Pasar Kamis

2671 Words
Hari ini hari Kamis, hari yang ditunggu kebanyakan ibu-ibu desa karena hari ini hari pasar. Pasar di desa tidak seperti di kota yang buka dan ramai setiap harinya, di desaku pasar hanya ada dua kali seminggu yaitu hari Senin dan Kamis. Udara pagi ini hangat sekali, membangkitkan semangat baru untuk kebanyakan penjual yang datang berduyun-duyun entah dari mana membawa barang dagangannya. Sayur-sayuran hijau, buah, daging, ayam dan ikan segar, cabai, bawang bahkan pakaian dan ikat rambut pun tumpah ruah disana. Pagi ini, mama mengajakku untuk ikut dengannya berbelanja di pasar. Rumahku dan pasar jaraknya dekat sekali, hanya sekitar 50 meter saja melewati areal pertokoan. Banyak muda-mudi sepertiku yang pergi kepasar kalau sedang hari pasar, entah hanya untuk menemani orang tuanya berbelanja sayuran ataupun untuk berbelanja kebutuhan pribadi. Sampai di pasar motor yang kukendarai aku parkirkan, kami turun dari motor mulai masuk berkeliling kesana kemari. Sesekali aku lihat ada ibu-ibu 2 sampai 3 orang berbicara membuat pola lingkaran yang disela-sela pembicaraanya mereka menunjuk-nunjuk ke arahku. Aku tidak mengerti apa maksud mereka, kemudian aku terus saja mengekor mama berkeliling pasar. Saat berbelanja bawang mama bertemu dengan bu RT, bu Nur namanya. Nama panjangnya sih aku tidak tau. Ia menegurku ; “Aisyah, gimana kabarnya? Yang kecelakaan kemaren sudah sehat?” “Alhamdulillah bu sudah” “Wah, Alhamdulillah kalo begitu. Hati-hati ya lain kali kalo jalan-jalan, jangan sendirian. Bahaya! Bisa-bisa kejdian kemaren terulang. Naudzubillah” “Naudzubillah bu, semoga tidak akan terjadi lagi. Iya terimakasih” jawabku Kemudian ia berbincang dengan mama, membicarakan masalah daging yang sedang naik, bawang merah yang harganya sudah turun 5 ribu dari minggu kemaren dan bicara seputar sayur-mayur lainnya. Setelah selesai mereka berpisah, ia mengisyaratrkan anggukan kepala kepadaku tanda pamit, akupun membalas dengan hal yang sama. Kaki mama berhenti di depan penjual ayam, mama membeli 2kg ayam. Saat itu fokusku tertuju kepada penjual buku yang berada tak jauh dari situ. Dengan membawa belanjaan mama aku melihat-lihat buku yang dijualnya. Membaca buku kisah para Nabi yang bergambar ceria dan penuh warna. Tampak sekali buku itu ditujukan untuk anak-anak belajar dan memahami sejarah Islam. Lalu aku mengambil sebuah buku bersampul pink berjudul Khadijah, tapi sayang bukunya bersegel dan tidak boleh dibuka kecuali setelah dibeli. Berniat membeli aku kemudian mencari mama kembali ke depan penjual ayam, tetapi mama tidak ada malah kerumunan orang yang kulihat berada tak jauh dari sana. Aku mengikuti orang-orang tersebut berkerumun, tak kusangka ternyata yang ribut disana adalah mama dan seorang ibu yang dikenal sebagai ‘radio’ di desa kami. Aku tak tau nama asli ibu itu tetapi orang-orang biasa memanggilnya Upik. Saat aku datang mama berteriak ; “Urus saja keluargamu sendiri, jangan urus masalah orang lain” “Eh, liat tuh anak kamu bakalan jadi perawan tua, tak akan ada yang mau sama dia. Lihat saja dandanannya sudah seperti nenek-nenek. Eh, Aisyah (Sambil menunjuk hidungku) kamu itu mau kepasar apa kemasjid? Mau kepasar aja pake telekung. Mana muka tutup masker. Pakaianmu ini persis teroris tau kamu?” Mama meradang “Kurang ajar, daripada kamu mengurus anakku. Lebih baik kamu urus dirimu sendiri dan anak gadismu. Lihatlah pakaianmu? Sudah tua bukannya taubat berhijab malah masih PD pake jeans pendek? Rambut set merah! Apa gak malu? Lalu anakmu? Perbaiki dulu pakaian anakmu baru urus anak orang lain!” “Pegang kata-kataku ya buk Rahman, anakmu itu tak akan dapat jodoh. Tak akan ada orang yang mau sama anak kurang pergaulan kayak anakmu itu. Sukurin kamu” “Jodoh itu urusan Allah bukan urusan manusia! Dasar wanita kurang ajar, tak sopan.” Mama menarik plastik yang ada di tanganku ingin melemparkannya kearah ibu tersebut. Aku menahan mama kemudian menarik mama keluar dari kerumunan pasar menuju parkiran motor kami. Semua orang melihat ke arahku. Aku merasa benar-benar malu saat itu. Dihina dan dituduh sebagai teroris didepan semua orang. Aku menghidupkan motor kami, mengarahkannya kerumah untuk bergegas pulang. Sesampai dirumah emosi belum mereda. Ia menceritakan itu kepada papa dan bang Hen juga uni Ida sambil teriak-teriak. Karyawan papa terlihat mengintip-ngintip penasaran dari pintu yang terbuka penghubung antara toko dengan rumah itu. Aku diam saja tidak berbicara, dadaku sesak sekali seperti ada makanan yang menyangkut disaluran trakheaku. Mukaku pucat pasi. Aku merasa ketakutan. Aku tak pernah sekalipun ‘berkelahi’ seperti itu ditambah lagi perkelahiannya dilakukan didepan orang banyak. Bang hen melirik ke arahku, akupun melihatnya dengan mata berkaca yang tumpahan air mata ku sudah berada dikelopaknya. Tapi kutahan dengan menengadah kelangit-langit rumah agar tidak jatuh ke pipi merahku. Bang hen menganggukkan kepalanya sekali ke atas mengisyaratkan aku untuk masuk kekamarku. Aku mengikuti perintahnya dan beranjak pergi meninggalkan meja makan untuk pergi ke kamar. Terasa berat sekali kaki ini melangkah keatas. Badanku lunglai tak berdaya. Perlahan tapi pasti aku masuk kekamar dan berbaring di sudut kasur. Tak terasa air mataku tumpah juga, seketika pikiranku melayang meratapi nasib sialku sebagai seorang gadis yang dulunya terkenal wangi sebagai ‘kembang desa’ berambut pirang, tetapi sekarang gagal menikah dan disumpahi oleh orang menjadi perawan tua. Aku ketakutan. Aku menangis sesenggukan. Bayangan buruk masa lalu tentang penghianatan seolah kembali menghantui diriku setelah sekian lama aku terbiasa melupakannya dengan kesibukanku berduaan dengan penciptaku. Aku merasa manusia yang paling lemah, seolah pohon ketegaran yang biasa aku peluk erat sudah tercabut dari akarnya dihatiku. Tak lama bang Hen datang menemuiku diatas membawa segelas air putih dingin kesukaanku. Memang, terasa haus sekali kerongkonganku setelah tangisku pecah tadi. Ia memanggilku “ Isyaah” katanya. Aku yang mendengar panggilannya langsung duduk sambil menyeka air mataku. Dia bertanya “Kamu pusing? Ini minum dulu” Aku mengangguk sambil menghabiskan setengah gelas air yang dibawanya. Lalu bang Hen melanjutkan pembicaraanya “Tak usah bersedih syah, sungguh sumpah seperti itu tidak ada artinya dihadapan Allah, kata-kata yang ia keluarkan akan naik kelangit, jika itu ucapan (doa) yang baik maka pintu langit akan terbuka dan Allah akan mengabulkannya, jika itu adalah ucapan yang buruk maka ia akan berputar-putar dipintu langit menunggu pintu dibuka, jika tak kunjung dibuka kemungkinan kalimat tersebut akan berbalik ke orang yang bersangkutan dan ucapannya tadi akan menimpa dirinya sendiri. Wallahu ta’ala a’lam” Aku mengangguk tanda mengerti. “La tahzan innallaha ma’ana” “Artinya?” kataku “Jangan bersedih, Allah bersama kita. Man shobaro zhafiro” “Artinya?” “Siapa yang bersabar akan beruntung. Ya sudah kamu istirahat ya. Kemudian aku teringat sesuatu yang sangat besar dan mendesak. Aku berkata agak memekik “Astagfirullah. Aku kan puasa hari ini! Bang bagaimana? Aku sudah niat puasa hari ini, tapi aku tadi minum” “Alhamdulillah, berarti setengah gelas air minum tadi adalah rezeki yang Allah kasih untuk kamu. Coba lihat betapa Allah sayang padamu kan? Saat kamu sedang bersedih dalam keadaan berpuasa Allah langsung memberikanmu setengah segelas air yang tidak membatalkan puasamu. Kamu masih kuat puasanya?” “Insyaa Allah masih” “Ya sudah kamu lanjutkan saja” “Tapi kan tadi sudah nangis?” “Menangis itu tidak membatalkan puasa” “Iya” kataku Aku teringat masa lalu, ketika masih kecil aku sering dinasehati oleh mama untuk tidak menangis saat sedang puasa ramadhan karena hal itu bisa membatalkan puasa, entah apa maksud yang mama katakana saat itu mungkin untuk membutku tidak cengeng saja. Aku menghela nafas panjang. Berusaha kuat dan tegar. Semangat mengejar ilmu agamaku semakin bertambah lagi dengan adanya kejadian ini. *** Beberapa hari berlalu tak terasa ini sudah malam ahad atau malam minggu. Malam yang bagi sebagian pemuda pemudi adalah malam yang penting untuk hanya sekedar bersantai dirumah sambil bermain game favorit, mengobrol dan berkumpul bersama geng terbaik atau bertemu seorang pujaan hati. Malam yang dahulu sempat aku dan Nina tunggu saat masih kuliah di kebidanan. Tetapi malam minggu bagiku sekarang sama, tak ada yang spesial bahkan aku tak pernah mau lagi menjadikan malam mingguku spesial seperti dulu, sebab aku tak tau apakah aku akan kuat menanggung dosa karena malam itu. Malam minggu ini agak lain, aku kedatangan tamu seorang anak kepala desa yang baru saja diwisuda S2 dari universitas terkenal di Jogjakarta UGM dan seorang sepupunya. Namanya Billy. Bisa dibilang siapa yang tak kenal Billy di desa kami, pemuda tampan dan berasal dari keluarga kaya dengan ayahnya seorang kepala desa dan kerabatnya yang kebanyakan pejabat daerah. Langkah cepat mama ingin menemuiku dikamar untuk memberitahukan kepadaku bahwa Billy mencariku “Isyah, ada Billy dibawah” “Billy siapa ma?” “Billy anak Kepala Desa, yuk turun yuk” bujuk mama “Suruh pulang aja mah, isyah masih sakit” alasanku “Kamu ini bagaimana? Mau kamu jadi perawan tua? Mau kamu gak laku-laku? Mau kamu dibilang anak kurang pergaulan? Turun sekarang mama bilang” sedikit bentak mama kepadaku. Mungkin mama masih kefikiran perkataan nyonya ‘radio’ itu kepadanya tentang diriku. “Iya ma” dengan berat hati aku mengatakan hal ini kepada mama Kemudian mama keluar dari kamarku menuju kebawah, adik ku melongokkan kepalanya keluar kamarnya untuk melihat apa yang terjadi kemudian ia kembali lagi kekamarnya sibuk dengan gadget. Aku menutup pintu kamarku, mengambil dan memilih baju, menimbang-nimbang baju warna apa yang aku akan pakai, jika aku memakai warna gelap mama pasti marah fikirku. Lalu kuambilah gamis berwarna dusty pink dengan masker pink juga kaos kaki dan kaos tangan berwarna senada. Aku turun tangga mencari bang Hendri, karena Cuma abang yang paham dengan kondisiku saat ini. Untuk mengajak mama dan papa duduk bersama aku rasanya tidak mungkin sebab mereka tidak mengerti bahwa seorang wanita tidak boleh dibiarkan bersama laki-laki yang bukan mahromnya melainkan harus didampingi mahromnya. Yang mereka tau hanyalah jika anak gadis mereke ‘diapel’ artinya anak gadisnya masih laku dan mereka membiarkan anak gadisnya mengobrol dengan laki-laki tersebut. Aku langsung menuju kamar bang Hen, memintanya ikut denganku mengobrol dengan Billy dan Tio. Kujelaskan bahwa digarasi sekarang sudah ada billy anak pak kades dan sepupunya sedang menungguku untuk bisa mengobrol denganku. Ia beranjak dari peraduannya meninggalkan buku bacaannya untuk menemaniku mengobrol dengan mereka. Billy juga merupakan teman sepermainan bang Hen dulunya sebelum ia bersekolah ke jawa menamatkan sarjana dan pasca sarjananya. Bang Hen mendahuluiku menemui Billy. Malas sekali rasanya aku keluar karena sudah dapat kubayangkan akan seperti apa orangnya. Menuju meja makan aku mengambil setoples nastar, dan keranjang kecil berisi gelas aqua untuk menjamu mereka.saat mendekati mereka terdengar mereka tertawa. Lalu aku duduk disebelah bang Hen. Billy menyodorkan tangannya ingin bersalaman seraya berkata “Hai Syah, kamu apa kabar?” Aku melirik ke bang Hen sejurus kemudian kujawab “ Alhamdulillah baik” dengan mengisyaratkan menyatukan kedua telapak tangan. Billy tampak mengerti kemudian ia duduk kembali ke kursinya. “Kamu kenapa pake masker? Sakit ya?” tanya billy “Ummh iya” “Iya, syah bagus itu. Kalo flu memang harus tutup muka. Kan gak lucu kalo sepulang dari sini aku juga sakit tertular virusmu? Hahaha” ia tertawa “Lagian masalah kemaren gak usah kamu fikirin syah, dia kan memang dari dulu radio nya desa, jangan takut ada aku bela kamu Syah” “Loh dari mana dia tau?” fikirku. Tetapi hal itu bukan suatu hal yang aneh lagi didesa kami Yah. Berita menyebar seperti menyebar benih 1000 ikan ke kolam seluas 1x1 m persegi. Begitu cepat sampai-sampai sang nelayang tak melihat pergerakan ikannya sendiri. Desa tempat dimana ada seorang anak gadis yang telat menikah tetangga yang repot, tempat dimana ada anak gadis gagal menikah tetangga yang sibuk. “Selamat ya Syah untuk kelulusan summa c*m laudenya di jurusan Bidan” “Iya, terimakasih” “Setelah ini ada rencana ambil D4 syah? Atau mau langsung kerja?” “Belum tau bang, jawabku” “Atau kamu mau ikut aku ke Jogja?” “Ngapain?” “Ya, main-main aja. Dolanan. Kita jalan-jalan ke Malioboro, tempat syuting film AADC 2, kalau perlu sekalian ke Bali atau kalau kamu mau kita bisa ke Bandung dan Jakarta sekalian. Gimana?” “Enggak bang, makasih” “Loh, kenapa? Kamu takut? Takut apa? Di kota besar banyak kok pasangan yang pergi jalan-jalan meski belum menikah. Kita gak ngapa-ngapain Syah disana. kita menginap dengan kamar hotel yang terpisah. Kita travelling ke spot-spot foto yang lagi kekinian. Kita juga bisa jalan-jalan Kota batu, ke Monas, TMII, ke Kota Tua terakhir kita bisa ke DWP. Gimana mau?” Bang hen menyela “Kalau begitu ajak aku aja Bil, aku mau daripada ajak Aisyah. Kan enak lelaki sama lelaki pergi jadi obrolannya bisa nyambung” Muka Billy anak Kepala Desa langsung berubah masam mendengar celaan jawaban dari bang Hendri, mungkin dia berharap aku bisa terbujuk oleh rayuannya yang entah sudah berapa banyak wanita yang ia ajak seperti itu “Alah, kamu lain kali saja Hen, sekarang aku ajak Aisyah dulu. Gimana? Mau Syah? Nanti kita ke kota langsung naik pesawat ke Jogjakarta. Sampe disana kita nginap dulu semalem di rumahku. Kita jalan-jalan pake mobilku. Sayang, mobilku nganggur disana gak ada yang ngendarain. Cuma ada pembantu yang merawat sekaligus menjaga rumah disana. nanti kita traveling pake mobil aku dari Jogja sampai ke Jakarta bila perlu ke Bali sekalian.. Kita jalan-jalan, makan-makan, belanja-belanja. Semua aku yang tanggung, gimana?” “Maaf bang, Aisyah masih kurang enak badan. Masih belum bisa pergi jauh-jauh” elakku sopan “Bukan sekarang, ya sekitar satu atau dua minggu lagi aja. Gimana?” “Makasih bang, Aisyah enggak bisa” “Yah, sayang kamu gak mau. Padahal teman-teman wanitaku di jawa sudah banyak loh yang aku ajak jalan-jalan. Dan mereka mau-mau aja tuh enggak ada masalah. Lagian kalau kamu ikut kamu bisa aku kenalin ke mereka, bisa-bisa pulang dari Jogja penampilan kamu udah kayak anak Kota Syah, enggak kayak gini lagi” “Maksudnya?” “Ya, maksudnya biar kamu lebih gaul gitu” Aku diam tak menjawab “Hen, kamu kerja apa sekarang?” perhatian Billy teralih ke bang Hen “Ah, biasa nganggur” jawab bang hen merendah “Wah sayang, gimana kalau kamu ikut aku ke Jogja? Kamu pendidikan terakhirnya apa?” “Alhamdulillah Allah beri rezeki sampai S1 Bill.” “S1 mah dikota besar paling cuma bisa jadi pegawai Indomaret, tapi tak apa nanti kucoba rekomendasikan ke temanku untuk memasukan kamu kerja disana dikantor mereka, gimana? Tertarik?” “Makasih nih sebelumnya tak usah repot-repot. Udah nyaman jadi orang kampung” “Jadi orang itu jangan seperti katak dalam tempurung, keluar dong. Lihat, aku sebentar lagi diterima diperusahaan asing di Jogja. Dalam 3 bulan saja aku sudah bisa beli mobil sport. Mobil seperti ini yah sudah kampungan disana” sambil menunjuk ke arah mobil Pajero Sport milik ayahnya “Pongah sekali ini orang” dalam hatiku “Kalo disini orang punya mobil kecil-kecil itu saja sudah bangga. Makanya tidak maju-maju. Kalo dikota besar mobil sekelas Alphard, Lamborgini, dan BMW sudah sileweran bebas dikota” Melihat ia mengucapkan nama-nama mobil-nobil itu saja lidahku terasa keseleo. Nama-nama yang hanya aku dengar melalui saluran televisi yang digunakan oleh artis sekelas syahrini atau Raffi Ahmad. Sudah tak nyaman aku melirik-lirik kearah jam tangan di tangan kiriku berulang-ulang. Gaya bahasa tubuhku pun terbaca sekali untuk segera menyuruh tamu tak diundang itu pulang. Melihat itu Billy mungkin tersindir sambil bertanya, “Kamu sudah ngantuk Syah? Baru juga jam 10, kalo di Jogja ya jam segini anak muda baru bangun tidur siap-siap buat keluar. Nah kamu? Malah mengantuk? Oh iya gimana tawaranku tadi jadi ikut kan? Kapan lagi Syah kamu main-main dan merasakan suasana Jogja saat malam hari, kalau perlu kita begadang sampai pagi. Nanti kuundang semua teman-temanku untuk datang. Daripada seperti ini? Kamu terkungkung di desa menjadi seorang wanita priomitif yang kampungan” “Aku lebih suka menjadi Aisyah yang seperti ini, wanita rumahan yang terjaga dari jamahan banyak pria. Aku bukan orang yang mau diajak melakukan dosa gratis yang bebannya akan aku tanggung sampai di hari perhitungan nanti. Silahkan saja pergi dan cari wanita lain yang gaul dan bisa diajak bersenang-senang dengan gaya hidup yang biasa abang lakukan. Aku permisi, masih banyak hal lebih penting yang harus aku urus. Assalamualaikum.” Aku benar-benar mengusirnya dengan berjalan duluan meninggalkan dia yang masih ingin mengobrol di teras. Dari tangga terdengar pintu mobil yang dibanting cukup keras. Ia menghidupkan mesin mobilnya lalu menjalankan mobilnya dengan ngebut sekali kearah kota.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD