“Akhirnya kamu pulang juga, Eren,” ucap Wanda—sang Ibu mertua. Seraya memeluk Eren dengan lembut.
“Aku sangat merindukan Mami.”
“Mami juga sangat merindukanmu.” Wanda meraih lengan Eren dan membantu Eren duduk. Dimana di hadapan mereka saat ini, ada Nilam.
“Maafkan aku, Mi, tapi hari ini aku hanya mampir karena masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan, jadi aku harus ke Surabaya siang ini.”
“Kamu tidak mau bertemu suamimu?”
“Aku akan menelponnya.”
“Kamu sudah mengenalnya?” tunjuk Wanda.
“Sudah. Nenek sudah menjelaskannya kepadaku.”
“Maafkan Nenekmu ya, karena memaksamu setuju.”
“Setuju dengan tidaknya sudah pasti aku tidak bisa tidak setuju dengan keputusan nenek.”
“Pengusaha sepertimu memang benar-benar luar biasa.”
“Sebenarnya aku sudah malas ke luar kota atau ke luar negeri, Mami. Tapi hanya aku yang dapat melakukan semuanya.”
“Ya sudah kerjakan pekerjaanmu dan cepat pulang.”
“Setelah dari Surabaya, aku pasti akan langsung pulang.”
“Kamu di Surabaya berapa lama?”
“Sekitar satu minggu.”
“Ya sudah kalau itu pekerjaan kamu.” Wanda mengangguk. “Kamu buatkan minum untuk Eren,” titah Wanda.
Nilam mengangguk lalu melangkah menuju dapur untuk membuatkan Eren minum, sebenarnya di rumah ini cukup banyak pelayan, namun Wanda selalu menyuruh Nilam, berbeda jika King ada.
“Jangan mengira karena aku sering keluar kota kamu akan menjadi istri satu-satunya dan merebut Posisiku sebagai nyonya King. Kamu hanya pengganti untuk sementara waktu.” Ternyata Eren menyusul Nilam ke dapur.
“Mbak gak usah khawatir, saya tidak pernah memiliki niat untuk merebut posisi Mbak Eren sebagai Nyonya King.” Nilam melanjutkan.
“Munafik! Orang sepertimu yang dari kelas bawah akan melakukan apa saja agar naik tingkat dan menikmati kekayaan. Aku peringatkan kepadamu jangan sekali-sekali berpikir untuk menguasai King, karena King hanya mencintaiku dan hanya menganggapmu rahim pinjaman.”
Nilam tak mengatakan apapun lagi, bagaimanapun juga di posisi ini, ia tetap salah, dia masuk begitu saja pada hubungan yang baik-baik saja awalnya.
“Orang luar sepertimu akan tetap menjadi orang luar dari keluarga Sanjaya.”
“Cukup, Mbak, saya tidak pernah berpikir untuk menguasai siapapun dan saya sadar diri bahwa saya adalah orang luar dari keluarga Sanjaya. Mbak tidak usah takut karena saya akan pergi jika sudah waktunya.”
“Bagus jika kamu sadar diri, lebih baik cepat sadar dibandingkan nanti aku yang menyadarkanmu dan ingat jangan pernah berharap apapun. Kamu juga harus tunggu kepulanganku.”
Nilam seperti kehilangan nafas.
“Kamu sudah kembali, Eren?” tanya Nenek Lena.
Eren lalu menghampiri nenek Lena dan memeluknya. “Nenek apa kabar?”
“Nenek baik-baik saja.”
“Maafkan aku, Nek, aku hanya mampir sebentar karena siang ini aku akan ke Surabaya.”
“Jadi kamu mau pergi lagi?”
“Iya. Ini demi pekerjaan.”
“Ya sudah. Kamu sudah mengobrol dengan Nilam?”
“Sudah, Nek.”
“Bagaimana menurut kamu?”
“Menurutku, Nilam baik.” Eren tidak memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Nilam.
“Nilam sedang hamil ahli waris keluarga Sanjaya, jadi kamu harus perlakukan dia dengan baik. Anak Nilam nantinya akan menjadi anakmu juga.”
“Iya, Nek.” Eren mengangguk. Walau tak sudi melakukannya.
“Kamu juga sudah janji pada Nenek, bukan? Kamu bisa bebas kemana saja yang kamu inginkan, tapi ikhlas kan pernikahan King dan Nilam.”
Tak ada wanita yang benar-benar akan ikhlas di duakan. Namun, Eren juga memahami bahwa ia jarang di rumah, dan King butuh seseorang yang dapat mengurusnya. Yang penting bagi Eren, King tidak memberikan cinta kepada Nilam. Karena sampai saat ini, Eren juga tak berhasil mendapatkan cinta dari King. Bisa dikatakan pernikahan mereka hambar. Hanya status yang ada.
***
Nilam tengah duduk di tepi ranjang seraya bertukar pesan dengan Popi, kehidupan yang ia jalani selama menjadi istri kedua semuanya terasa hambar satu-satunya yang baik kepadanya di rumah ini hanyalah nenek Lena, sementara itu sikap yang lain begitu dingin kepadanya.
Beberapa saat kemudian, King membuka pintu kamar, ia melihat Nilam tengah bermain ponsel. Ia tak perduli dan langsung masuk ke kamar mandi.
Sebagai istri yang baik, Nilam tidak pernah peduli dengan statusnya yang terpaksa, baginya seorang istri memang harus melakukan tugas dan kewajibannya untuk melayani suaminya. Nilam melangkah menuju kamar ganti memilih piyama untuk suami dan digantung depan lemari.
Hanya butuh beberapa menit, King keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuh bawahnya sementara dadanya juga perutnya terlihat jelas di depan mata Nilam.
“Saya pergi,” kata Nilam hendak melangkah keluar dari kamar ganti, namun King menarik lengannya dan membuatnya bersandar di lemari.
“Tu-tuan mau apa?”
King menatap wajah Nilam, hasratnya menjadi liar ketika berdekatan seperti ini. Bagi King, Nilam cukup menarik. Berbeda ketika berdekatan dengan Eren, perasaannya biasa saja.
King mengecup pipi Nilam, membuat Nilam mendongak, hingga membuat King memiliki akses untuk mengecup bibir gadis mungil itu.