BERTEMU TEMAN LAMA

4929 Words
Hari-hariku selanjutnya berjalan normal seperti biasanya, aku habiskan banyak waktuku untuk membantu mama dan papa di toko sambil membawa buku yang diberikan tante. Jika lelah aku main hp, scrolling beranda f*******: tante yang isinya banyak tausiah dan ceramah agama. Aku mulai disibukkan dengan mempelajari fiqih dari hadist shohih juga menonton ceramah-ceramah agama yang berseliweran di Youtube. Tak jarang aku tertawa saat menonton ceramah ustad yang lucu ataupun menangis saat ustad ceramah perihal siksa kubur atau azab neraka dan lainya. Masih segar diingatanku, saat itu aku sedang menonton ceramah ustad Abdul somad pada hari jumat, ada seseorang laki-laki yang bertanya melalui sebuah kertas yang kemudian dibacakan oleh ustad tersebut “Pak ustad, saya sedang berkuliah semester 5, saya menyukai seorang akhwat yang sangat cantik, wajahnya bagai purnama disiang maupun malam hari dan selalu aku terbayang akan kecantikannya. Apa yang harus saya lakukan, sebab saya takut jika tidak bertindak maka sang gadis pujaan hati akan jatuh dipelukan orang lain, sedang saya untuk meminang beliau belum berani karena belum memiliki bekal apa-apa?” Tertawalah pak ustad membaca pertanyaan dari laki-laki tersebut lalu dijawabnya dengan bercanda “Adinda, kalau kau benar merasa khawatir pergilah kerumahnya, temui bapaknya dan bilang kalau kau ingin menikahi anaknya. Kalau bapaknya tanya kapan kau jawablah 3 atau 4 tahun lagi, Insyaa Allah adindaku sayang kau akan diusir” lalu sang ustad tertawa Diikuti riuh jamaah saat menonton kemudian sang ustad menjawab “Adindaku sayang, percaya kata-kata saya. Itu hanyalah keinginan sesaat yang diikuti oleh hembusan-hembusan gejolak nafsu yang dibumbui oleh syetan. Sabarlah dulu, tamatkan kuliahmu dulu karena tanggung sedikit lagi. Ingatlah orang tuamu yang mebiayai kuliahmu dan ingin melihatmu sukses dulu. Nanti kalau kau sudah sukses wanita itu datang sendiri, dan banyak jumlahnya. Juga cantik-cantik. Lakukan amalan-amalan sunnah seperti puasa sunnah yang Rasulullah Salallahu alaihi wasallam anjurkan, Insyaa Allah hatimu akan menjadi tenang.” Seperti itulah kurang lebih isi ceramah sang ustad yang aku tonton dan membuatku berfikir, ternyata perkara menikah adalah perkara yang tidak mudah, panjang prosesnya juga tidak bisa sembarangan, harus dipikirkan baik-baik. Saat sedang menjaga kasir hari itu ada seseorang datang ketoko, dari belakang penampilannya seperti tanteku. Cantik dan anggun sekali, bedanya dia ditambah cadar. aku yang berada di kasir sampai terpesona melihatnya. Dia masuk dan membeli banyak barang, saat aku lagi mengecek harga barang dia menegurku “Assalamu ‘alaikum Aisyah” katanya “Waalaikum salam” “Masih ingat ana?” “Ana siapa ya?” lalu dia sedikit tertawa kemudian melanjutkan “Bukan, maksudnya masih ingat saya?” akukan tak punya teman bercadar fikirku, kok dia kenal aku? Lalu kujawab “Maaf, mbak siapa ya?” “Ini aku Dea, teman masa kecil kamu. Dulu kita satu sekolah. Cuma pas SMP aku dipindahkan ke pondok di Jawa” “Ya Allah ini Dea? Subhanallah cantik sekali. Apa kabar? “Khoir Alhamdulillah” Lalu aku keluar dari meja kasir, ia mngulurkan tangannya dan aku menyambut salam darinya sambil memeluknya, wangi sekali bau minyak telon yang ia gunakan. Terasa ada yang menjedul di perutnya. “Kamu hamil?” “Iya Alhamdulillah” “Sudah berapa bulan?” “Masuk 6 bulan” “Subhanallah” “Suamimu mana? “Itu didalam mobil menjaga anak kami yang pertama dia sedang tertidur kasihan dibangunin” “Subhanallah, sudah mau punya dua anak ya, semoga sehat ya sampai lahiran” “Allahumma aamiin, Syah aku duluan ya kasihan suami kelamaan nunggu. Aku lanjut ke kasir ya” Ia membayar semua belanjaannya di kasir yang dilayani oleh karyawan papa, sedang aku menemaninya berdiri didepan kasir tepat disebelahnya. “Nanti kapan-kapan kita ngobrol banyak ya, minta nomer wa mu lah” “Iya, 085267828899” jawabku “Aku save, nanti aku hubungin kamu ya Assalamu ‘alaikum” “Waalaikum salam” Lalu ia pergi, sambil melambaikan tangannya. Dibalik cadarnya matanya terlihat berbicara, mengungkapkan bahasa senyum yang indah yang tak dapat kulihat langsung dari bibirnya. Memandangnya aku sangat bahagia, sepertinya tanah gersang di dalam hati ini sudah tersiram air hujan lagi. *** Setelah sholat isya hp ku bergetar. Tanda ada pesan masuk. Aku buka hpku. “ Assalamu ‘alaikum” “Waalaikum salam” kujawab “Syah, ini aku Dea. Aku mau masukin kamu ke group akhwat. Gapapa kan?” “Iya, boleh. Dengan senang hati” “Syukron” “Iya, hehe” Lalu aku dimasukan ke group berjudul Jannah Squad. Nama yang lucu, umik dan bagus. Meski terdengar kekinian tetapi tujuannya jelas yaitu mengejar jannahnya Allah, aku tersenyum. Tak lama pesan wa masuk silih berganti “Ahlan wa sahlan Aisyah” “Ahlan wa sahlan Aisyah” “Assalamualaikum Aisyah, ahlan wa sahlan” Aku bingung mau jawab apa, hampir semua mengucapkan itu padaku, lalu aku jawab saja “Waalaikum salam ukhti” lalu aku scrolling grup tersebut membaca-baca beberapa tausiyah yang anggota grup kirimkan. Beberapa akhwat mengobrol masalah fiqih dan lain sebagainya. Malam itu Dea tak muncul di grup, mungkin sedang sinuk menidurkan anaknya. *** Besok paginya Dea mengirim pesan, “Assalamu ‘alaikum Syah, ahad ini ada taklim di masjid Abu Bakar Ash Siddiq oleh ustad abu umar, kamu mau datang? Aku juga datang Insyaa Allah” “Jam berapa De?” “Jam 10 Syah seperti biasanya” “Oh iya, Insyaa Allah” Jujur, aku bingung, mau pergi tapi sama siapa. Terus aku ingat Nina sahabatku disaat suka maupun duka. Aku telepon dan aku ceritakan semuanya. Nina kaget sekaligus seneng denger kabar kalau Dea udah balik lagi ke desa. Terus aku ajak Nina taklim ikut denganku hari minggunya, Nina mau. Nina sih gitu orangnya, enak. Apa aja mau dia. Dia orangnya tulus, gak pamrih sama orang. *** Hari minggu yang ditunggu tiba, kami berdua bersiap. Aku pake gamis biru tosca motif bunga-bunga kecil. Jilbab tosca polos panjang. Pake training, kaos kaki. Sudah cantik, pikirku. Aku pake bedak tipis dan parfum. Gak dandan sih mukanya, Cuma pakai bedak sedikit saja agar tak terlalu pucat. Lalu aku pamit ke papa mau jemput Nina. Ada pengajian kataku. Papa Tanya jam berapa pulang? Aku jawab belum tau, kalo udah selesai langsung pulang. Aku bawa motor untuk menjemput Nina, ternyata Nina lebih menor dari aku, pake lipstik dan alis. Meski natural yah tetap kelihatan dandannya. Lalu aku bawa motorku perjalanan dari rumah kami menuju masjid sekitar 20 menit santai. Sampai di masjid belum ada orang, hanya beberapa laki-laki yang duduk-duduk di pelataran sisi kiri masjid, tidak tampak orangnya bagi kami tapi terdengar sayup-sayup suaranya. Pas parkir aku melihat satu motor yang sepertinya aku kenal. Kemudian Nina menarik tanganku, buru-buru mengajakku masuk, lalu kami masuk ke dalam masjid di bagian wanita. Tak pernah kulihat masjid seperti ini sebelumnya, kain pembatas antara laki-laki dan perempuan begitu tinggi sekitar 2 meter atau mungkin lebih dan tebal sehingga tak terlihat cahaya dari shaf laki-laki yang bisa melaluinya, semua sisinya dipaku didinding sehingga tidak ada celah bagi laki-laki untuk melihat ke sisi perempuan. Serta kaca hitam yang tebal yang bisa dilihat hanya dari dalam pada siang hari, sehingga orang dari luar tidak bisa melihat kedalam. Kami duduk dibagian agak sudut masjid karena Nina mau menumpang ngecas handphone. Satu persatu wanita mulai berdatangan. Setiap orang yang datang selalu menghampiri kami dan mencium pipi kami seraya mengucapkan salam. Benar-benar pengalaman baru dan tak terlupakan untuk kami. Karena jujur belum pernah ada orang asing yang memperlakukan kami seperti demikian. Lumayan banyak yang datang di bagian khusus wanita tersebut, sekitar 20-30 orang. Banyak ibu-ibu dan beberapa gadis disana separonya mengenakan cadar dan sebagian lagi tidak atau juga mengenakan masker kemudian dilepas. Ketika sampai di dalam masjid satu persatu mereka membuka cadar dan maskernya, Masyaa Allah wajah mereka benar-benar cantik-cantik. Tertutup anggun dengan cadarnya. Mereka juga ramah-ramah dan tak ada satupun yang ketus atau bermuka masam. Sesekali leher kami memanjang ke arah parkiran, menanti mobil Avanza Veloz milik Nina, satu-satunya orang yang kami kenal disana. Dari kejauhan terlihat seorang perempuan cantik berpakaian hitam datang dengan menggendong anak perempuannya yang sedang tertidur, berjalan pelan dan masuk ke dalam masjid. Meneliti ke dalam melihat ke kanan dan kekiri. Setelah bersalaman dengan beberapa wanita ia langsung menyambangi tempat kami duduk dan merapikan tempat sebagai alas untuk putrinya tidur. Banyak sekali anak-anak disana, mereka berlari dan bermain kegirangan. Tidak ada siapapun yang memarahi mereka hanya saja sesekali terlihat ibu mereka melambai-lambaikan tangan ke anaknya masing-masing seraya mengisyaratkan telunjuk kemulutnya untuk menyuruh anaknya diam. Tapi namanya anak-anak. Diam sebentar langsung ribut lagi. Kami mengobrol basa basi sebentar sekali sebelum akhirnya ustad Umar memulai taklimnya dan semua mulai sibuk mendengarkan juga mencatat. Pulang taklim selesai sholat dzuhur hari ini membawa suasana yang berbeda didiri aku, jujur aku belum pernah merasakan hal seperti ini. Aku belum pernah mengikuti pengajian apapun sebelumnya. Kajiannya juga orang-orangnya membawa hal baru dalam hidupku. Semua ibu-ibu keluar dengan tertib sembari menunggu sang suami masing-masing. Para akhwat juga mengikuti, pulang dengan kendaraan masing-masing. Setelah salam dan berpamitan kami langsung menuju ke parkiran “Syah…” terdengar suara seorang lelaki memanggil namaku Aku tidak menoleh, mendengar ada lelaki yang memanggil aku menjadi ragu dan bertanya “Lho? Siapa? Apa ada yang kenal denganku disini? Atau ada temanku disini?” Lalu laki-laki itu datang kemudian menepuk pundakku sambil mengusap-ngusap kepalaku. Aku merinding, “Aduh, siapa ini?” “Kamu kesini sama siapa? Tau darimana taklim disini?” katanya bertanya “Itukan suara bang Hen” kataku dalam hati Lalu aku menoleh dan benar saja bahwa itu bang Hendri. Tak disangka ternyata kami bertemu disini. Lalu kujawab “Diajak temen bang, itu sama Nina” sambil menunjuk kearah Nina yang sedang menungguku “Lah abang? Kesini sama siapa? Kenapa gak bilang kalo sering kesini?” “Inikan jauh, rawan. Aduh kamu! Ayo pulang bareng abang!” nyerocos tanpa menjawab pertanyaanku Lalu kami bersiap memakai helm. Kulihat dari kejauhan Dea dengan sangat bahagia pulang dengan digandeng suaminya yang saat itu juga sedang menggendong anak sulung mereka. Benar-benar potret keluarga bahagia, sakinnah, mawaddah, warahmah pikirku. Jujur aku iri padanya! Perjalanan dari masjid menuju rumah melalui beberapa dusun, dengan melewati beberapa ladang kosong tak terurus. Hari itu ba’da zhuhur, waktu yang panas dan terik sekali. Motor aku bawa tidak terlalu kencang karena takut, sebab dijalan lintas seperti desa kami sering banyak truk yang terkadang berjalan ugal-ugalan. Lalu di sawangan kami diikuti, aku dan Nina kehilangan bang Hendri yang kami kira selalu berada dibelakang kami. Rupanya ia sudah tidak ada lagi, 2 motor bodong terus saja mengikuti kami. Motor yang tidak berplat dan pengendaranya menggunakan masker pada wajahnya. Aku mempercepat laju motorku. Tak suka melihat itu salah satu motor yang berisi 2 pengendara kemudian menyusulku dengan kencang lalu langsung menendang motorku sehingga kami jatuh ke tanah berbatu yang letaknya dibawah daripada jalan aspal. Entah tergas atau bagaimana, kemudian motor hilang kendali dan berjalan kearah depan serta berputar dengan aku yang ikut terseret motor, sedang Nina sudah tergeletak terjungkal kebelakang dibagian semak belukar. Melihat kami tak berdaya dengan sigapnya 3 orang begal tersebut ingin merebut motorku yang sudah tidak hidup lagi. Kemudian dari belakang bang Hendri berteriak “MALIIIIIINGGG” dengan suara khas laki-laki yang besar dan sedang marah yang membuat begal itu terkejut. Bang Hen dan seorang temannya berhenti dan berlari membantu kami, salah seorang begal kemudian mengeluarkan parang yang tergantung di pinggang celananya dan mengayunkan kearah kepala bang Hendri, sempat mengelak ayunan parang sang begal kemudian melukai punggung belakang bang Hen, darah mengucur deras. Kejadiannya cepat sekali! Melihat darah yang mengucur di baju koko bang Hen membuat para begal ketakutan dan kemudian melarikan diri. Kejadiannya begitu singkat dan cepat. Beberapa saat kemudian lewat kendaraan didekat kami yang ternyata itu adalah mobil ustad dan para jamaah taklim tadi juga beberapa masyarakat umum lainnya. Melihat keadaan kami yang luka-luka dengan keadaan bang Hendri yang kritis ustad membawa kami menaiki mobilnya. Motorku dan motor bang Hen dibawa beberapa ikhwan masjid. Kami langsung dibawa ke puskesmas terdekat. Sesampai di puskesmas luka-luka kami kemudian dibersihkan. Hanya Nina yang bersih dan tidak terluka sedikitpun, sesekali terlihat Nina mengusap-usap pinggangnya. Mungkin terasa ngilu akibat terjatuh di rerumputan. Bang hen masih saja belum sadar kemudian aku menelpon papa memberitahukan keadaan kami, papa panik lalu segera datang menyusul. Bang Hendri harus mendapat perawatan lebih, suntikan penahan rasa sakit dan selang infuse sudah disuntikan oleh dokter jaga puskesmas kebadan bang Hendri. “Kondisi pasien kritis dan harus segera dibawa ke Rumah Sakit besar” kata dokter penjaga berkacamata yang sepertinya masih bujangan itu. Doker memberikan surat pengantar lalu aku dan papa pergi ikut mobil ambulans menuju kota sementara Nina sudah diantar oleh Ustad Abu Umar kembali kerumahnya. Selama di perjalanan nafas bang Hen stabil. Mobil ambulans melaju ngebut sekali sampai aku merasa ketakutan. Suara sirine mobil terus mengaung-aung tanda keadaan yang gawat, sangat gawat sehingga setiap mobil atau motor yang berada didepannya menepi. Sesampai di rumah sakit bang Hen langsung dinaikan ketempat tidur untuk masuk keruangan IGD. Papa yang saat itu melihat luka-lukaku juga perban yang di pelipisku berdarah lagi kemudian memasukanku juga keruang IGD untuk dilakukan pemeriksaan. Papa dipanggil oleh seorang perawat laki-laki untuk kemudian dimintai data-data. Papa kembali ke bang Hen untuk mengambil dompetnya, papa juga meminta tasku rupanya papa ingin mencari kartu BPJS aku dan bang Hendri yang saat itu rumah sakit perlukan. Luka-lukaku di tangan dan kaki mulai terasa perih, suster mulai menyuntikanku beberapa obat untuk tes alergi, kemudian baru benar-benar menyuntikanku obat-obatan juga memberiku infuse. Sekitar satu jam mendapat perawatan diruang IGD dengan mendapat 5 jahitan di pelipis kiri aku dipindahkan kekamar untuk beristirahat, sebenarnya aku tidak mau dirawat tapi papa memaksaku “Takut ada luka dalam atau geger otak” katanya. Jadilah aku tidak bisa menolaknya. Setelah mengantarku kekamar papa segera menelpon tanteku untuk membantunya dirumah sakit. Keadaan bang Hen sudah sangat gawat, seorang perawat laki-laki menyusul papa kekamarku dengan membawa berkas-berkas persetujuan dari papa untuk melakukan tindakan operasi. Kemudian papa bersigap ke bawah mengikuti sang perawat menuju kebawah. Aku ditinggal sendirian dikasurku bersama seorang pasien lain diseberang tempat tidurku yang hanya memiliki 2 ranjang itu, tetapi karena papa menutup semua hordeng aku juga tidak bisa melihat apapun selain jendela yang terbuka, lalu badanku yang letih tak sanggup lagi membuat mataku terjaga, selain itu juga mungkin efek obatnya sudah bereaksi jadinya aku tertidur. Terbangun beberapa jam kemudian, aku mendapati tante yang sudah ada disebelahku. Ia menyapaku dan kemudian memberikan air putih kepadaku. Memberiku baju daster panjang kemudian membantuku mengganti pakaian. Aku mendapati cerita dari tante bahwa operasi bang Hendri berjalan lancar. Dengan entah berapa banyak jahitan, ia pun juga sudah dipindahkan keruangan VIP. Hari ketiga dirawat aku sudah diperbolehkan pulang, sedang bang Hen masih belum karena luka yang dalam itu, mungkin masih butuh waktu lama untuknya untuk istirahat dirumah sakit berbaringpun ia masih dalam keadaan miring atau menelungkup. *** Mama dan papa membantuku bersiap untuk pulang kerumah hari ini. Mama tak terlalu khawatir dengan keadaan bang Hen karena dia memiliki banyak sekali teman yang datang membantu menjaganya baik siang maupun malam silih berganti, mereka seolah tak ada habisnya datang bergantian untuk menjaga. Mama hanya meninggalkan uang untuk kebutuhan bang Hen dirumah sakit. Berbeda dengan papa, selama kami dirumah sakit ia tak pernah sedikitpun meninggalkan kami, hanya saja kali ini ia harus pulang karena ia harus mengantarku. Aku, mama dan papa pulang kembali ke desa. Keadaanku sudah sangat baik. Keesokan harinya papa berniat menjenguk bang Hen lagi dikota tetapi tampaknya tidak bisa karena banyak barang toko yang masuk juga banyak masalah lain yang harus papa selesaikan, mama juga tidak bisa ikut karena harus menjaga kasir, karyawan yang biasa berada dikasir tiba-tiba tidak masuk entah apa alasannya. Lalu papa mengajakku ke kota untuk menjaga bang Hen, malamnya aku disuruh menginap dirumah tante marina. Setelah mempersiapkan semua perlengkapan menginapku, aku menelpon “Bang, aku mau kesana sama papa. Tapi papa gak bisa lama-lama langsung putar balik. Mau dibawain apa?” “Alhamdulillah. Tolong kamu masuk ke kamar abang, buka lemari ambil sarung 2, celana pendek 4, baju koko yang ada kancing depannya 3, sama kaos oblong warna putih yang ada lengannya 3, terus siwak abang yang ada dimeja yang masih dalam bungkus juga jangan lupa bawakin buku abang ya ” kata beng hen “Siwak itu apa?” tanyaku “Ada kayak batang pohon dimeja kamar abang, dia masih dalam segel belum dibuka. Nanti ada bacaanya kamu baca aja” kata bang hen “Oh iya iya” “Terus bukunya buku apa? Berapa banyak?” “Bukunya terserah kamu mau bawa buku apa, 2 aja cukup” kata bang hen melanjutkan “He eh’ jawabku singkat Kemudian dia mengucapkan sallam dan kujawab Lalu aku kekamar bang Hendri, mencari barang-barang yang dia pesan tadi. Kulihat ternyata luar biasa sekali banyaknya koleksi buku bang Hen dikamar, entah buku-buku apa itu. “Oh ini ya sebabnya bang hen jarang keluar jika tidak ada keperluan? Rupanya dia asyik menghabiskan bacaan sebanyak ini” gumamku Kemudian aku membuka lemarinya, mencari sarung, celana, kaos dan koko bang Hen lalu menumpuknya di atas kasur. Kucari siwak dan akhirnya setelah agak bingung sendiri, aku menemukannya berada di dalam gelas yang juga berisi sisir, korek, gunting, pisau kecil, cotton bud, korek gigi dan barang-barang lainnya. Kemudian pesanan terakhir bang Hen yaitu buku, bingung memilihnya aku kemudian mengambilkan 3 buah buku meski hanya dua yang dimintanya. Aku membawakan bang Hen Kitab Tauhid, Kitab Riyadush Sholihin dan juga Sirah Nabawiyah yang menurutku bang Hen akan suka membacanya. Bingung bagaimana harus membawa barang-barang tersebut aku mengambil tas ransel deuters kosong yang tergantung di samping lemari dan memasukkan semuanya kedalamnya. Setelah selesai aku keluar dengan menyandang tas ransel tadi . Aku ke dapur mencari mama ingin berpamitan, kemudian mama membawakanku beberapa kantung plastik bersih untuk nantinya diisikan pakaian kotor bang Hen dan untuk sampah-sampah selama disana. Mama juga membawakan lauk untukku dan beberapa teman bang Hen yang membantu menjaga disaat malam. Singkat cerita kami sampai kekota dan langsung menuju kerumah sakit. Dirumah sakit papa tidak bisa menemaniku keatas karena sudah telat katanya ada janji, aku berpamitan dan salim ke papa. Papa memberiku uang empat ratus ribu rupiah, “Untuk jajan” katanya , sebenarnya aku malu sih menerima uang papa karena kan seharusnya aku sudah bekerja sekarang dan gak minta uang ke papa lagi. Tapi apalah daya aku kan belum bekerja. Aku langsung keatas menuju ruang bang hen, saat itu masih pagi sekitar jam sembilan, pas disana bang Hendri terlihat sendirian, lalu kutanya ; “Mana yang lain bang” “Yang lain? Yang lain siapa? Emang kamu kenal?” jawabnya “Hehe iya sok kenal aku sih, maksudnya teman abang mana?” “Keluar, cari sarapan” “Ooh” Lalu bang hen terlihat sibuk dengan hpnya sementara aku berberes mengeluarkan buku-buku yang ada di dalam tas kemudian membereskan meja, kulihat beberapa baju kotor sudah terpisah didalam kantong plastik yang bersih. Aku mengambil kantung plastik dari tas, kemudian membereskan meja dan memasukkan sampah kedalamanya. Kubuang sampah-sampah itu kedalam tong sampah yang berada diluar ruangan yang selalu dibersihkan oleh pertugas rumah sakit setiap satu jam sekali. Kususun beberapa makanan yang dibawakan mama untuk bang Hen ke meja disebelah kasurnya, lalu setelah selesai aku duduk di kursi yang disiapkan pihak rumah sakit untuk menjenguk pasien, melongok wajahku kearah jendela sambil memegang hp. Dari jendela aku melirik kearah mushola yang berada di dekat taman yang memiliki tempat-tempat duduk dibawah pohon rindang. Banyak hal yang kulihat disana, ada orang yang sedang sholat dhuha, ada beberapa bapak-bapak yang selonjoran sambil tiduran dibawah pondok-pondok yang memang disediakan oleh pihak rumah sakit lalu ada juga seorang wanita dengan pakaian lengkap dan syar’i nya plus cadar sedang bolak balik di taman. Mataku tertuju kepada wanita tersebut, dengan sabarnya suaminya membantunya saat berjalan mondar-mandir, rupanya ibu itu sedang kontraksi dan akan segera melahirkan. Mereka terlihat begitu romantis, sang suami tak henti-hentinya memegangi tangan sang istri sembari memberikan semangat kepadanya dengan mengelus-elud bagian pinggang istrinya. Istrinya masih bisa tersenyum tertawa sembari memukul-mukul dan sedikit mencubit pinggang suaminya saat sedang merasakan kontraksi. “Oh masih bisa ketawa berarti masih kontraksi tahap awal” gumamku, penasaran lalu aku turun kebawah ; “Bang, isyah kebawah dulu ya” kataku “Kemana?” “Kemasjid” Lalu aku turun membawa hpku, sengaja duduk dipondok yang dekat dengan ibu yang sedang kontraksi tersebut untuk melihat mereka lebih dekat. Saat tiba dibawah ibu itu dalam posisi membungkuk dengan kedua lengan bertumpu di lantai pondok rumah sakit; “Hasbunallah wanikmal wakil , nikmal maula wanikman nasir” kata suaminya Lalu diikuti oleh ibu itu “Lahaula wala quwwata ila billah” kata suaminya lagi Lalu diikuti juga oleh ibu itu “Semangat ummi sayang, nanti kalo adek udah lahir abi beliin sate padang” kata suaminya Istrinya tertawa sambil menahan sakitnya kontraksi dengan terus memegang tangan suaminya. Aku senang sekali melihat mereka, benar-benar keluarga yang bahagia. Bahkan saat aku masih magang dirumah sakit maupun ditempat praktek bidan mandiri dahulu, tak pernah aku mendapatkan pasien seperti mereka. Malahan ada yang ketika istrinya melahirkan suaminya pergi entah kemana. Dan yang paling luar biasa itu meski dalam keadaan menahan sakit dan pastinya sangat kepanasan, sang istri tetap tidak mau menanggalkan cadarnya. Tak lama kemudian salah seorang perawat menemui ibu tersebut dan suaminya, mungkin mau melakukan pemeriksaan sudah bukaan ke berapa. Aku melihat mereka sampai hilang dari pandangan mata ku saat mereka belok masuk menuju ruangan pemeriksaan. Tak lama hp ku bergetar ada pesan wa yang masuk, aku membuka dan membacanya ; “Udah, ibunya udah pergi. Ayo naik gak baik anak gadis sendirian di tempat asing” isi pesan dari bang Hen Lalu aku menengadahkan leher keatas ternyata bang hen melihat kegiatanku dari tadi “Padahal kan dia lagi sakit” gumamku. Aku naik kembali keruangan bang Hen, tak kujumpai juga satupun teman bang Hen di ruangan itu. Kutanyalah dia “Bang, dari tadi sendirian? Temennya mana? Belum selesai makan juga?” “Enggak, udang abang suruh pulang. Nanti kesini lagi ba’da zhuhur aja. Lagian ada kamu disini ngapain mereka disini. Haram, kalian bukan mahrom. Wajah cantik kamu gak boleh banyak laki-laki yang liat” jawabnya “Hah?” kataku dalam hati “Sampe segitunya?” seketika aku sedikit menganga mendengar jawaban bang Hen. “Ah, abang lebay!” Jawabku remeh Lalu bang hen meng click kan jari tengah dan jempolnya memanggilku yang sedang melamun merenungi kata-kata bang Hendri barusan “Hey, kok ngelamun?” lalu ia bertanya “Syah gimana taklim kemaren?” “Enak bang, damai sekali. Suara azannya juga bagus, tak pernah isyah dengar azan sebagus itu sebelumnya?” “Tak pernah dengar apa jarang nyimak pas orang adzan?” dengan nada ngeledek “Hehe” tawaku singkat Lalu bang Hen memintaku mengambil buku sirah nabawiyah untuk kemudian dipegangnya, “Syah abang ada tantangan buat kamu, kalau kamu bisa khatamkan buku ini selama paling lama satu bulan, abang akan kasih hadiah buat kamu” “Serius bang?” “Tapi jangan Cuma dibaca terus ilang, kamu harus bener-bener baca ini dari awal sampai akhir terus memahaminya juga” “Iyaa, gampang ini bang” kataku. Lalu aku mulai membaca buku yang diberi bang Hen tadi, 10 menit, 15 menit sampai 30 menit saja mataku sudah lelah dan mulai bosan membacanya. Dan benar saja jangankan memahaminya, membaca saja pikiranku terbang entah kemana. Mikirin sss lah inilah itulah. Lalu buku kututup dan kutaruh kembali. “Kenapa? Bosan?” pertanyaan mendadak “Hehe, iya bang” “Katanya mau dapet hadiah” Aku senyum lebar sambil kemudian mengambil hp ku “Syah mau tau rahasia gak?” sambungnya “Apa?” “Lepas dulu hpnya” Lalu aku meletakkan hp ku diatas meja kemudian bang Hen mulai bercerita “Kalau kamu mau fokus membaca buku dengan hati kamu juga ikut didalamnya, maka kamu harus bersihkan badan kamu dulu, ambil wudhu dan kemudian baru baca Basmillah, Inshaa Allah apa yang kamu baca akan mudah kamu pahami” “Oh gitu ya bang” “Jadi harus wudhu dulu” “Bagusnya sih begitu” Aku kemudian membuka kaus kakiku, menyingsingkan training dan gamisku mengambil wudhu di dalam toilet kemudian kembali kekursiku, mengambil buku Sirah Nabawiyah tadi dan membaca Bismillah dengan suara yang bisa didengar oleh bang Hen sembari berdoa dalam hati “ Ya Allah mudahkanlah hamba dalam memahami apa yang akan hamba baca sekarang”. Lalu aku mulai buku itu mulai dari halaman pertama, awalnya aku agak sedikit bingung karena yang dijelaskan adalah latar belakang bangsa arab sebelum kelahiran Rasulullah Salallahu alaihi wasallam juga menjelaskan tentang macam-macam suku disana tapi meski tidak terlalu paham karena perbedaan adat Arab dan Indonesia aku terus melanjutkan membaca buku tersbut, tanpa sadar sudah hampir 50 halaman yang aku baca. Bacaanku terhenti mendengar bang hen memanggil “Syah, udah mau azan. Pulanglah kerumah tante” “Terus, yang jaga abang disini siapa?” sautku “Ah udah besar juga gak perlu dijagain” “Serius? Ntar kalo suster ada mau perlu apa-apa gimana? Apa bisa urus sendiri?” tanyaku “Gampang, nanti temen-temen abang kesini ba’da zhuhur” “Oh ya udah” Aku menyiapkan barang-barang ku, membawa tasku yang berisi baju-baju juga buku yang tadi aku baca. Aku berpamitan kemudian pergi keluar dari rumah sakit untuk naik angkot menuju rumah tante. Perjalanan dari rumah sakit menuju rumah tante kira-kira hanya 15 menit saja, di perjalanan aku mengirim pesan wa ke tante, memberitahukan bahwa aku sudah berada diperjalanan menuju rumahnya untuk menginap malam ini. Sampai dirumah tante aku disambut hangat, cium pipi kanan-kiri lalu disuguhkan makan siang, selepas makan aku langsung menuju kamar tamu tempat biasa aku tidur jika menginap disana. Kemudian aku ke kamar mandi tamu, membersihkan diri berganti pakaian rumah lalu melaksanakan sholat zhuhur. Selepas sholat aku berbaring dikasur melanjutkan bacaanku yang tadi terhenti sampai memasuki waktu azan ‘ashar. Ketika adzan selesai dikumandangkan aku langsung sholat karena wudhuku yang tadi belum batal. Selesai sholat aku turun ke bawah mencari tante, ternyata dia sedang berada di sofa depan tv memegang-megang perutnya dan terlihat kesakitan, lalu aku lihat mendekat, kupegang tangan tante yang sudah dingin, keringat bercucuran serta denyut jantung yang sudah melambat dan nafas yang berat, keadaan ini gawat sekali pikirku. Aku teriak memanggil mbak Sri pembantu tante, memintanya menjaga tante lalu aku berlari kedapur mengambil segelas air untuk tante, kemudian berlari lagi kekamarku untuk mengambil hp ku menelpon om Ivan. Aku memintanya pulang segera karena keadaan tante yang sudah semakin gawat. Aku menyemangati tante, memintanya untuk bertahan. Tak lama kemudian sekitar 10 menit saja om segera datang dan menjemput kami semua dengan masih menggunakan pakaian dinasnya. Kami bertiga segera menuju rumah sakit yang sama tempat dimana bang Hendri dirawat, sebelum pergi om berpesan kepada mbak Sri untuk menjaga anak-anaknya yang sekitar 1 jam lagi akan pulang dari sekolah mengaji. Tak lama kami tiba dirumah sakit, tante segera masuk ruang IGD, setelah diperiksa ternyata ketuban tante sudah pecah dan segera dimasukan keruang bersalin. Tante keguguran dan bayinya tidak bisa diselamatkan. Prosesnya cukup panjang sekitar 2 jam diruangan operasi, kondisi tante kritis dan tidak sadarkan diri karena darah yang sudah terlalu banyak keluar. Setelah siuman tante tampak kebingungan, “Ini kenapa?” dengan suara yang sangat lemah tante berbicara dan bertanya. Kemudian dijelaskanlah oleh sang suami karena aku bingung harus menjelaskan mulai dari mana. “Mi, sayang. Umi keguguran. Anak kita sudah meninggal. Umi yang tabah ya” Mendapati kenyataan tersebut tante menangis pilu, terlihat raut sedih menyayat dari wajahnya. Betapa tidak ia kehilangan bayi perempuannya yang sudah lama ia nanti-nanti. Tetapi meski begitu ia tetap tenang dan terlihat secara perlahan dapat menerima takdir Allah yang satu ini. “Umi, abi pulang dulu ya, mau mengkafani, menyolati dan mengkafani anak kita” “Umi ikut” jawab tante dengan suara terbata “Umi kan baru saja operasi, harus bed rest dulu. Biar abi yang selsaikan ya” “Syah, om titip tantemu ya” aku mengangguk. Om kemudian pulang kembali kerumahnya, membawa mayat bayinya yang digendong oleh seorang perawat rumah sakit. Aku merawat dan menjaga tante, setelah tante tertidur aku meninggalkannya dan pergi keruangan bang Hendri sebentar menceritakan semua yang terjadi. Aku kembali secepat mungkin, takutnya tante terbangun dan bingung mendapati aku yang tak ada disbelahnya. Sekitar jam 10 malam om kembali kerumah sakit. Ia mengantarku pulang kerumahnya dan memintaku untuk membantunya mempersiapkan perlengkapan tiga orang sepupuku sekolah besok pagi juga mengantar mereka kesekolah, karena ia sudah mengambil cuti dan harus full dirumah sakit merawat tante. Karena keadaan yang tak terduga ini aku diharuskan menjadi baby sitter bagi anak-anak tante, menjaga dan merawat mereka sampai ibunya keluar dari rumah sakit. Aku juga mendapat kabar bahwa Nina lulus PTT Bidan di desa kami. Betapa gembiranya hatiku mendengar kabar bahagia yang Nina sampaikan melalui telepon itu. masih jam Sembilan pagi, dan aku hanya termenung didalam rumah sambil bermain hp. Asyik bermain aku menemukan sebuah online shop bagus yang menjual banyak pakaian syar’i seperti yang dipakai para ummahat dan akhwat saat taklim kemarin. Gelap mata, aku langsung memesan 6 baju lengkap dengan cadar bandananya, lumayan menguras isi tabunganku. Setelah tiga hari keadaan tante sudah membaik dan sudah diperbolehkan pulang. Kabar tambahan hari ini bang Hendri juga diperbolehkan pulang. *** Aku dan bang Hen pulang ke desa dengan dijemput mama dan papa. Keseharianku menjadi seperti biasa kembali, membantu papa di toko, belajar agama melalui buku-buku yang kupinjam dari bang Hendri, juga bertanya langsung kepada bang Hen perihal suatu istilah baru yang belum aku pahami misalnya kata-kata ‘syubhat’ itu apa terus apa contohnya. Kami juga sudah mulai aktif taklim mingguan seperti dulu lagi. Celana-celana jeansku sudah diasingkan dari lemari, kaos-kaos juga digunakan hanya untuk pakaian dalam. Dilemari hanya bersisa gamis, training, kaos kaki dan kelengkapan pakaian syar’I saja. Seluruh foto di social media juga sudah disapu bersih, hanya tinggal beberapa foto saja. Itupun foto bersama keluarga. Daftar teman di f*******: juga sudah dipilah-pilah, menyisahkan hanya sedikit saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD