bc

Sang Penggoda (Indonesia)

book_age0+
6.6K
FOLLOW
98.0K
READ
forced
pregnant
arrogant
boss
tragedy
bxg
like
intro-logo
Blurb

[21+]

Kinanti Taliana Mirano mempunyai dua kakak laki-laki. Mereka adalah Antara Jenta Mirano dan Aksara Delta Mirano. Namun, salah satu di antara mereka begitu membencinya. Antara, telah bersumpah untuk membuat hidup Kinanti lebih buruk daripada di dalam neraka. Tak ayal lagi, Kinanti terjebak dalam cengkeraman dendam masa lalu yang belum terbalas. Hingga dendam itu pada akhirnya membangun sebuah hubungan yang rumit. Dan bagi Antara, perempuan penggoda seperti Kinanti memang layak menanggung dosa-dosa turunan itu. Sialnya, di balik nama dendam, ada bayang-bayang lain yang menghantui.

Bayang-bayang itu membuat Antara terbakar, dan Kinanti musnah.

chap-preview
Free preview
BAB 1 : Gadis Bernama Kinanti
Di backstage, jantung Kinanti berdebaran. Bagaimana tidak, jika sesaat lagi, karya yang diciptanya akan ditampilkan ke khalayak umum. Dilihat oleh banyak orang! Lewat sebuah pameran 23 Fashion District 2015 ini, Kinanti tahu satu demi satu mimpinya bakal terwujud. Pameran yang merupakan ajang mode terbesar di Bandung ini berkolaborasi dengan Indonesia Fashion Chamber, saking prestisiusnya, berhasil menghadirkan peragaan busaha dengan menggandeng 50 desainer ternama.             Bayangkan, deh! Para desainer terkenal Indonesia yang belum pernah Kinanti jumpai—karena mereka tinggal di luar negeri—kini berseliweran di ruang make-up tanpa ada sekat bersama mahasiswa-mahasiswi Seni Kriya. Meski ada beberapa pula yang sering bertemu Kinanti di acara-acara perusahaan keluarganya. Lumayan, buat nambah link, kan?             Forecast Your Future Fashion, adalah tema yang diangkat untuk pameran besar ini. Mahasiswa-mahasiswi Program Studi Kriya Tekstil dari berbagai daerah, menjadi desainer atas karya mereka sendiri. Dalam masing-masing karyanya, memiliki ciri khas yang pastinya memuat warna lokal. Karya yang tampil ialah tugas akhir para mahasiswa yang masih memiliki benang merah dengan tema “Aggrandising Tactile”. Yang bermakna menonjolkan unsur sentuhan tangan pada setiap fashion. Hal ini karena sisi filosofis dari keilmuan kriya itu sendiri yang berarti kerajinan tangan. “Gimana? Ada yang perlu dibantu?” Saat Kinanti sedang sibuk-sibuknya merapikan pakaian modelnya, ada seorang desainer yang menghampirinya. Gadis itu menyengir, “Gini aja sih, Mbak. Enggak ada masalah kayaknya.” Busana yang Kinanti ciptakan dibuat seperti pakaian adat pada umumnya. Atasan dan rok. Namun dengan setiap perpotongan yang dinamis. Stylenya benar-benar berbeda dari biasanya. Desainer itu menyuruh si model berputar, “Udah pas kok. Bagus.” Ada binar kagum di matanya atas hasil kerja anak muda yang belum dikenalnya itu. “Wah, motif tapis kaca yang unik sekali.” Gumamnya, sontak membuat Kinanti dengan isengnya cengengesan. Agak malu, Kinanti menggaruk rambut cokelatnya yang sebetulnya tak gatal. “Aku pakai serat dan pewarna alami.” Balas Kinanti riang. Desainer itu mengangguk-angguk, tentu dia bisa melihat jika anak muda ini mengerjakan semua aspek dalam pakaian melalui tangannya sendiri. Agaknya, kekayaan alam menjadi inspirasinya. Gadis ini menggunakan bentuk lamella jamur tiram yang apik diaplikasikan pada pakaiannya dengan teknik bordir dan pleats, guna memainkan tekstur serta volume. Tetiba, desainer itu mengulurkan tangannya, mengajak Kinanti berjabatan, “Senang bertemu calon desainer yang bertalenta seperti kamu.” Kata-katanya itu membuat Kinanti kontan berbunga-bunga. “Arlene Sumardi.” “Kinanti,” senyum di mulut Kinanti lebar. “Namaku Kinanti Taliana Mirano.” “Tunggu,” desainer bernama Arlene itu mengeryitkan keningnya. “Kamu anak bungsunya Pak Tristan Mirano?” “Iya.” Mulut Kinanti nyaris robek sekarang. Bukannya mau sombong, nama Papanya yang dikenal sebagai seorang pengusaha, memang top banget. See, sekali disebut, orang pada kaget. Barangkali, hanya wajah Kinanti yang kurang familiar di antara keluarga mereka. Jarang tersorot oleh kamera sih lebih tepatnya. “Eh, tapi kalau dilihat-lihat, kamu juga seperti tidak asing,” Arlene menimang-nimang, “Kamu selebgram ya?” Waduh, gimana ya? Kinanti sih bukan selebgram. Tak terima endorsment, dan yang lainnya. Hanya sesekali posting foto liburan saja, tapi followers Instagramnya sudah tembus ratusan ribu. Sepertinya karena efek lahir di keluarga Mirano. Atau jangan-jangan, Arlene Sumardi pernah melihat beritanya di majalah gosip? Kinanti sih jujur, dia pernah kok melakukan kekacauan dalam masa mudanya, sampai sekarang malah. Dan karena dia salah satu anak Mirano, jadilah apapun yang dia lakukan menjadi sasaran empuk pemangsa berita. “Enggak juga.” Kinanti akhirnya menjawab, dengan cengiran yang masih setia melebarkan bibirnya. “Pokoknya selamat deh, Ayahmu pasti bangga punya anak-anak yang sukses.” “Makasih ya, Mbak.” Kinanti mengamini, semoga dia mampu membuat Papanya proud of her. Gadis muda yang tentu tidak bisa disandingkan kemampuannya dengan kedua kakak lelakinya, tapi boleh juga kan unjuk sedikit bakat? “Good luck, Kinanti.” Dan Kinanti pun membalasnya dengan acungan ibu jari. Arlene berlalu, mengecek persiapan mahasiswi lain dengan sangat perhatiannya. Oh, Kinanti suka sekali deh senior yang tidak sombong dan mau mengemongi. Beruntungnya dia ikut event ini. “Kamu deg-degan enggak?” Si model perempuan yang keturunan bule itu mengulas senyum simpul, “Enggak.” Wah, hebat. Kinanti yang malah tak karuan sekarang. Jantungan, kepingin pipis, dan pokoknya kompleks banget deh. “Karena aku sudah biasa berjalan di atas catwalk, Kinanti. Kamu tenang aja, pakaian yang kamu buat ini pasti jadi yang terbaik.” Kata-kata itu membuat Kinanti merasa percaya diri. “Duh, Alana,” Kinanti memeluk perempuan yang agak lebih tinggi darinya itu. “Makasih udah semangatin aku, kamu juga yang semangat ya.” “Iya, bawel.” “Aku emang bawel?” Kinanti melepas pelukannya. “Banget.” Tukas Alana, sontak Kinanti tertawa. Ingat selama pembuatan baju, dia selalu ingin ini dan itu banyak sekali seperti Nobita. “Jangan terlalu pecicilan ya nona cantik satu ini, nanti enggak ada yang mau naksir kamu.” Kinanti tertawa makin lepas karena candaan itu. “Biarin jomblo, asal sukses dan banyak uang.” Lantas gadis itu menarik tangan Alana. “Udah ah ayo, yang lain udah pada briefing tuh, ngomongin naksir-naksirannya nanti aja.” Mereka bergabung dengan teman-teman yang lain. Di luar gedung yang juga berlokasi di Bandung, pembawa acara telah meramaikan suasana. Apalagi dengan hadirnya bintang tamu yang menghibur penonton. Musik-musik akustik yang lembut terdengar begitu indah ketika Mocca tampil. Setengah jam kemudian, acara puncak, fashion show pun baru dimulai. Model-model yang mengenakan pakaian dari hasil kreasi anak-anak muda, muncul silih berganti. Diiringi oleh lagu-lagu tradisional Indonesia yang sudah diaransemen ulang, hingga sedikit jadi lebih modern. Tim penata lampu, dan artistik pasti bekerja dengan sangat keras karena menghasilkan kombinasi panggung yang enak dipandang. Pakaian yang para model kenakan terlihat sangat eksklusif dibuatnya. Ketika peragaan busana itu akhirnya usai. Kinanti dan teman-teman mahasiswanya yang lain diminta untuk naik ke atas panggung, dan menjelaskan karya mereka. Ini memang bukanlah ajang perlombaan, ini benar-benar pameran untuk mengapresiasi karya anak bangsa. Namun, penyelenggara telah memutuskan untuk memberi karya-karya terbaik dari yang paling baik, sebuah piagam penghargaan. Piagam penghargaan ini akan jatuh ke tangan lima dari total 115 mahasiswa yang berpartisipasi. To be honest, Kinanti sendiri tak terlalu berharap menang. You know what, gadis itu hanya ingin mengumpulkan sebanyak-banyaknya pengalaman. Tetapi saat namanya masuk ke dalam daftar yang disebutkan oleh penyelenggara, Kinanti bahagia. Bahagianya itu datang dari hatinya yang tak pernah menargetkan ekspektasi tinggi untuk dirinya sendiri. “Selamat, Kinanti. Nah, apa kubilang.” Arlene Sumardi memberikan ucapan selamat. “Kamu membuat pakaian yang sangat unik. Pantas jika karyamu itu adalah yang terbaik.” “Makasih, Mbak. Aku harap kita bisa berkolaborasi juga suatu hari nanti.” Kinanti berbisik-bisik pada perempuan itu dan cekikikan. “Tentu saja, dengan senang hati.” Arlene memberi lampu hijau. Wah, gila! Kalau Kinanti sudah graduate nanti bakal ditawari kerja tidak ya? “Sudah, ke depan sana.” Kinanti mengangguk, lalu melangkahkan kakinya dan kini sejajar dengan empat orang lain yang bajunya dinobatkan sebagai yang terbaik. Tepuk tangan para penonton mengiring senyum sumringah mereka; perempuan-perempuan muda dan cantik yang penuh talenta. Hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan pun, sangat berhak untuk bersaing mendapat yang terbaik. Apalagi Kinanti, yang berdiri di sana dengan gaun nude semata kaki. Berbahan satin tanpa payet. Walau mengekspose punggungnya, namun tak nampak vulgar. Sebaliknya, gadis itu sangat anggun dan modis. Semua orang pasti tahu bahwa dari penampilannya, Kinanti berasal dari keluarga berada. Bahkan banyak penonton yang mengenalinya sebagai putri tunggal dari pengusaha sukses, Pak Tristan Mirano. Saat pembawa acara memintanya untuk menyampaikan beberapa patah kata seperti yang lainnya tadi—Kinanti dengan percaya dirinya mulai berbicara. Ini adalah dunianya. Tempat paling nyaman untuk berkreasi. Maka, Kinanti tak akan pernah ragu untuk berkata-kata. “Selamat malam semuanya.” Dijawab dengan hangat oleh penonton. “Aku sebetulnya, enggak pernah kepikiran akan berdiri di sini karena ada begitu banyak karya yang sangat bagus. Semuanya luar biasa. Tapi puji Tuhan, terima kasih jika karyaku diakui sebagai salah satu yang terbaik. Aku sangat senang.” Semua orang tertawa kecil karena terkadang, Kinanti berbicara dengan cara yang lucu. Orang cantik bebas, kan, mau apa saja? “Terima kasih ya piagamnya, nanti aku bakal bingkai di rumah.” Semua orang tertawa lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Well, tidak mudah menuntaskan empat tahun dengan tepat waktu di prodi ini. Seni kriya tekstil yang bermain-main menggunakan kain, benang, serat, dan lain sebagainya pasti butuh inspirasi yang sangat tinggi pada setiap tahap ujiannya.” Yang lain mengangguk-angguk setuju, sebab karya itu harus baru. Seni tak boleh monoton atau berakhir. Selalu ada bentuk kesenian yang terlahir. Entah itu gerak, tari, lagu dan lukisan. Juga mode. Seni adalah kisah tanpa akhir. “Dan bukan hanya kain yang kita geluti, tapi kita belajar tentang manajemen produksi, marketing, sampai unsur interior, fashion, hingga kimia. Jadi, untuk kalian semua, kalian adalah juaranya.” Orang-orang bersorak dan bertepuk tangan dengan cara yang beradab. Kinanti adalah representasi perempuan masa kini yang penuh passion dan tentu saja cerdas. Dibalik sifat kekanakan dan manjanya, Kinanti menyimpan sosok yang tangguh di dalam dirinya. “Bagiku, seni kriya khususnya tekstil adalah sebuah wadah yang paling tepat, untuk menampung potensi yang aku miliki. Buat sebagian orang, seni menjadi bagian penting yang sulit dipisahkan dari diri mereka. Begitu pula untukku. Seni merupakan bentuk pelarian, caraku untuk melampiaskan emosi jiwa. Mungkin karena itulah, seni terkadang mampu merubah orang.” Gadis itu menjeda dengan senyum yang teramat manis untuk dilihat. “Untuk terakhir kalinya, marilah kita bertepuk tangan untuk mereka yang bekerja dari dan untuk hatinya.” Agaknya, semua orang kagum pada mahasiswi IKJ angkatan 2012 itu. Yang sebentar lagi akan segera lulus dari kampusnya. Berita apapun yang pernah ditulis media, baik itu karena unggahan pakaian yang seksi di **, beberapa pesta hedon bersama teman-temannya, skandal keributan di lokasi pemotretan dengan fotografernya, tak membuat mereka meremehkan Kinanti. Hei, diamond is still a diamond. Dan lagi pula, gadis itu masih sangat muda. Darah mudanya tentu perlu kita maklumi. Setelah foto bersama, acara itu terus berlanjut ke sesi hiburan dari para penyanyi yang juga cukup beken. Mereka membawakan beberapa lagu, yang membuat penonton pun ikut terhanyut. Kinanti dan teman-temannya yang lain sudah kembali berada di belakang panggung. Saling berpelukan satu sama lain, dan mengucapkan selamat. Mendadak, buket bunga memenuhi ruangan itu. Datang dari orang-orang terkasih para mahasiswa itu sendiri. Sama halnya pula dengan yang terjadi pada Kinanti. Saat gadis itu memutar tubuh karena bahunya ada yang menyentuh, senyumnya yang manis terpahat. “Mas Bara.” “Hai,” pria itu membawa dua buket bunga mawar yang besar. Dengan senyum untuk Kinanti. Dia adalah salah satu pihak penyelenggara acara ini. Bara Chandrakala, pengusaha tekstil yang sukses asal Surabaya. “Selamat, Kinanti. Kedua bunga ini adalah milikmu.” “Wah, makasih, Mas. Ini dari—“ Kinanti kesusahan mengambil kartu-kartu di dalam buket tersebut. Dan Bara akhirnya turun tangan untuk membantu. “Aku dan Papamu.” “Papa?” Kelopak mata Kinanti berbinar. Meski tak bisa datang ke acaranya, Tristan Mirano selalu punya cara yang manis untuk membuatnya bahagia. “Papamu minta maaf tidak bisa datang, lalu beliau menitipkan buket bunganya padaku.” Kinanti tidak sabar membuka kartu-kartunya. Nyaris bersorak kegirangan karena yang dilihatnya kini adalah tulisan tangan Papanya sendiri. Dear, Kinantiku yang cantik. Bagaimana malammu, menyenangkan? Berbahagialah dan selamat untuk peragaan busana pertamamu, putriku. Papa tidak bisa hadir, jangan marah. Tapi kamu selalu membuat Papa bangga, sampai jumpa di rumah. I love you. Ada tandatangan Papanya dan cap perusahaan. Kinanti senang sekali membacanya. Dia mendekap kartu itu dengan perasaan meledak-ledak di d**a. Eh, tunggu, ada satu kartu lagi dari buket bunga pemberian Bara. Kinanti membukanya. Ketika menulis ini, aku tahu kamu akan tampil cantik saat malam tiba. Pesan yang sangat singkat, tapi— Mereka bertatapan, lurus dan dalam. Lalu tiba-tiba keduanya sama-sama tertawa kecil, dan keadaan menjadi kian canggung. Kinanti berdehem, “Eh, iya. Makasih.” Dia jawab apaan sih? “Kamu ada waktu luang setelah ini?” “Eh, apa?” Suara Bara tersalip oleh dering telepon dari clutch Kinanti. “Tadi bilang apa?” “Angkat saja dulu telponmu.” Bara tersenyum. Kinanti memohon maaf lewat ekspresi wajahnya. “Aku angkat dulu ya,” lalu sedikit menyerong dan melihat nama sahabatnya tertera di layar ponsel. Eugh, Sana! Ke mana saja coba anak itu? Dia mendampingi Kinanti ke Bandung, namun nampak tak ada dalam barisan penonton. “Halo, Sana? Kamu ada di mana sih? Kok hilang?” “Dengan—Mbak Kinanti?” Eh, kok bukan Sana? Dengan bingung Kinanti baca ulang nama orang yang menghubunginya. Sana, kok. Jelas-jelas ada namanya. Dan Kinanti pula yang menamai dengan; Sana Rese. “Iya, dengan Kinanti. Maaf, tapi ini ponsel—teman saya.” “Teman Mbak, saya tidak tahu namanya. Rambutnya pirang—“ Wah, ada apa nih? Kinanti was-was, jangan-jangan sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya? “Pakai baju warna merah, nyaris tidak sadarkan diri karena mabuk berat di club kami. Jadi, saya memutuskan untuk menghubungi orang yang paling sering berkomunikasi dengan yang bersangkutan karena teman Mbak, membuat kekacauan dan kami tidak tahu ke mana harus memulangkannya.” Apa? Sana ada di club malam? Mabuk lagi! Bisa-bisanya anak itu. “Aduh,” Kinanti bingung dan panik. “Oke, kirimkan alamatnya deh. Saya akan jemput segera.” Lalu dia memutus sambungan telpon itu dan semakin kalut. Terburu Kinanti bergerak, lupa tadi sedang apa dan dengan siapa. “Kinanti, kamu mau ke mana?” Lengannya dicekal. Ya ampun, Mas Bara! Kenapa Kinanti bego sih meninggalkan orang begitu saja? “Eh, Mas, anu.” Kinanti tidak tahu mau mengatakan apa. “Aku harus pergi sekarang, maaf ya. Kita ngobrol lain kali.” “Iya, ke mana?” Bara mencegah lagi. “Kamu kelihatan panik, tidak baik pergi sendiri. Aku yang antar.” “Eh tapi,” Kinanti bingung ketika tangannya ditarik oleh Bara. Yang jelas sekarang, mereka sudah benar-benar keluar dari backstage. “Baiklah, Mas Bara boleh ikut.” Kinanti memutuskan pada akhirnya. ***             Ketika sampai di club malam itu, mereka tidak perlu susah-susah mencari di mana Sana. Karena pihak club sudah mengamankannya yang tengah mengoceh-oceh tak jelas. Sana nampak emosional ketika ditenangkan. Kinanti spontan berlari mendatangi, tak peduli dengan hak sepatunya yang tinggi itu. “Sana, astaga—kamu ngapain sih malah di sini, mabuk lagi.” Gadis itu mencoba menangkap tangan Sana yang terbang tak keruan di udara. Hingga akhirnya, Sana menatapnya dan agak lebih tenang sedikit melihat wajah yang dikenalnya. “Kinanti, sobatku.” Sana menangis tanpa air mata dan memeluknya. Wah, mabu k parah. “Aku minta maaf karena tak hadir di acaramu dan malah nekat bertemu dengan pria sialan itu di sini! Aku menyesal, Kinanti. Aku menyesal!” Jeritnya histeris. “Dia bisanya cuma menyakiti aku saja!” “Aduh, aduh,” Kinanti kelabakan. “Yaudah, ayo kita pulang dulu. Udah, Sana. Ceritanya jangan di sini ya.” Dan tanpa diminta pun, Bara dengan sigap membantu. Mereka berdua bekerjasama memapah Sana, setelah Kinanti meminta maaf pada pihak-pihak yang terusik atas tingkah laku temannya itu. Dengan napas yang satu-satu, akhirnya Kinanti berhasil juga mendudukkan pantatnya di kursi penumpang mobil Bara. Gila, Sana berat juga. “Kalian menginap di mana?” Bara bertanya, Kinanti menyebutkan nama hotel yang mereka sewa untuk dua hari di kota Bandung. Mobil pun melaju. Sana kini semakin tenang meski ocehan-ocehan ngawurnya sesekali masih terlempar dari mulutnya. Diam-diam Kinanti prihatin, dia tahu penyebabnya mengapa Sana sampai bertindak sejauh ini. Well, mereka akan bicara saat gadis itu sudah sadar dan akal sehatnya kembali. Bara diam selama perjalanan, dia tahu Kinanti sedang resah. Maka yang dilakukannya adalah tidak mengganggu gadis itu dengan pertanyaan apapun. Hingga mobil yang dikendarai olehnya sampai di halaman parkir hotel. Sekali lagi, mereka berkerjasama untuk memapah Sana masuk hotel, hingga lift. Di lift, Sana yang tidak bisa diam membuat Kinanti agak terhunyung karena menahan berat badannya. Hingga hal itu membuat kaki-kaki Kinanti bergerak ke depan dan hak sepatunya yang tinggi membikin Kinanti goyah. Gadis itu pun memekik kaget, limbung, nyaris jatuh, dan untungnya Bara menangkap tubuhnya. Posisi pria itu kini seperti memeluk dua orang wanita. Dan untungnya, hotel tidak ramai dan hanya ada mereka bertiga di dalam lift. “Hati-hati Kinanti,” bisik Bara, begitu dekat dengan telinga Kinanti. Sampai nyaris wajah mereka bersentuhan saat kepala Kinanti mulai mendongak. Mereka saling tatap dengan jarak yang sangat minimalis. “Hati-hati.” Ingatkan Bara lagi membuat Kinanti tersadar. Gadis itu dengan amat susah payah kembali ke posisinya semula. Sial, kakinya sakit. Pergelangan kaki Kinanti pasti terkilir. Beberapa detik kemudian, lift itu pun terbuka. Mereka berjalan, dan sesekali pelayan berhenti untuk menawarkan diri membantu. Tapi kamar sudah dekat, Kinanti membukanya dengan kunci. Sementara Bara memapah Sana masuk, dan Kinanti menyiapkan kamar serta selimut. “Huh, akhirnya.” Kinanti membuang napas dengan lega setelah melihat Sana terbaring di ranjang, dan tubuhnya telah dia selimuti. Biarkan gadis tengil itu beristirahat dulu sebelum besok Kinanti menceramahinya panjang lebar. “Makasih Mas Bara sudah mau membantu.” Kinanti mengalihkan perhatiannya pada pria itu. Yang pasti juga kerepotan, tapi tidak terlihat capai ya? Alih-alih menjawab, Bara malah merundukkan tubuh untuk mengambil kaki