. Sebenarnya, aku malu menceritakan hal sepribadi ini kepada orang lain. Namun, demi keselamatan masa depan, mau tak mau aku harus menceritakannya. Kata Tiana, ini namanya konsultasi. "Hampir tiga bulan, Dok," jawabku penuh keyakinan. Itu memang benar, selama itu aku telat. Ini memang aneh, sih. Makanya, aku memberanikan diri periksa, karena biasanya hanya sebulanlah paling lama kalau telat datang bulan. "Apakah kamu ada minum obat kontrasepsi?" "Apa?" tanyaku hampir melengking, karena kaget. Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu. Melihat obatnya secara nyata saja belum pernah, apalagi meminumnya. Ada-ada saja pertanyaannya. "Maksud saya pil KB." Kalau tidak malu, aku sudah menepuk jidat sejak tadi. Mungkin dia pikir aku ini tidak tahu apa itu obat kontrasepsi, sampai dijelaskan pil KB segala. Pastilah aku tahu, itu obat yang sering membuat Tiana kelabakan kalau habis pas suaminya di rumah. Obat yang selalu dibeli Mama di apotek ketika Papa mau pulang. Aku heran, apa sepenting itu? Entahlah. "Tidak, Dok," jawabku kemudian. "Berapa usia Adik?" tanyanya sopan. Pertanyaan yang paling aku hindari selain "Kapan nikah?" adalah tentang usia. Aku terlalu sensitif bila ada yang menanyakan hal-hal tersebut. Pasti ujung-ujungnya menyebalkan. "Di formulir pendaftaran belum ada, ya, Dok? Perasaan tadi saya sudah mengisinya." Jawaban itu terlontar dengan perasaan sedikit dongkol. "Dua puluh sembilan tahun," jawab Dokter Ashkan setelah memeriksa formulir pendaftaran. Astaga, dia mengeja dengan keras sekali itu apa tujuannya? "Apa suaminya ada di luar?" Ini rumah sakit atau kantor polisi, sih? Suami seperti apa yang dia tanyakan? Jelas-jelas tertera nona, bukan nyonya di formulir itu. Apa tidak ada pertanyaan yang lebih penting dari sekadar basa-basi murahan begini? Ya, supaya permasalahanku cepat selesai dan aku bisa pulang. "Maaf, Dokter. Apa tidak bisa langsung ke masalah saya saja, ya? Sepertinya masalah saya jauh lebih penting." Mungkin kalimatku sedikit memaksa, sehingga terdengar embusan napas berat dari pria di hadapan. "Baiklah kalau begitu." Dokter Ashkan tampak mengobrak-abrik sebuah loker. Namun, sepertinya dia tak menemukan apa yang dia cari, sehingga mengharuskannya pindah ke loker lain. Setelah mendapatkan yang dicarinya, lalu dia menyerahkan sesuatu kepadaku. "Silakan gunakan ini. Kamar mandinya di sana." Dokter Ashkan menunjuk sebuah pintu tertutup. Maksudnya apa dia memberiku test pack? Apa dia mengira aku sedang hamil? Kutatap pria berjas putih di hadapan dengan sinis. Akan tetapi, aku tak ingin terlalu lama di sini. Jadi, segera kuraih benda tersebut, kemudian meninggalkan dokter menyebalkan itu. Setelah di kamar mandi, aku mulai kebingungan. Bagaimana menggunakan benda sekecil ini? Kenapa tadi Dokter Ashkan tak menjelaskannya lebih dahulu? Apa dia sengaja mau mengerjaiku? Apa aku kembali saja, lalu bertanya kepadanya? Tidak, tidak! Itu akan sangat memalukan. Jalan satu-satunya adalah bertanya kepada Tiana. Ya, hanya dia! Panggilan tersambung, tak lama kemudian sapaan Tiana terdengar. "Aku sibuk, nih. Ada apaan? Eh, gimana? Jadi konsul?" Aku mendengar seperti suara kertas dibolak-balik dari seberang sana. Pasti Tiana sibuk sekali gara-gara aku izin hari ini. "Iya, ini juga lagi di tempat konsultasi. Aku mau tanya, cara pake test pack gimana?" Tawa Tiana berderai di balik kebingunganku. Mungkin kebingungan ini seperti lelucon baginya. Sudah bisa kuduga, dia pasti akan menertawakanku. "Udah, deh. Nggak usah ngetawain gitu. Cepetan!" semburku. Masih terdengar sisa-sisa tawa Tiana yang membuatku kesal. "Baca di bungkusnya ada kali, Nona. Please, deh. Jadi orang jangan polos-polos banget kenapa?" Aku langsung menepuk jidat. Kenapa sama sekali tidak kepikiran ke sana? Sial! "Ngeselin! Ya, udah!" Biar saja tidak sopan, Tiana saja menertawakanku sedemikan rupa. Jadi, bukan salahku bila panggilan ini terputus secara sepihak. Pertama-tama, kuperhatikan wadah kecil dari kaca tipis ini. Lalu, pelan-pelan k****a petunjuk yang tertera. Alah, kecil! Praktik hal-hal seperti ini sangat mudah bagiku. Tak lama kemudian, aku keluar sambil membawa benda kecil tersebut. Setelah sampai di depan dokter, ternyata ada pasien lain yang tengah diperiksa. Terpaksa aku harus menunggu sampai selesai. Seorang ibu dengan perut masih rata itu duduk di sebelahku setelah diperiksa. Wajahnya ayu dan terawat—kalau emak-emak dan remaja zaman sekarang menyebutnya glowing. Iya, seperti ketumpahan minyak satu liter. Dia tersenyum, tentu saja aku membalasnya dengan ramah. "Hamil berapa bulan, Mbak?" Maksud Anda? Apa pertanyaan itu dia ajukan kepadaku? Langsung aja aku mengikuti arah pandang wanita modis di sebelah, yakni ke test pack yang kupegang. "Enggak, Bu. Ini lagi konsultasi aja sama dokter." "Lah, itu tesnya positif, 'kan?" kata ibu cantik ini sambil menunjuk dengan matanya ke benda di tanganku. Sesekali aku melirik ke Dokter Ashkan, sama sekali dia tidak membela. Apa dia juga berpikiran sama dengan ibu glowing ini? "Ini, Bu. Silakan ditebus ke bagian obat, ya. Jangan lupa dijaga kandungannya, dan banyak-banyak istirahat. Ini resep penguat kandungan. Semoga tetap sehat sampai hari H, ya, Bu." Dokter Ashkan menyerahkan kertas yang sudah dia coret-coret di sela obrolanku dengan wanita yang tengah hamil muda ini. Wanita itu pergi setelah pamit ke Dokter Ashkan, juga kepadaku. Namun, pikiran ini jadi tak tenang. "Mana hasilnya?" tanya Dokter Ashkan. Dengan perasaan cemas aku menyerahkan benda berikut tabung kaca kecil yang tadi diberikan oleh Dokter Ashkan. "I-ini, Dokter." Pandangan Dokter Ashkan bergerak dari test pack ke arahku, begitu seterusnya sampai tiga kali, seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. "Benar, kamu belum menikah?" tanya Dokter Ashkan kemudian. "Memangnya kenapa, Dok? Apa perlu saya tunjukkan KTP saya biar Dokter percaya?" Pertanyaan Dokter Ashkan sangat menyinggung perasaanku. Dokter Ashkan tak mengindahkan pertanyaanku. Bahkan, dia menatapku seakan-akan ada hal mengherankan dari apa yang bisa dia lihat. "Pergaulan anak muda zaman sekarang memang terlalu bebas, apalagi untuk anak SMA," kata Dokter Ashkan sambil menulis sesuatu di buku catatannya. Maksudnya apa? Dia mengira aku ini masih SMA? Dari sudut pandang sebelah mana aku masih terlihat remaja? Dandananku juga biasa saja, malah terkesan emak-emak. Baju tidur dengan tempelan sweeter rajut warna hitam kesayanganku. "Siapa yang anak SMA?" tanyaku heran. "Bukan, bukan siapa-siapa. Seharusnya Adik ke sini ditemani orang tua." "Maksud Dokter apa, sih?" "Ini jelas sekali. Saya berharap Adik tidak bertindak gegabah, apalagi sampai menggugurkan bayi dalam perut Adik." Serius, aku sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Dokter Ashkan. Bayi siapa? "Dia tidak berdosa. Dia juga tidak meminta untuk hadir dalam hidup kamu. Jadi, kamu harus tetap membiarkan dia hidup. Dosa besar bila kamu membunuhnya." Alisku semakin menaut. Sumpah, aku tidak mengerti sama sekali. Ini siapa yang hamil, sih? "Dokter, saya ini bukan anak SMA, apa usia yang saya tuliskan masih kurang jelas? Nih, kalo nggak percaya!" Kuletakkan KTP di hadapan dokter tersebut penuh kekesalan. "Hamil? Suami saja tidak punya, masa iya saya hamil? Dokter yang benar saja," protesku tanpa ampun. Lagi pula, untuk apa dia memanggilku "adik"? Sok akrab! "Saya tau ini berat buat kamu, tapi saya harap jangan melakukan hal-hal buruk. Bila perlu, beri tahu orang tua kamu, supaya mereka bisa mengambil tindakan terbaik." Masya Allah, dokter yang sangat mengagumkan. Perhatian sekali kepada pasien, pantas Tiana terkesima kepadanya. Namun, aku risi mendengarnya. "Dokter, saya ini nggak hamil. Saya belum nikah!" tegasku, supaya dia tak terus menerus menyudutkanku. Aku tak terima. Tidak mungkin juga aku mengalami hal seperti Siti Maryam. Manusia penuh dosa sepertiku tidak akan dipercaya masyarakat bila itu terjadi. Seumur hidup, aku belum pernah mendengar ada orang hamil tanpa bapak. Biar hamil di luar nikah sekalipun, pasti ada bapaknya. "Sabar, Adik hanya perlu jujur ke orang tua, biar pelakunya bertanggung jawab." Dokter ini minta digetok kepalanya kali, ya? Berapa kali aku harus bilang kalau aku tidak hamil? Seenaknya saja dia menuduh! "Tes ini buktinya. Masih mau mengelak? Saya tau kamu down, makanya tadi saya bilang kamu harus ceritakan ke—" "Dokter gila! Dokter nggak waras! Nyesel saya datang ke sini!" Kuraih tas, lalu keluar dengan perasaan dongkol. Tidak lupa kututup pintu hingga mengeluarkan suara cukup keras. Peduli amat dengan pandangan orang, biar saja mereka menLilaiku apa. Hati ini cukup kesal dibuat dokter tadi. Mau konsultasi bukannya dapat pencerahan, malah tersudutkan. Apa-apaan dia menuduhku hamil segala? Dia pikir aku perempuan murahan begitu? Dasar! Kali ini Tiana salah, dokter obgyn langganannya perlu masuk daftar dokter terburuk sepanjang sejarah perdokteran. Titik! Benda terkutuk itu juga. Bisa-bisanya dia nge-prank aku sedemikian rupa. Ada masalah apa dia sama aku? Benar-benar hari terburuk! "Hei, tunggu!" Aku menoleh ke sumber suara. Astaga! Sepertinya dokter itu masih belum puas mengejekku, sampai-sampai rela mengejar segala. Tak kuhiraukan panggilannya. Langkah ini semakin kupercepat, bahkan aku sampai lari kecil untuk menghindari kejarannya. Aku menoleh ke belakang, memastikan dokter itu tak mengejar lagi. Selamat! Dokter tersebut ditahan seseorang, sehingga tak lagi mengejarku. Lagi pula, masih banyak pasien yang antre, kenapa harus repot-repot mengejarku? Aneh!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook