Part 2. Queen Vs Jessy

1137 Words
"Ya ampun, kak. Queen laper. Pesanin Queen makanan dong." keluhku seraya menahan geli akibat ulahnya yang menciumi leher jenjangku. Utungnya Kak Theo mendengarkan ucapanku. Ia segera menjauhkan wajahnya dari leher jenjangku dan menatapku sembari tersenyum manis. Duh, Kak. Kenapa sih senyum Kak Theo manis banget? Aku kan jadi gak tahan. Elusan tiba-tibanya di leherku membuatku bergidik, menahan geli. "Ini saja kamu menahan geli, kamu sangat sensitif, bee." kekeh Kak Theo. Apalagi yang bisa ku lakukan selain cemberut mendengar ledekannya. "Jangan komen terus. Sekarang pesanin Queen makanan!" titahku. "Iya, istriku. Sabar lah sedikit." Wajahku terasa panas mendengarnya memanggilku 'istriku.' Meski kami sudah menikah semenjak 4 tahun yang lalu, sangat jarang dia memanggil istriku. Untuk menyembunyikan salah tingkahku, aku berpura-pura meringis seraya memegang perutku. "Astaga, bee. Kamu kenapa???" tanyanya panik. "Perut Queen sudah sangat kelaparan, kak, hehe." Kak Theo menghela nafas lega. Dia segera menelpon orang suruhannya untuk membelikan pesananku tadi. Setelah sambungan telepon terputus, dia menggendongku ala bridal style. Membawaku ke kamar pribadinya di dalam ruangan ini. Meletakkanku dengan begitu hati-hati di atas tempat tidur seolah aku akan pecah jika di letakkan secara kasar. Ah ya, mengenai panggilan ku pada dirinya. Aku memanggil Kak Theo karena menurutku tidak sopan memanggilnya dengan nama saja. Makanya ku panggil dengan embel-embel kak. Kalau memanggil dengan panggilan mas, uhm, itu sangat menggelikan bagiku. Kalau panggil dad/papa/papi, itu apalagi. Awalnya dia sempat protes ku panggil demikian tapi akhirnya dia membiasakan diri. Usapan lembutnya di pipiku membuatku mengalihkan tatapan ke arahnya. Ah, aku jadi teringat sesuatu. "Kak. Queen gak sengaja melihat Aldy tadi pagi." Seketika wajah Kak Theo menunjukkan ketidaksukaan. Apa dia masih saja cemburu kalau aku menyebut nama Aldy? Tapi 'kan, aku gak suka sama Aldy?! "Ekspresi kakak biasa aja dong. Queen kan gak suka lagi sama Aldy, Queen cuma merindukannya setelah tidak bertemu selama 5 tahun lamanya. Kakak tahu sendiri kan Aldy sahabat masa ke--." Kak Theo mencium bibirku tanpa membiarkanku menyelesaikan ucapanku. "Ck, Queen belum selesai ngomong." protesku seraya menepuk dadanya. "Queen ka--" Lagi-lagi dia mencium bibirku tanpa membiarkanku menyelesaikan ucapan. Aku hendak protes lagi tapi tertahan kala melihat tatapannya yang begitu tajam hingga membuat nyaliku sedikit ciut. "Jangan bahas cowok lain, bee! Aku gak suka itu!!" "Iya, iya. Queen salah. Maafin Queen." Renggutku tidak ikhlas. Kecupan lembut di puncak hidungku membuatku terkekeh. Meski dirinya kesal atau pun marah, Kak Theo selalu memperlakukanku dengan baik. Aku merasa sangat beruntung dengan hal itu. Ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. "Sepertinya pesananmu sudah sampai. Aku pergi menjemputnya dulu." pamitnya, mengecup bibirku sekilas sebelum keluar dari ruangan. Aku beranjak dari kasur kala punggungnya menghilang. Mendekati jendela besar yang menampilkan seluruh kota. Bangunan-bangunan berdiri dengan megahnya, seolah bersaing satu sama lain. Di bawah, kendaraan terlihat berlalu lalang seperti semut yang mencari makan. Maklum saja, aku berada di lantai paling atas, lantai 50. Masalah Aldy, aku sepertinya tidak salah lihat. Sewaktu mencuri pandang ke luar mobil kala berangkat ke kantor dengan Kak Theo, aku benar-benar melihatnya. Mobilnya tepat berada di samping mobil kami. Sayangnya aku hanya bisa melihat sekilas. Bagaimana ya kabarnya sekarang? Apa dia telah memiliki pendamping hidup? Ku harap iya. "Bee, ayo ke sini." Mendengar suara lembut itu, aku segera berbalik. Berjalan mendekat dengan langkah besar karena perutku benar-benar sudah tidak sabar untuk di isi. Apalagi sewaktu melihat makanan yang disuguhkan di atas meja, semakin membuatku merasa tidak sabar untuk melahapnya. "Sebentar lagi aku akan meeting di ruang sebelah. Kamu mau ikut atau di sini saja, bee?" "Di sini aja deh, kak." "Oke." "Sekarang kakak siap-siap sana." "Aku mau menunggu kamu selesai makan dulu, bee." "Gak usah, kak. Kakak siap-siap aja sekarang. Queen maksa loh." Kak Theo mengacak pelan rambutku. "Iya, iya. Aku pergi. Kamu habisin ya makanannya? Kalau ada sesuatu telpon saja aku." Aku mengangguk patuh mendengar ucapannya. Biar cepat gitu. **** Aku duduk di kursi kebesaran Kak Theo tanpa melakukan hal yang berarti. Ini nih yang gak kusuka kalau pergi ke perusahaan. Bosan, gak ada kerjaan. Kalau di rumah aku bisa memasak dan mencoba menu-menu baru. Sayangnya Kak Theo memaksaku ikut dengannya hari ini, katanya sih tidak mau meninggalkanku yang baru saja sembuh di rumah sendirian. Ketika aku sakit saja Kak Theo membolos kerja. "Kerja sama dengan perusahaan LY Company tidak boleh kita lewatkan, pak. Mereka akan semakin membuat perusahaan kita maju." Suara Jessy. Meeting sudah selesai rupanya. "Aku tahu." Cuek sekali jawaban suamiku hehe. Aku berjalan mendekat ke arah mereka. Berdiri di tengah-tengah mereka dan mendorong Jessy pelan dengan lenganku. "Pulang yuk, kak. Queen capek di sini terus." aduku manja. "Oke, bee." "Bukan kah setelah ini kita akan makan siang dengan client, pak?" tanya Jessy menyambar. "Batalkan saja." Ah, Kak Theo memang menjadikan ku prioritas hidupnya. "Tunggu sebentar, bee. Aku mau mengambil sesuatu." Aku mengangguk. Setelahnya, hanya aku dan Jessy lah yang berada di sana. "Wanita sialan! Kau menganggu waktuku dengan Pak Theo saja." bentaknya kesal. Aku tersenyum datar. "Lalu kalau aku menganggu apa masalahnya denganmu??" "Masih tanya?!!" "Aku kan polos, makanya tanya." "Sialan! Jangan pernah menginjakkan kaki di perusahaan ini lagi!!" Jessy menatapku tajam. "Keberadaanmu di sini benar-benar menganggu!!" Aku melipat tangan di depan d**a, menatapnya sinis. "Apa hakmu melarangku? Ini perusahaan milik suamiku," Melangkah mendekatinya hingga dia refleks mundur. "Dan lagi, aku di sini untuk mengawasi wanita pelakor sepertimu. Kalau kau mau menggoda seorang pria, goda saja yang belum punya istri atau pacar. Oh ayo lah, pria di dunia ini tidak hanya satu tapi banyak. Tapi kenapa kau bertingkah seolah tidak ada pria lain di dunia ini???" Jessy mendorong bahuku dengan jari telunjuknya. "Hei, adik kecil. Dengar! Kau tidak pantas dengan Pak Theo. Kau tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku. Aku heran, entah apa yang Pak Theo lihat darimu. Wajah jelek, tubuh pun datar saja." Aku tertawa kecil. "Ini lah cinta, cinta tidak melihat fisik. Ya, ku akui tubuhmu bagus tapi aku yakin tubuhmu dipakai banyak orang. Dan lagi, dengan wajah cantik dan tubuh bagusmu itu kau menggoda milik orang lain? Ckck, kalau aku menjadi dirimu, aku akan malu dengan diri sendiri." "Apa maksudmu?!" bentaknya murka. "Dengar ya, Jessy. Jangan pergunakan tubuhmu untuk menggoda milik orang lain. Cari lah pria lain yang tidak memiliki pasangan hidup." Jessy tertawa keras. "Tidak akan. Aku hanya ingin Pak Theo. Aku mencintainya." "Cinta? Cih! Kau yakin itu cinta? Kau tidak terobsesi dengan kekayaannya, kan?" ledekku. Wajahnya tampak pias. Pertanda apa yang kuucapkan benar. "Ingat satu hal, jangan pernah menganggu milikku lagi atau kau akan tahu akibatnya." "Aku tidak takut dengan ancamanmu, bocah." Dia malah menganggap remeh ancamanku. Lihat saja apa yang ku lakukan padamu, jalang. "Kau hanya lah bocah ingusan yang tidak akan lama lagi ku tendang dari kehidupan Pak Theo." bisiknya tak tahu diri dan berlalu pergi. Kau yang akan ku tendang dari kehidupan suamiku Akan ku buat kau menyesal dan berlutut di kakiku sambil menangis-nangis. -Tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD