BAB 2 - KEKECEWAAN

1648 Words
Dengan langkah yang sedikit terseret Andy memasuki Ballroom hotel, tempat di mana acara resepsi telah dimulai. Hampir tiga puluh menit Andy berkeliling untuk mencari keberadaan Milla, namun ia belum juga menemukan keberadaan tunangannya. Bagai ikan yang kembali ke dalam air, bibir Andy kembali menyunggingkan senyumannya ketika sekelebat bayangan wajah cemberut Milla yang melintas dalam pikirannya. Ingatannya kembali pada kejadian seminggu yang lalu, ketika ia tengah melakukan panggilan video bersama Milla. Dengan muka yang ditekuk dan bibir yang mengerucut, gadis itu merengek memintanya pulang ke Surabaya untuk menghadiri acara resepsi pernikahan adiknya. Milla bilang, ia tidak ingin menjadi jomblo kesepian yang datang sendirian ke pesta pernikahan tanpa gandengan. Apa kata orang nanti, jika ia telah memiliki tunangan tapi masih setia sendirian. Maka dengan perasaan senang yang menyelimuti hatinya akibat permintaan kekasihnya yang merajuk, Andy mengajukan cuti kepada komandannya untuk pulang ke Surabaya. Dan di sinilah ia sekarang, mendapatkan cuti tiga hari untuk menghadiri pesta resepsi pernikahan calon iparnya. Dan Andy telah menyusun beberapa rencana untuk sisa hari liburnya. Ia akan mengajak Milla jalan-jalan mengunjungi timezone yang berada di Plaza Surabaya. Andy juga akan memaksa Milla mengambil cuti, agar mereka sama-sama impas. Namun sedetik kemudian senyuman itu menghilang, digantikan sebuah wajah yang terlihat masam. Menghembuskan napasnya lelah, Andy memilih untuk kembali ke tempat acara resepsi digelar. Mungkin saja Milla telah berada di sana dan tengah menunggunya. Ya itu pemikiran positif yang terus Andy terapkan. Kepala Andy kembali menunduk untuk melihat ponsel yang berada digenggamannya. Siapa tahu, Milla sudah dapat dihubungi dan sekarang telah memberinya kabar. Namun lagi-lagi hasilnya nihil, Milla belum juga memberinya kabar, walau itu hanya sepucuk pesan. Dari sini dapat Andy lihat jika beberapa tamu mulai mendekati podium, atau tempat pade-pade untuk menyalami sang pasangan pengantin baru. Memantapkan langkahnya, kaki Andy semakin bergerak mendekati kedua pasangan pengantin baru tersebut. Hingga kedua mata Andy menyipit melihat penampang pengantin perempuan yang berdiri di samping pengantin pria. Deg Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Bukan karena ia jatuh cinta, bukan. Napasnya tercekat. Oksigennya seakan direngkuh secara paksa, tubuhnya melemas. Dan mata itu, menatap penuh sangsi. Di sana, Milla, tunangannya, berdiri dengan senyum penuh akan keterpaksaan. Milla Faiqa Dihardjo, gadis yang telah resmi menjadi tunangannya kini telah berdiri di atas podium pernikahan bersama pria lain. Kenapa bisa? Kenapa bisa Milla berdiri di sana bersama pria lain? Seharusnya dia yang berada di sana, bukan Mahesa! Tanpa berpikir ulang, Andy semakin mempercepat langkahnya, bahkan cenderung berlari menuju ke arah Milla. Langkahnya terhenti, tepat ketika kedua mata mereka saling memandang, memancarkan perasaannya masing-masing yang tak mampu untuk diucapkan. "Lala...," Nada suara itu begitu lirih terdengar. Sorot matanya memancarkan kekecewaan yang amat begitu mendalam. Tujuh tahun mereka berpacaran, dan inikah balasannya? Andy tidak pernah menyangka jika Milla akan meninggalkannya dan lebih memilih pria lain, dan pria itu adalah Mahesa, pria yang seharusnya menjadi suami dari adiknya. Inikah alasannya? Alasan kenapa Milla tak menjawab telepon darinya? "Andy-" Suara Milla tercekat. Runtuh sudah benteng pertahanan yang ia bangun sejak tadi, karena kini air matanya sudah mengalir tanpa dapat dicegah. Kini, di depannya, ada Andy, seorang pria yang ia cintai. Namun di sampingnya juga ada Mahesa, seorang pria yang telah berstatus sebagai suaminya. Dengan langkah gontai, Andy berjalan mendekati Milla. Menatap gadis itu dengan tatapan penuh luka. Hati Milla teriris, melihat sorot mata peluh luka yang Andy pancarkan, dan itu semua karena dirinya. Cukup lama, dan itu sekitar empat tahun yang lalu, saat kali pertama Milla melihat tatapan penuh luka milik Andy. Tatapan ketika Papanya meninggalkannya untuk selamanya, dan sejak saat itu Milla tak melihatnya lagi. Namun kini, Milla kembali melihatnya, dan itu semua karena dirinya. Milla tak sanggup jika harus melihat sorot mata itu, Milla tak- "Ka-kamu..., kenapa? Kenapa harus kamu, La? Kenapa harus Lala aku? Kenapa bukan orang lain?" Air mata Andy menetes tepat ketika kata Lala terucap dari bibirnya. Milla menundukkan kepalanya dalam. Ia tidak ingin menangis di depan Andy. Milla harus tegar, dan Andy harus membencinya dan membuat pria itu melupakannya. Dan dengan susah payah Milla menyembunyikan air matanya yang sudah keluar. "Tujuh tahun kita bersama, suka dan duka kita lalui. Tapi kenapa-" suara Andy tercekat, ia tak sanggup untuk kembali berucap, hatinya terlalu sakit. Ketahuilah, melihat orang yang kita cintai menikah dengan orang lain tidaklah semudah itu. "Aku- aku udah sukses! Aku udah jadi polisi seperti yang kamu mau! Aku- kenapa kamu ngelakuin ini ke aku?! Kenapa? Apa salah aku?! Apa!" Andy mencengkeram kedua bahu Milla menggoyangkannya hingga Milla tak sanggup untuk menahan tangisnya lagi. "Aku di sini, La. Aku ngambil cuti kayak yang kamu minta, aku di sini karena kamu, La. Tapi kenapa?" Napas Andy menggebu, "Lala jawab aku! Kenapa kamu tega?!" "Andy..., aku-" "Ah, aku tahu! Kamu pasti nge-prank aku, 'kan? Ini bohongan, 'kan? Kamu, 'kan paling suka ngerjain aku. Atau ini April mop?" Andy tersenyum di tengah tangisnya. "Tidak! Ini sungguhan, dan aku- aku mencintai Mahesa, calon suami Mitta." Kepala Andy menggeleng cepat seakan tidak percaya dengan apa yang telah Milla ucapkan. Ia tahu betul, Milla hanya mencintainya, bukan Mahesa atau pun pria lainnya. "Kamu bohong! Aku tahu kamu cuma cinta sama aku-" "Itu dulu! Dan sekarang, aku lebih mencintai Mahesa, suamiku." Andy menggeleng panik. "Nggak! Itu nggak mungkin! Bilang jika kamu berbohong, Lala!" Napas Andy memburu, ia tak sanggup jika harus mendengar kenyataan yang begitu menyakitkan keluar dari mulut gadis yang teramat ia cintai. Tidak! Andy berharap Milla telah berbohong kepadanya. Dan ini hanya tipuan semata. "Aku tidak berbohong." "Kamu pasti bohong! Aku tahu itu!" "Andy, dengerin aku-" "Kenapa, La? Kenapa?" Milla menarik napasnya dalam. Ia harus kuat. "Karena Mahesa lebih kaya dari kamu." "La?" Kepala Milla mengangguk pelan, menggigit bagian dalam bibir bawahnya Milla menatap Andy dengan lekat. "Ya. Sekarang aku tahu, bahwa uang adalah yang utama. Dan aku memilih Mahesa karena dia lebih kaya dari kamu. Dan kamu juga tahu, gaji polisi tidak seberapa." "La? Kenapa kamu- kenapa kamu jadi seperti ini?" Andy menatap Lala dengan sorot penuh akan ketidakpercayaan. Ini tidak mungkin. Milla tidak mungkin mengkhianati dirinya hanya karena harta yang menjadi alasan utama. Karena Andy tahu, Milla bukanlah orang seperti itu. "Maaf." "Kamu beda. Kamu bukan Lala yang aku kenal. Kamu bukan Lala yang menerima aku apa adanya. Lala yang aku kenal tidaklah seperti kamu!" Langkah Andy mundur secara perlahan, dan setelah itu, "Aku kecewa sama kamu." Dengan mata memerah dan air mata yang telah nampak mengering, Andy membalikkan tubuhnya dan berlari kecil meninggalkan Milla bersama hatinya yang patah. Seharusnya Milla tahu, seharusnya ia sadar. Seharusnya ia mengerti bahwa hal seperti ini pasti akan terjadi. Ia telah mengambil sebuah keputusan, maka ia juga harus menanggung risikonya. Kepala Milla menunduk untuk beberapa saat setelah kepergian Andy. Hingga detik ketujuh, kepala Milla kembali mendongak. Dan tidak, inilah saat yang Milla hindari namun harus ia hadapi. Di sana, berjarak satu meter darinya. Seorang wanita paruh baya dengan setelan kebaya berwarna kuning langsat -senada dengan kerudung yang ia kenakan- tengah berdiri dengan sorotan mata yang menatapnya tajam. Dan yang Milla tahu, tatapan mata itu penuh akan kekecewaan. "Bunda?" Wanita itu maju selangkah. Kedua tangannya mencengkeram erat tas jinjing kecil yang tengah ia tenteng. "Saya pikir, kamu gadis yang tepat untuk putra saya." "Maafin Milla, Bun." Lagi-lagi kepala Milla menunduk, ia tidak sanggup jika harus melihat sorot kekecewaan dari wanita yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. "Benar kata Andy, kamu bukan Milla yang pernah saya kenal. Kamu bukan Milla yang telah saya anggap seperti putri saya sendiri." Sontak kepala Milla mendongak, menatap tepat ke arah mata memerah di depannya. "Bunda-" "Jangan pernah panggil saya bunda lagi! Mulai detik ini saya bukan Bunda kamu lagi! Dan jangan pernah berpikir untuk menemui Andy lagi!" Wanita itu, Winda, menatap Milla tajam sekaligus kecewa. Kecewa terhadap gadis yang telah ia anggap seperti anak sendiri. "Hanya karena harta kamu tega mengkhianati Andy! Dan hanya karena harta kamu sampai hati merebut calon suami adikmu sendiri? Apa tidak ada pria lain di luar sana yang mau sama kamu?!" "Nyonya, tolong jaga ucapan Anda!" Mahesa yang sedari tadi diam dan menonton kini mulai buka suara. Entah mengapa, ia merasa tidak terima jika Milla harus direndahkan seperti ini. Bukan kemauan Milla untuk menikah dengannya, dan Mahesa tidak dapat berbuat banyak karena ia juga harus menyelamatkan nama baik keluarganya. "Dan kamu! Pria bodoh macam apa kamu itu? Mau-maunya kamu ditipu oleh perempuan ini!" "Dan perempuan yang Anda maksud itu adalah istri saya." Bisik-bisik dari para tamu undangan yang hadir kini mulai terdengar. Mulai dari rasa kasihan yang ditunjukkan kepada Andy dan juga dirinya, berikut juga kalimat tuduhan untuk Milla yang tega merebut calon suami adiknya karena harta. Milla paham, dan ia telah siap untuk menerima semuanya. Winda mendengkus keras. Lalu setelahnya mata itu kembali menatap ke arah Milla. Kali ini bukan hanya sorot kekecewaan, namun juga kebencian. "Saya tidak menyangka kamu akan melakukan ini, Milla. Saya kecewa sama kamu." Dan setelah itu, Winda berbalik pergi meninggalkan Milla yang telah menunduk dalam. Ia tidak sanggup lagi untuk menahan tangisnya. Hingga Mahesa dapat melihat jika bahu wanita di sampingnya itu bergetar dengan hebat. Dan Mahesa tahu, Milla tengah menangis tersedu. "Milla?" Memberanikan dirinya, Mahesa menyentuh pelan bahu Milla yang tengah bergetar. Namun itu hanya sesaat, karena setelahnya Milla menepis pelan tangan Mahesa, menyingkirkannya dari bahunya. "Saya baik-baik saja. Anda tidak perlu khawatir." Menghembuskan napasnya pelan, Milla mengusap air matanya dengan kasar. Mendongakkan kepalanya, Milla menatap ke arah tamu yang juga menatapnya dengan pandangan beragam. Ada yang kasihan, marah, benci, kecewa dan..., jijik. "Tapi kamu-" "Saya tahu!" Milla menolehkan wajahnya, menatap ke arah mata Mahesa yang menatapnya khawatir? "Tidak ada yang perlu Anda khawatirkan, tidak ada yang perlu Anda takutkan. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Bibir itu mencoba untuk tersenyum. "Saya, permisi. Saya ingin kembali ke kamar." Jangan menangis Milla, ini keputusanmu, dan sudah seharusnya Andy kecewa terhadapmu bukan? _________________________ [Cerita ini hanya dapat dibaca secara online atau versi digital di aplikasi Innovel / Dreame ©®2019 by Olipoill]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD