“Oh jadi sekarang perhatianmu lebih menonjol pada Nilam?” tanya Eren pada suaminya yang saat ini berdiri dibelakangnya. Mereka berdua berasa di kamar.
“Maksud kamu apa? Apa yang saya tonjolkan?”
“Apa karena Nilam hamil?”
“Salah paham, ‘kan?”
“King, apa denganku saja tidak cukup?” tanya Eren. “Nenek kan yang memaksamu menikahi Nilam?”
“Eren, bagaimanapun juga saya harus bertanggung jawab pada Nilam. Saya yang menghamilinya. Saya sudah merusak masa depannya. Dan, dia telah menolong saya.”
“Kalau memang dia sudah menolong kamu, kan kamu tinggal berikan dia uang. Tidak perlu sampai menidurinya dan membuat dia hamil.”
“Jadi semua ini salah saya?”
“Lalu salah siapa? Salahku?”
“Sudahlah. Saya tidak ingin bertengkar.”
“Ceraikan dia setelah dia melahirkan.”
“Usia kandungannya saja baru 4 minggu, bagaimana menceraikannya.”
“Jika dia sudah melahirkan.”
Tiba-tiba saja King tidak bisa menjawab pertanyaan Eren, seolah dia tidak setuju jika harus bercerai dari Nilam.
“Ya nanti kita pikirkan itu. Istirahat lah, kamu pasti lelah, ‘kan?”
“Kamu tidur di sini kan?”
“Iya.”
Nilam terus melihat ke arah pintu, apa yang sebenarnya ia harapkan, mengapa ia berharap King datang? Sementara, King kedatangan istri pertama, yang artinya ia tidak sebanding dengan Eren.
Nilam membaringkan kepalanya diatas bantal dengan kesepian, ia mengelus perutnya. Entah bagaimana nasibnya nanti.
***
Pagi menunjukkan pukul 7, King sudah bersiap ke kantor, ia sudah mengenakan setelan kemeja dan celana yang senada dengan jasnya. Namun jasnya ia simpan di atas sofa.
King melihat Nilam tengah sibuk menata sarapan di atas meja, King memandangnya dari jauh. Sepagi ini, Nilam sudah bangun dan membantu Bibi di rumah, sementara Eren tidak pernah melakukan itu.
Nilam sudah beberapa hari ini tinggal di rumah Sanjaya, ia tahu apa yang paling suaminya butuhkan pagi hari. Ia harus menyiapkan kopi dan sepiring cemilan.
Nilam yang menyiapkannya.
Setelah selesai, Nilam menghampiri King yang kini tengah membaca koran pagi.
“Kopi, Mas,” kata Nilam.
“Taruh saja.”
Nilam mengangguk, ia sudah terbiasa menghadapi sikap King yang dingin kepadanya.
“Tuan, saya mau—”
“Apa? Uang? Mau uang, kan?” sergah King mendongak menatap Nilam yang masih berdiri di hadapannya.
“Saya tidak membutuhkan uang, Mas. Saya hanya mau izin menjenguk Ibu di rumah sakit,” kata Nilam.
“Oh. Ya pergi saja, kenapa izin ke saya?”
“Ya kan Tuan suami saya.”
King menautkan alis karena sikap Nilam saat ini sangat berbeda dengan sikap Eren. Eren mau kemana pun tidak pernah izin kepadanya. Sementara Nilam melakukan itu.
“Iya. Biar saya antar sekalian kalau mau ke kantor.”
Nilam mengangguk.
Keluarga Sanjaya duduk di kursi kebesaran mereka masing-masing, tapi tetap sang empunya rumah adalah Rudi.
“Nilam, bagaimana mualmu? Sudah berkurang?” tanya Nenek Lena.
“Alhamdulillah, Nek. Sudah mulai berkurang.”
“Ini, Tuan.” Nilam memuat nasi goreng di atas piring suaminya dan mengambil beberapa lauk sebagai pendamping.
“Nilam, kenapa memanggil suamimu dengan sebutan ‘Tuan’? Panggil dengan sebutan ‘Mas itu lebih baik. Atau, bisa panggil dengan sebutan ‘Kakak’.
Sementara itu, Eren tidak peduli, ia lebih sibuk dengan makanan didepannya. Eren memang tidak terbiasa melayani King.
“Dasar dari sononya memang pembantu!” gumam Eren.
“Wanda, kamu mulai aktif bekerja di Jakarta hari ini?” tanya Wanda—sang Ibu mertua.
“Iya, Mi, rencananya hari ini aku akan ke kantor.”
“Mami baru mau ajak kamu shopping.”
“Setelah dari kantor ya, Mi. Mungkin sore.”
“Kalau kalian ke mall, sekalian ajak Nilam.” Nenek Lena menyergah.
“Nilam lagi, Nilam lagi,” gumam Wanda.
***
King duduk bersebelahan dengan Eren, sementara Nilam duduk paling belakang. King berbalik sesaat melihat Nilam yang duduk sendirian.
Eren menggenggam jari jemari King membuat Nilam melihatnya.
“Sayang, Mama sama Papa mengundang kita makan siang di resto dekat kantormu.”
“Baik.”
“Aku akan membeli sesuatu untuk Mama dan Papa, jadi nanti aku bilang ke mereka kalau kamu yang sudah menyiapkannya.”
King mengangguk.
“Turunkan saya di sini,” kata Nilam meraih tasnya.
Nilam hendak turun dari mobil, Eren sigap memanjangkan kakinya agar Nilam jatuh, namun Eren tak menyangka jika Nilam jatuh ke pangkuan King.
King menyentuh pinggang Nilam dan menatap wajah gadis itu, cantik dan polos. Ya itu lah yang ada dipikiran King saat ini.
“Maaf,” ucap Nilam lalu bangkit dan berdiri, dengan sigap King melindungi kepala Nilam agar tak terbentur.
Nilam turun dari mobil, lalu tak lama kemudian mobil Alphard milik King langsung pergi meninggalkan tempat. Nilam mendesah napas halus dan mengelus dadanya. Selalu saja yang ada dipikirannya tentang pernikahan bahagia yang hanya ada dia, anak mereka dan juga King.
Nilam tak boleh egois. Ia harus selalu ingat posisinya.