kanan Kinanti. “Eh, Mas?” Kinanti kaget. “Pergelangan kakimu terkilir, Kinanti. Jika dibiarkan besok bisa membengkak.” Bara menegakkan tubuhnya, lantas mengambil tangan gadis itu dengan lembut dan dituntunnya menuju sofa kamar hotel. “Duduk di sini. Kamu punya lotion?” “Biar aku aja yang ambil.” “Tunjukkan padaku tempatnya.” Tegas Bara. Kinanti mencebik, namun tak urung dagunya mengedik pada laci di samping ranjang. Dan tak butuh waktu lama bagi Bara untuk kembali. “Aduh.” Kinanti kesakitan, padahal Bara baru meraba sekali untuk menemukan area yang terkilir. “Aku bahkan belum memulainya.” Bara menatap mata gadis itu dengan sinar geli di matanya sendiri. Dan untungnya saja, Kinanti bisa menahan jeritannya di kerongkongan agar tak memalukan di depan Bara. Masa Kinanti harus menangis gara-gara dipijit? Walaupun memang sakit sih. Kinanti meringis, “Aduh, Mas. Pelan sedikit. Jangan kencang-kencang, dong.” Kalimat itu terdengar ambigu di telinga Kinanti. Ih, kenapa mulutnya tanpa rem sekali, sih? Jadi tengsin kan. “Eh, pelan aja mijitnya maksudku.” “Sudah selesai, kok.” Bara menyembunyikan senyum simpulnya. Duduk di sofa yang sama dengan Kinanti, tepat di samping gadis itu sembari menyeka kedua tangannya yang penuh lotion dengan tissue. Kinanti memerhatikan Bara dari samping. Dengan matanya yang sembunyi-sembunyi. Kalau dilihat-lihat, Bara ini seperti aktor Indonesia Ario Bayu—versi lebih kekar. Kulit coklatnya, dan wajahnya yang tegas itu seperti Ario Bayu yang pernah Kinanti tonton filmnya. Dan, apakah itu artinya Bara lebih tampan? Eh, mikir apa sih? Kinanti menggeleng. “Kenapa?” “Enggak,” Kinanti menatap Bara di antara kamar yang gelap. Mereka sampai lupa lampunya tak dinyalakan. Tapi untungnya pintu kamar yang terbuka, mendapatkan sedikit cahaya dari ruang utama kamar hotelnya. “Aku hanya enggak nyangka ninggalin acaraku sendiri.” Eits, bukan main. Bisa juga alasannya. Bara tersenyum, kalau Kinanti melihatnya. Tangan pria itu lantas terulur untuk mengusap-usap rambut Kinanti yang panjang bergelombang. Kinanti sampai tak bergerak dibuatnya. “Lain kali hati-hati ya,” tangan yang kokoh itu masih mengusap manis rambut Kinanti. “Jangan lupa semalaman ini kompres pakai air hangat. Biar bengkaknya cepat hilang. Sudah enggak begitu sakit, kan?” Kinanti mengangguk dengan sedikit kaku, apa yang mesti dia katakan coba? “Kamu sudah makan?” “Belum.” “Mau kubelikan?” “Enggak usah.” Lah, itu sih namanya Kinanti dengan tak tahu dirinya merepotkan berkali-kali. “Tunggu di sini.” “Ih, Mas Bara.” Kinanti menangkap tangan pria itu hingga membuat Bara kembali duduk di sofa. Kaget juga atas tindakan spontannya itu. “Aku bisa pesan di sini.” “Pasti lama kalau pesan di hotel.” “Enggak.” Debat Kinanti. “Udah ya, Mas Bara pasti juga cape. Kita makan di sini aja, biar aku hubungi restoran hotelnya.” Pada akhirnya, Bara setuju. Apapun itu demi membuat gadis bernama Kinanti tenang. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
220.4K
bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
571.2K
bc

DRIVING ME CRAZY (INDONESIA)

read
2.0M
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Rewind Our Time

read
161.6K
bc

HOT NIGHT

read
607.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook