Hari Ahad sudah tiba, hari yang aku nanti-nanti dalam satu minggu. Hari taklim seperti biasanya. Sudah sebulan setelah kami keluar dari rumah sakit. Taklim kali ini aku seperti biasa pergi dengan bang Hen menggunakan mobil, hanya saja ada hal yang terlihat sedikit berbeda hari ini yaitu sebuah tas merek Deuters yang entah apa isinya teronggok manis dibangku belakang, aku husnudzon saja mungkin malas menenteng mushaf dan buku catatan seperti biasanya makanya bang Hen bawa tas.
Taklim berjalan seperti biasanya, ustad Abu Umar berceramah dengan tema adab terhadap kedua orang tua, aku mencatatnya inti dakwahnya hari ini sembari membuka mushaf ku saat sang unstad membacakan sebuah dalil dari Al-qur’an yang kemudian kutandai dimushaf cover merahku dengan sedikit tanda merah. Begitu juga dengan ummahat dan akhwat yang lain, mereka juga melakukan yang hampir sama dengan yang kulakukan, hanya beda metode penulisan saja. Dea hari ini tidak hadir, mungkin sedang repot atau ada udzur.
Selesai sesi tanya jawab, ada jeda sekitar 10 menit kosong, para akhwat berkumpul disekitar Mbak Airin. Mbak Airin ini salah satu admin di group Jannah Squad, kemudian terlihat beberapa orang akhwat yang hadir mengumpulkan amplop coklat seperti amplop melamar pekerjaan. Lalu mereka bercerita mengenai pernikahan, aku diam saja karena aku belum begitu dekat dengan mereka meski kami sudah 4x lebih bertemu.
Kemudian mbak airin menegurku “Syah, amplopmu mana?” mendadak
“Hah? Amplop? memangnya ada lowongan pekerjaan disini?” jawabku dalam hati
lalu kujawab dia, “Amplop apa ya mbak?” tanyaku penasaran
“Loh kamu gak baca ya? Kemaren kan sudah diumumkan di grup bagi akhwat yang sudah siap menikah untuk segera mengumpulkan biodata untuk kemudian akan dicarikan jodohnya” lanjut mbak Airin
“Hah? bisa gitu ya? Kok aku gak tau?” lalu aku menengok kearah teman-teman akhwat yang lain yang sedang sibuk masing-masing, kemudian balik memandang mbak airin sambil kujawab “Iya mbak, Isyah gak baca.”
“Oh gapapa kalo gitu, nanti kamu nyusul aja kumpulinnya. Udah siap nikah kan?” katanya seperti menembakan anak panah pas kejantung hatiku
“Eh hehe” aku tertawa kecil, malu untuk menjawabnya
Ada sedikit fikiran buruk yang saat itu terbesit dikepalaku “Ini mbk, ngurusin nikahan orang. Dia aja belum menikah. Apa dia belum siap?” karena yang kutahu mbak ini sudah berumur. Lalu segera kuteringat dan mengucap “Astagfirullah”
Pembicaraan kami terhenti oleh suara azan yang indah, pertemuan hari ini berakhir dengan sedikit membawa beban pikiran dikepalaku tentang biodata yang sepenuhnya belum aku mengerti. Lalu kami pulang, aku melihat kearah jendela meneliti wajah yang kukenal. Setelah memastikan melihat bang Hen mendekati mobil, aku kenakan maskerku, berpamitan dengan semua akwati di dalam dan teras masjid kemudian berjalan menunduk kearah mobil menuju bang Hen.
Mobil berjalan menuju perjalanan pulang dijalan aku yang sedari tadi memikirkan tentang biodata itu tak tahan ingin menanyakannya ke bang hen
“Bang, tadi ada mbak-mbak yang ngumpulin biodata-biodata. Katanya untuk yang sudah siap menikah, itu maksudnya apa ya bang?”
“Oh, itu. Itu biodata-biodata akhwat dikumpulin, terus biar nanti dikasi ke Ustad nah nanti biodatanya dikasih ke ikhwan yang sudah siap menikah” katanya
“Terus?”
“Ya terus sang ikhwan liat kan diantara biodata-biodata itu tertarik ke yang mana, nah nanti dia bilang ke ustadnya dia suka si A misalnya, terus ustadnya bilang ke ustazah ada ikhwan yang suka sama akhwat A”
“Terus” lanjutku penasaran
“Ya terus terserah mereka, mau nadzor dulu kerumah akhwat ditemani sang mahrom dari perempuan atau langsung poses khitbah”
“Maksudnya?”
“Hmm panjang nih penjelasannya” katanya
“Ayolah lanjutkan” bujukku
“Wani piro?”
“Ada, lima puluh ribu! Cukup?”
“Ya kuranglah, sejuta baru!”
“Ah bang, ayolah” aku mendesak
“Nadzor itu melihat artinya sang laki-laki boleh bertemu perempuan dan melihatnya secara langsung, dengan catatan harus ditemani mahrom. Nah terus terserah laki-laki mau langsung menjawab untuk langsung diikat dalam khitbah boleh, enggak juga gak papa. Kalo masih mau fikir-fikir dulu boleh kasih waktu ke akhwat harus ada tempo, tapi kalo mau langsung diterima ya sudah langsung proses khitbah saat itu juga”
“Terus?”
“Terus?”
“Khitbah itu apa?”
“Oh, khitbah itu melamar atau meminang jadi kalau sang akhwat menerima lamaran atau pinangan dari seorang ikhwan maka status wanita tersebut adalah sudah dipinang dan haram hukumnya bagi ikhwan lain untuk mengajukan lamaran terhadap akhwat tersebut. Kecuali sudah terjadi pemutusan khitbah antara kedua belah pihak”
“Udah?”
“Ya belum, setelah itu baru ijab qabul dan baru sah mau pegangan tangan”
“Gak ada pengenalan dulu?”
“Kan udah dari biodata”
“Cukup?”
“Insyaa Allah”
“Abang masukin?”
“Masukin apa?”
“Biodata?”
“Udah! Kenapa!? Kamu mau?”
“Euh” aku bersuara tak jelas
Dalam hati aku bilang, iya bang mau! Mau sekali! Tapi apalah daya lidahku kelu tercekat tak bisa mengeluarkan kata-kata itu. Aku malu, malu sekali. Ah sungguh aku malu. Lalu bang hen memecah fikiranku sesaat, ia memberiku sebuah hadits Arbain, Rasulullah salallahu Alaihi wasallam bersabda
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnyakarena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” ( HR. Bukhari Muslim)
“Dulu Syah, ada seorang pemuda yang berhijrah karena seorang wanita yang ingin dia nikahi. Wanita tersebut bernama ummu Qais. Maka laki-laki yang berhijrah disini disebut muhajir ummu qois yaitu orang yang berhijrah karena ummu qais, kan sayang ya gak syah. Masa beribadah kepada Allah hanya demi wanita atau harta. Coba kalo ikhlas mengharap wajah Allah semata dengan berdasarkan cara yang Rasulullah Salallahu alaihi wasallam ajarkan kan pasti mudah untuk allah membrikan kita segalanya apalagi cuma masalah jodoh dan kekayaan”
Jreng… bagai tamparan keras padaku. Hadits ini sangat cocok denganku. Tak kupungkiri ada maksud terselubung dalam hatiku tentang hijrahku. Melihat keluarga harmonis Dea dan suaminya juga semua ummahat yang ada disana semakin membuat darahku berdesir untuk segera mendapat jodoh yang soleh. Tapi caraku salah. Yang artinya barang siapa hijrah karena Allah akan mendapat semuanaya, kata-kata itu seolah selalu terngiang ditelingaku. Apa aku salah prioritas? Kenapa aku hijrah? Apa Cuma untuk mendapat suami? Lalu dimana ‘Allah?’ kenapa seperti ini? Tidak, aku salah! Hijrahku salah! Fokusku salah! Perkara jodoh itu hal yang amat mudah bagi Allah, kenapa aku harus capek-capek hanya untuk mendapat hal yang kecil? Bukankah cinta Allah lebih besar? Allah lebih besar dan aku akan mendapatkannya, aku harus mengetuk pintu itu. Fokusku harus berubah yaitu mendapat kasih sayang Allah. Bukan sekedar jodoh yang pasti sudah Allah takdirkan ada untukku.
***
Hari ini hari senin, aku melakukan amalan sunnah puasa senin-kamis. Tak banyak yang kulakukan pagi ini selain beribadah dan membaca kitab tauhid yang kupinjam dari bang Hendri. Sekitar jam 9 pagi hp ku bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Aku melihatnya ternyata mbak Airin yang mengirim pesan
“Bismillah, Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Aisyah sibuk hari ini? Kalau tak sibuk bisa main kerumah ana? Qadarullah ana lagi sendirian dirumah. Kita bisa ngobrol-ngobrol. Mau ya?”
“Waalaikumusallam warahmatullahi wabarakatuh, afwan mbak sebentar ana tanya ke orang tua dulu boleh atau tidak ana main kerumah mbak”
“Tafadhol”
Lalu aku kebawah mencari papa yang kebetulan ada di dapur, aku bertanya bolehkah aku mampir kerumah mbak Airin yang berada di desa sebelah, papa bilang boleh tapi diantar bang Hen. Kemudian aku menghubungi mbak Airin minta denah persis rumahnya dimana, mbak Airin mengirimkan denah rumahnya melalui pesan wa yang kemudian aku akses di google map, ternyata rumahnya persis diseberang masjid tempat kami biasa taklim. Akhirnya aku ganti baju gamis dan memakai masker pergi kerumah mbak Airin diantar bang Hendri. Nanti pulangnya belum tau kataku, kalau sudah selesai akan aku telpon minta jemput.
Mobil berhenti tanda aku sudah sampai, aku turun dan masuk kepekarangan rumah yang sangat bersih itu
“Assalamu ‘alaikum” panggilku sambil kuketok pintu rumah mbak Airin
“Waalaikum salam” mbak Airin melongok melalui tirai jendela menunjuk-nunjuk kearah bang Hendri mengisyaratkan bang Hen untuk pulang lalu aku segera ke mobil bang Hen memintanya untuk pergi dan menjemputku kembali saat aku telpon. Bang Hendri mengiyakan kemudian langsung pulang.
Ia membukakan pintu mempersilahkanku masuk kamudian aku masuk kerumah dan mulai mengobrol
“Aisyah diatar siapa?”
“Oh, itu bang Hendri adik kandung papa”
“Ooh, emang Aisyah gak punya saudara kandung laki-laki?”
“Ada Cuma dia masih sekolah”
“Bentar ya mbak ambil minum dulu”
“Afwan mbak ana puasa”
“Masyaa Allah shaum ya”
Mataku melirik amplop-amplop coklat yang ada di meja mbak aisyah, sepeertinya ia sibuk dengan itu. Melihat itu ia bertanya?
“Kenapa? Penasaran? Mau buka? Tafadhol kalo mau,
“Hah? Boleh mbak?
“Iya, silahkan”
Lalu aku mulai membuka satu persatu amplop itu, biodata-biodat para ikhwan yang sudah siap mencari jodoh. Lalu aku membuka biodata bang Hendri sambil aku tersenyum melihatnya,
“Kenapa syah? Ada yang lucu?” tanya mbak Airin penasaran
“Enggak mbak, ini aku lagi liat biodatanya pamanku. Lucu aja rasanya”
“Ah kamu ada-ada aja”
Lalu aku memberanikan diri bertanya ke mbak Airin perihal ia yang belum juga menikah padahal dalam hatiku umurnya sudah masuk ke usia 27 th.
“Mbak, kalo dengan biodata begini ada yang menikah ya?”
“Banyak. Kenapa? Kamu mau? Sini mana biodata kamu biar mbak kasih ke ustad”
“He he “
“Kenapa? Malu? Umur kamu berapa emang ?
“22th mbak”
“Oalah masih muda sekali, sudah siap menikah?”
“Sebenarnya aku bulan kemarin menikah mbak, Cuma mungkin belum Allah belum mentaqdirkan aku untuk itu. Jadilah aku sekarang disini bersama embak.”
“Qadarullah wa maa syafa’ala”
“Iya mbak. Mbak mau dengar kisahku?”
“Ah, tak usah. Takut ada aibmu disana. kasihan nanti aku membebani diriku sendiri dengan dosa seandai aku tak bisa menjaga lisan ku untuk tidak menceritakan kisahmu kepada orang lain. Sungguh, itu berat!”
“Lalu mbak sendiri kenapa belum menikah? Memberanikan diri bertanya
“Urusan menikah itu Allah yang atur. Kita manusia tinggal menjalankan saja. Asal usaha kita sudah maksimal, azzam kita sudah kuat diri kita sudah baik Insya Allah jodoh kita akan Allah dekatkan. Oh iya syah, mbak ada hadiah untuk kamu”
“Hadiah? Untuk apa mbak?”
“Ayo ikut mbk”
Lalu aku mengikuti mbak airin menuju sebuah ruangan yang sepertinya itu kamarnya. Dengan buku rapi tersusun banyak sekali. Ia memberiku buku Sifat Sholat Nabi. Aku disuruh belajar dari situ, memperbaiki dan mengubah sholatku, jika ada yang masih tidak sesuai dengan yang Rasulullah salallahu alaihi wasallam lakukan.
Azan memecah obrolan kami, lalu aku dan mbak airin kebelakang untuk mengambil wudhu dan kemudian melaksanakan sholat berjamaah bersama. Aku melihat mbak Airin membentangkan duan buah sajadah berdampingan, aku menyangka ia akan menjadi imam tapi kenapa sajadahnya berdampingan? Aku diam saja kemudian dia merapatkan shaf denganku yang mana kaki dan pundak kami bersentuhan kemudian dia memulai memimpin sholat. Takbir ia kumandangkan tanda awal mulanya sholat, dengan suara yang hanya terdengar oleh aku dan dia. Ternyata inilah cara sholat yang benar ketika berjamaah berdua, sungguh aku tak tahu apa-apa selama ini. Selesai sholat aku merapikan pakaianku dan berpamitan pulang, tak lupa ia membungkuskanku sebuah apel untukku berbuka puasa. Mobilpun tiba didepan rumah bercat putih tersebut. Saatnya berpisah aku mencium dan memeluknya erat sebelum akhirnya benar-benar berpisah.