bc

Akan Kurebut Istrimu

book_age18+
1.5K
FOLLOW
10.5K
READ
billionaire
brave
drama
heavy
serious
ambitious
city
office/work place
royal
poor to rich
like
intro-logo
Blurb

Arion bertemu dengan wanita itu ketika menginap di hotel miliknya sendiri pada suatu kunjungan. Seorang wanita yang sudah hamil tua dan hanya tinggal menunggu untuk melahirkan tapi masih harus bekerja di departemen housekeeping hotel miliknya sebagai housekeeper. Entah mengapa hatinya tersentuh oleh wanita itu. Apalagi kemudian dia juga yang menemani wanita tersebut melahirkan karena sang suami tidak perduli.

Widi Praminingtias adalah seorang housekeeper di hotel milik Arion. Nasibnya tidak beruntung karena bersuamikan lelaki tidak bertanggung jawab dan tidak setia bernama Barra. Bahkan ketika melahirkan, Barra tidak ada di sampingnya. Di saat yang bersamaan, Barra justru sedang bermesraan dengan selingkuhannya. Tapi yang terjadi, Barra menuduhnya berselingkuh dengan Arion karena pria itu membayar biaya persalinannya di rumah sakit swasta yang bagi orang biasa seperti mereka sangatlah mahal.

Di sisi lain, Widi dan bayi laki-laki yang dilahirkan oleh wanita itu, mengingatkan Arion pada almarhum istri dan anaknya yang sudah lama meninggal. Karena sangat mencintai keduanya, Arion tidak menikah lagi hingga sekarang. Namun, kehadiran Widi membangunkan hati yang mati itu. Arion pun mencari tahu tentang Widi dan setelah tahu bagaimana Barra, dia pun berniat merebut Widi dari suami b******k itu.

Beri love, komentar sebanyak-banyaknya, follow akun Dreame/Innovel author, dan jangan lupa untuk follow ** author:@Mayang_noura

chap-preview
Free preview
Bukan Tamu Sembarangan
“Uangnya saya terima. Jadi ini sertifikat tanahnya ya, pak.” Widi mengambil setumpuk uang di atas meja dan mengulurkan sebuah sertifikat tanah kepada pria 50 tahunan di hadapannya. Sembari menunggu pria itu memeriksa sertifikat tanahnya, Widi memasukkan uangnya ke dalam amplop besar. “Saya sudah mengecek. Jumlahnya cukup,” ucap pria itu beberapa saat kemudian. “Kalau begitu kami permisi.” “Ah, iya.” Pria itu beranjak dari duduknya, begitu pun dengan temannya. Setelah bersalaman dengan Widi, keduanya meninggalkan rumah tersebut. Selang beberapa detik kemudian, sebuah sepeda motor memasuki halaman. Widi yang hendak menutup pintu, mengurungkannya. “Mas sudah pulang?” tanya Widi ramah pada Bara. Suaminya ini membuka toko pecah belah di pasar. “Masih pukul 12 siang lho,” lanjutnya. “Aku mau belanja barang dulu di koko. Karena itu pulang cepat,” jawab Barra sembari melangkah mendekati Widi. “Eh, dua tamu tadi siapa?” “Mereka yang membeli tanah ibuku.” Mata Barra melebar mendengar itu. “Jadi sudah laku?” Widi mengangguk. “Iya. Besok kita bawa uang ini ke bank dan kita lunasi hutangmu itu. Aku sudah capek ditelpon terus sama bank. Mereka sudah mengancam mau menyita lagi.” Bara tak langsung merespon ajakan Widi. Pria itu malah menyeringai penuh arti dan kemudian melangkah mendekati meja makan. “Aku sedang terburu-buru. Mau makan dulu.” Malah itu jawabannya. Widi mengangguk. “Iya, mas. Aku sudah masak kok. Tapi mas harus tau kalau aku sudah tidak sabar ingin segera ke bank dan melunasi hutang mas. Dengan begitu, aku bisa tenang dan bisa berhenti kerja. Bara yang sedang menyinduk nasi, terhenyak mendengar perkataan Widi. “Berhenti kerja? Yang benar saja.” Dahi Widi mengerut. “Mas keberatan?” “Ya iya dong. Kalau kamu berhenti kerja, terus siapa yang akan memenuhi kebutuhan rumah tangga?” “Tentu saja, mas. Mas ‘kan suami.” “Aku belum bisa. Toko pecah belahku belum maju. Kalau pendapatan yang tidak seberapa itu dipakai untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari bisa bangkrut.” “Tapi aku sudah payah, mas. Nafasku saja sudah pendek. Harusnya aku sudah beristirahat menunggu waktu melahirkan tiba. Lagian menurutku, waktu tiga tahun harusnya sudah bisa membuat toko pecah belah mas berkembang. ‘Kan semua uang hasil penjualan dimasukkan modal, sedangkan semua kebutuhan rumah aku yang memenuhi. Bahkan angsuran hutang mas ke bank pun setiap bulannya aku yang membayar.” Barra menghela nafas panjang. “Kamu ini perhitungan sekali sih. Namanya suami istri memang harus saling membantu dan saling support.” “Ini bukan masalah perhitungan atau tidak, mas. Ini masalah tanggung jawab. Lelaki itu wajib menafkahi istri bagaimana pun caranya. Aku sudah support mas selama tiga tahun ini dengan menanggung semua biaya hidup dan hutang mas. Apa salahnya kalau sekarang aku ingin beristirahat karena mau melahirkan?” Brak! Bara memukul meja makan hingga piringnya nyaris melompat ke lantai. “Bisa tidak sih kalau suami mau makan kamu tidak membahas ini?! Bikin selera makan hilang! Kamu pikir selama jualan aku tidak mengeluarkan uang sama sekali?! Aku harus membayar sewa toko, listrik toko, air, dan lainnya!” “Iya, mas aku tau itu. Tapi yang namanya kewajiban tetaplah kewajiban. Memangnya mas tidak bisa membagi-baginya? Terus yang jadi pertanyaan, mau sampai kapan mas melalaikan kewajiban mas sebagai suami, hah?” Bara geram. Dia menatap Widi tajam dengan api kemarahan yang berkobar-kobar di matanya. Dia lalu mengambil piring dan diacungkannya. “Kamu mau diam atau piring ini aku lempar ke arah wajahmu?!” Mendengar hal itu, Widi langsung terdiam. Dia tidak bisa lagi meneruskan perdebatan ini karena bisa fatal akibatnya. Akhirnya, Widi memutuskan untuk meninggalkan Bara menuju ke kamar. Dia menyimpan uang penjualan tanah warisan ke dalam lemari pakaian sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi. Dia harus bersiap-siap untuk pergi kerja seperti biasa. Selesai mandi, Widi mendapati Bara sudah tidak ada di meja makan. Itu artinya Bara sudah pergi ke tempat Koko, supplier pecah belah untuk mengambil barang seperti ucapan sang suami tadi. Widi pun melewati meja makan dan masuk ke dalam kamar untuk berpakaian. Tapi ketika membuka pintu lemari, Widi terkejut bukan kepalang begitu melihat amplop berisi uang hasil menjual tanah warisan tidak lagi rapi. Widi pun segera memeriksa amplop tersebut dan lemaslah dia karena ternyata uangnya sudah berkurang banyak. Nyaris separuhnya. Kalau begini, dia belum bisa melunasi hutang Bara karena jumlah uang sebelumnya pas-pasan dengan jumlah uang yang harus dia bayarkan ke bank untuk pelunasan. Widi terdiam beberapa saat merenungkan hal ini. Sudah tidak perlu dicari lagi siapa pencurinya. Sudah pasti Bara. “Kok kamu bisa setega ini sama aku sih, mas?” ucap Widi dengan airmata yang mengalir. Marah, kesal, dan sakit hati bercampur aduk menjadi satu. Widi belum putus asa. Dia mengambil ponselnya dan mencoba menelpon Bara. Tapi apa, tak satu pun panggilannya diterima. Widi mencoba lagi dan lagi, hasilnya tetap sama. Bara tidak mau mengangkat panggilannya. * “Ayo, tebak aku siapa?” Ani memegang tangan yang menutupi kedua matanya. “Sudah deh jangan main-main. Memangnya kamu siapa lagi kalau bukan Bara. Aku sangat hafal dengan suaramu.” Bara tertawa kecil. Dia langsung menarik kedua tangannya dari wajah Ani, lalu mengambil duduk di samping janda beranak satu itu. “Lama ya menunggu?” Ani mengangguk manja. “Iya, kamu kemana saja sih? Jangan-jangan bermesraan dulu dengan istri kamu yang buncit itu.” “Over thingking saja. Siapa lagi yang mau bermesraan dengan dia? Aku bosan. Apalagi perutnya yang besar itu membuatnya sangat tidak menarik.” “Berarti aku lebih menarik dari pada istrimu dong?” Ani melirik Bara genit. “Ya jelas. Cantikan kamu kemana-mana. Dia itu kucel, kusam, tidak segar, dan kerjanya protes saja di rumah.” “Kalau begitu kamu ceraikan saja dia secepatnya, terus nikahin aku. Capek menjanda.” “Itu pasti. Tapi nanti, aku tidak mau buru-buru. Kita jalani saja dulu hubungan ini dengan perasaan happy.” “Tapi kamu bakal meninggalkan istrimu dan menikahi aku bukan?” “Iya, apa aku pernah berbohong kepadamu? Tidak pernah bukan?” Ani langsung tersenyum dan memeluk tangan Bara. “Oke, aku percaya kok sama kamu. Oya, hari ini kamu punya janji mau membelikan aku tas baru? Kamu tidak lupa ‘kan?” “Tentu sayang. Tidak hanya tas, kamu juga boleh membeli baju, sepatu, kosmetik, dan lainnya yang kamu mau.” Mata Ani melebar tak percaya. “Wah, beneran, Bar? Kamu lagi banyak uang ya?” Bara mengangguk. “Iya, hari ini jualanku laris. Jadi aku bisa membelikanmu banyak barang yang kamu inginkan.” “Aduh, aku senang sekali. Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang.” Ani berdiri seraya menarik tangan Bara. Keduanya lalu meninggalkan tempat duduk mereka menuju pusat perbelanjaan yang ada di depan mata. Sementara itu, Widi telah sampai di bank tempatnya menabung. Dia memasukkan uang sisa yang Bara curi ke tabungannya sekalian berangkat kerja. Meskipun sedih karena belum jadi melunasi hutang Bara yang berarti juga belum bisa lega, dia harus tetap bekerja. Sepertinya Tuhan memang belum menghendakinya beristirahat meskipun sudah merasa payah bekerja dengan perut yang buncit. Karena antrian panjang di mesin ATM, Widi datang terlambat ke hotel tempatnya bekerja. Widi kerja ship sore. Yaitu dari jam 14.00 sampai jam 22.00. Untungnya Ibu Lita, assisten executive housekeeper, orangnya baik dan mudah memaklumi para bawahannya. Telatnya Widi tidak dipermasalahkannya. Apalagi Widi adalah salah satu housekeeper yang rajin dan jujur. “Santai saja, Wid. Jangan panik. Kamu itu sedang hamil besar. Menjaga kesehatanmu lebih penting.” Widi mengatur nafas setelah jalan cepat. “Iya, bu. Terima kasih untuk pengertiannya.” “Oya karena kebetulan kamu yang ada di dekatku, bisa tolong ke kamar 001 tidak? Penghuninya baru saja telpon, gelas kopinya tumpah sehingga airnya berhamburan di meja dan mengalir ke karpet. Dia minta segera dibersihkan. Tapi kamu harus bersikap baik pada tamu ini karena dia bukan orang sembarangan.” Deg. Mendengar kata ‘bukan orang sembarangan’, Widi merasa agak gentar. Kebanyakan tamu orang penting agak semena-mena kepada housekeeper. Dulu ada seorang housekeeper dipecat lantaran bermasalah dengan seorang tamu VIP. Padahal jika menilik kronologinya, si tamulah yang salah. Meskipun dia sudah ingin istirahat dari pekerjaannya, dia tidak mau berhenti dengan cara yang tidak hormat seperti temannya itu. Dia ingin berhenti dengan cara yang baik-baik. ‘Semoga tamu ini adalah orang yang baik, Tuhan.’ Doa Widi di dalam hati. Bersambung.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.8K
bc

My Secret Little Wife

read
96.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook