2. Dhiya Pitaloka

1007 Words
"Kang, sudah lama keluar dari rumah sakit jiwa?" "Obatnya belum habis yah?" "Kepalanya baru kejedot mobil Molen dimana kang?" "Nyebut kang!" "Eling kang!" "Istighfar kang!" Dhie terus saja bicara tanpa menghiraukan wajah kebingungan laki-laki itu.  Ekspresinya tanpa dosa tea. Matanya menatap dalam, mengamati Dhie dengan teliti. Sebenarnya siapa laki-laki itu? Penampilannya jauh dari kata normal untuk orang jaman sekarang. Muncul tiba-tiba begitu saja. "Aa mas akang penghuni jalan Riau 11 yah? Atau baru pulang latihan teater terus hiking kesini juga?"tanya Dhie, menyebut jalan tempat Rumah Sakit Jiwa berada. "Tidak kedinginan enggak pakai baju? Ihh ngomong atuh!" "Atau...jangan-jangan lagi melakukan ritual disini? Lagi nyari cewek buat persembahan yah, kang?" Pertanyaan Dhie semakin melantur. "Ishh insyaf, kang! Cari jalan yang benar daripada harus main syirik begitu." Laki-laki itu tak bergeming. Tetap menatap Dhie dengan sorot mata yang tajam dan dalam. "Huuhhff. Patung hidup beneran ini mah. Diajak ngomong diam aja. Hahh!" Akhirnya Dhie hanya bisa menghela nafas panjang. Nyerah. Tidak ada jawaban atau reaksi sedikitpun. Dengan lemas Dhie melirik jarum jam ditangannya yang sudah menunjukkan jam 4, sudah hampir pagi dan ia harus bergegas pulang sebelum Mak Lampir sadar kalau tempat tidurnya hanya diisi bantal guling. "Oke deh kang capek aku ngomong gak dibales. Nih sini, nanti kalo sudah pagi, akang datang saja ke pos disebelah sana!" Dhie menunjuk sebuah bangunan putih yang berjarak 100 meter dari tempatnya. "Bilang kalo akang tersesat dan minta dianterin pulang." Dhie nampak tak tega untuk meninggalkan laki-laki itu. Tapi mau bagaimana lagi? Masa mau dibungkus dibawa pulang? Tidak mungkin kali. Dhie mengambil beberapa bungkus roti dari ransel dan langsung dijejalkan pada tangan laki-laki itu. "Sambil menunggu pagi, akang makan roti ini yah. Lumayan buat ganjal perut." Tapi laki-laki itu malah semakin kebingungan melihat roti ditangannya. Dhie hanya tersenyum masem. Terserah deh. "Jaga diri baik-baik. Aku pergi dulu! Assalamualaikum!" Dhie mengucap salam sambil melangkah pergi meninggalkan laki-laki itu. Sekarang yang ada dibenak Dhie hanya wajah beringas Mak Lampir. Dhie berjalan menelusuri kawasan puncak gunung Tangkuban Perahu dengan cepat menuju gerbang utama objek wisata tersebut. Dari sana baru bisa naik angkot atau elf dan turun di Jayagiri Lembang karena kemarin malam Dhie menitipkan motornya disana, disalah satu warung yang buka 24 jam. Tapi kok perasaan Dhie tidak enak. Perlahan Dhie menoleh ke belakang. Ternyata laki-laki itu mengikutinya! Baru saja terpikir untuk lari, tiba-tiba...wuss! Laki-laki itu menghilang! Dan saat Dhie mengedipkan matanya, jreng! Laki-laki itu sudah ada dihadapannya. "Ijinkan hamba melindungi gusti putri!" ujarnya, mantap. "Hahh mulai lagi. Aku bukan gusti putri! Kau salah orang." "Mahapatih tidak pernah melakukan kesalahan dalam memberi titah, gusti putri." "Sudah ku bilang aku bukan gusti putri! Dan disini tidak ada Mahapatih atau Gajah Mada! Ini jaman modern, ini tahun 2017! Jelas?!" "Tahun 2017? Bukan tahun 1357?" "2017 kang!" Laki-laki itu nampak ragu, lalu matanya mulai memperhatikan keadaan disekelilingnya, kemudian beralih pada Dhie, menatap Dhie lagi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Euhh baru sadar dia. Tadi kemana aja? "Dan...kau bukan gusti putri?" sorot matanya terlihat sedih. "Bukan." Suara Dhie pun melembut. "Namaku Dhiya Pitaloka, tapi aku biasa dipanggil Dhie." "Dhiya Pitaloka? Bukan gusti putri Dyah Pitaloka?" "Bukan, aku Dhi-ya." jelas Dhie. "Dan kau sendiri, siapa namamu?" "Nama hamba Badra Samudro." "Oke Badra. Sampai jumpa!" Dhie berniat meneruskan langkahnya, tapi lagi-lagi terganggu. Kali ini laki-laki bernama Badra itu mencekal tangan kiri Dhie. "Ee..kau mau apa?" Dhie kaget saat tangan Badra yang bebas memaksa merobek jaketnya. "Ijinkan hamba melihat tubuh gusti putri." "What?!" Mata Dhie melotot bulat saking kagetnya. Repleks tubuhnya meronta, berusaha melepaskan diri dengan memukul, menyikut dan menendang Badra. "Dasar gila! Ternyata kau itu penjahat kelamin juga! Daripada diperkosa olehmu lebih baik aku mati! Lepaass! Makkk! Toloong aku!! Ada penjahat cakep disini!! Ihh lepasss!" Tapi pukulan Dhie dengan mudah dihalau Badra. Tendangan dan sikutan Dhie sama sekali tak berarti. Lalu brertt! Badra berhasil merobek jaket Dhie. "Jaketku?! Tidaakkk! Ini jaket baru tau!! Akhh dasar b******n! Leeppasssin!"jerit Dhie, histeris. "Maafkan kelancangan hamba, gusti." Dengan paksa Badra menyisingkan lengan kanan kaos Dhie lalu menariknya sangat dekat. "Jangan sentuh aku b******n!!" Tepat seperti dugaannya. Dhie memiliki tanda bulan sabit kecil di lengannya. "Sudah." Tiba-tiba saja Badra melepaskan Dhie. Senyumnya nampak puas. "Heh?" Terbalik dengan Dhie yang justru mendadak bingung. Hanya begitu saja? Tidak ada kejadian diseret ke gedung kosong atau taman sepi? Biasanya difilm kan suka begitu. "Kenapa berhenti? Apa aku terlihat jelek atau tubuhku terlalu pas-pas-an untukmu?" tanya Dhie, malah jadi error. "Apa maksud gusti?" Badra tak mengerti. "Eh lupakan!"elak Dhie, cepat sadar. "Hamba hanya ingin memastikan. Maaf kalau tindakan hamba kurang sopan." "Bukan kurang lagi tapi sudah SANGAT TIDAK sopan tau!" geram Dhie, kesal tapi juga lega karena tidak terjadi apa-apa pada dirinya. "Jangan pernah lakukan hal itu lagi pada siapapun. Mengerti?!" "Baik gusti." "Dan berhenti memanggilku gusti atau gusti putri!" "Baik, hamba mengerti." "Berhenti juga menyebut dirimu hamba!" "Baik." "Ya sudah, aku pulang dulu. Assalamualaikum." Sekali lagi Dhie pamit dan mulai melangkah. "Tunggu!" tahan Badra. "Ada apa lagi? Ini sudah mau pagi, aku bisa terlambat sampai rumah." "Ijinkan ham...eh aku ikut bersamamu." "Tidak bisa. Aku saja masih numpang dirumah mak Lampir, tunggu 10 atau 20 tahun lagi yah kalau aku sudah punya rumah sendiri." sahut Dhie, menjawab seenaknya. "Tidak! Aku harus ikut kemanapun kau pergi karena Mahapatih menugaskanku untuk melindungimu." "Tidak perlu! Aku bisa melindungi diriku sendiri." "Tapi ini perintah Mahapatih." "Iya, bilang saja sama Mahapatihmu itu kalau aku tidak mau kau lindungi. Beres, kan?" "Tidak bisa. Bahkan sekarang aku tidak tau dimana gusti Mahapatih berada." "SMS atau di WA aja. Gampang, kan? Ribet amat." "Apa itu SMS? WA?" "Eh, lupa!"rutuk Dhie, menepuk jidatnya sendiri. "Sudahlah, aku tidak mau tau. Urusan Mahapatihmu urus saja sendiri. Aku punya urusan yang jauh lebih penting!" "Tunggu gusti putri!!" Badra sekali lagi menghadang jalan Dhie. "Hamba mohon, ijinkan hamba ikut bersamamu!" "Kau ini keras kepala! Kalau mau ikut, sana ikutin yang lain! Jangan aku!" "Tidak! Hamba hanya akan mengikutimu." "Kenapa harus aku sih?!" "Karena kau adalah Dhiya Pitaloka, gadis yang mempunyai tanda bulan sabit dilengannya."tegas Badra. "Memangnya kenapa dengan tanda ini? Aku sudah memilikinya dari lahir, Badra! Sudah dari sononya!" "Itu adalah tanda bahwa kau titisan dari putri Dyah Pitaloka." "Hahh? Apalagi ini?! Duh lama-lama aku bisa darah tinggi kalau terus meladenimu!" "Tunggu gusti putri!" Badra menyusul Dhie yang berjalan terburu-buru. "Aku bukan gusti putri!" "Hamba eh aku ikut bersamamu!" "Terseraahhh!!" "Aku akan melindungimu!" "Terseerraaahhh!" Dhie sudah menyerah dan terus berjalan. Badra pun mengikuti sambil tersenyum tenang. Sesuai titah dari Mahapatih Gajah Mada, ia akan melindungi gadis bernama Dhiya Pitaloka ini. ?????
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD