Menggunakan waktu sebaik mungkin dengan bersenang-senang tanpa memikirkan pekerjaan. Meninggalkan pekerjaan setelah jam makan siang menjadi rutinitas Geo Albert Roussel beberapa bulan terakhir.
Pria umur 29 tahun lahir di Prancis namun wajahnya tidak menunjukkan bahwa ia orang lokal sana, melainkan campuran Prancis dari sang ayah dan Korea Selatan dari ibunya. Perpaduan itu membuat Geo terlihat sedikit berbeda namun ketampanannya tidak perlu diragukan.
Sesuai keahliannya tentang akuntansi, Geo menjadi kepala divisi akuntan di perusahaan kakeknya, Ganesh Roussel, membuatnya bosan dengan rutinitas. Permasalahan selisih hasil laporan tahunan terakhir yang ia periksa, membuat Geo malas bekerja dengan giat dan hanya memantau melalu kiriman e-mail dari asistennya.
Dengan berbagai alasan agar bisa bebas walau setelahnya ia akan mendengar siraman rohani dari Ganesh dan Gio Roussel-ayahnya, meminta Geo berhenti bermain-main. Gio mengatakan kalau ia harus meningkatkan kinerjanya sebelum menggantikan sang ayah menjadi CEO The Roussel berikutnya.
Membayangkan tanggung jawab besar itu membuatnya tercekik. Geo benci merasa terikat dalam hal apa pun. Terutama sebuah hubungan jangka panjang seperti kedua orang tuanya. Terdengar mustahil untuk Geo yang menyukai kebebasan.
Alih-alih melarikan diri, hari ini Geo menggunakan ibunya sebagai alasan pergi dari kantor. Menemani Alisa Park Roussel-ibunya, membeli sofa baru untuk di butiknya. Poster tubuh mungil khas wanita paruh baya Asia, tidak mengurangi kharisma dan wajah cantik yang menonjol dari Alisa, dan putranya mewarisi itu walau tubuh Geo jauh dari kata mungil.
Alisa berjalan dengan elegan melihat-lihat sofa yang tersusun rapi layaknya beberapa ruang tamu di sekelilingnya. "Menurutmu sofa mana yang bagus, Al?" tanyanya pada Geo menggunakan bahasa Prancis.
"Ambil yang berwarna merah muda saja, Mama suka warna itu 'kan?"
"Albert, di sini tidak ada sofa berwarna merah muda!"
"Benarkah?" Geo mengalihkan pandangan dari handphone lalu menatap Alisa setelah melihat sekitar. Yang benar saja tidak ada sofa berwarna merah muda. Merasa sedikit bersalah, ia menampilkan deretan gigi putihnya pada Alisa. "Maaf, Ma. Aku harus pergi. Rena ingin bertemu denganku di sebuah kafe. Aku sudah menghubungi Tom untuk menjemput Mama." Geo mengecup pipi Alisa lalu pergi meninggalkan ibunya sendirian.
"Astaga, Albert! Tega sekali kau meninggalkan Mama di sini demi wanita itu!" Teriak Alisa pada Geo yang berjalan menjauh sambil melambaikan tangan. "Anak itu benar-benar!" Wibawanya seketika hilang apa pun itu jika menyangkut tentang putranya.
Melepas setelan jas serta dasi, menyisakan kemeja di badannya yang sudah dilepas dua kancing teratas. Tak lupa Geo menggulung lengan kemejanya sampai bawah siku sambil berjalan memasuki kafe mencari keberadaan Rena, sahabat yang ia kasihi.
Rambut blonde yang baru ia warnai minggu lalu menjadi kesan menonjol dari kejauhan. Geo memang gemar mewarnai rambutnya karena kurang menyukai rambut aslinya berwarna coklat tua. Senada dengan rambut aslinya, mata coklatnya begitu cocok dengan wajah Geo yang memiliki rahang tegas, memberi kesan tampan dan seksi khas Asia mewarisi gen Alisa. Ayahnya hanya membagikan poster tubuh dan kelamin pada fisik Geo.
Pengunjung kafe tidak terlalu ramai, tapi Geo tetap menjadi sorotan pengunjung wanita seisi kafe.
Setelah menemukan punggung yang sangat ia kenali, Geo langsung duduk di seberangnya. "Apa kau lama menungguku? Astaga, Rena... kau menangis. Siapa yang melakukan ini padamu?" Wajahnya yang santai seketika geram. Ia tidak suka melihat Rena menangis. Terlebih yang membuat wanita itu menangis karena...
"Aku melihat Justin kemarin malam bersama wanita yang sama di foto waktu itu." Air mata Rena kembali mengalir melalui pipinya, dengan cepat ia menghapus jejaknya menggunakan punggung tangan.
Mendengar nama itu saja mampu meningkatkan tekanan darah Geo. Tangannya mengepal hingga memutih, ia benci mendengar nama itu. Munculnya Justin di hidup Rena satu tahun terakhir membuat Geo tidak tenang dan jiwa ingin membunuh seseorang muncul karena keberengsekannya.
Kerap kali pasangan itu bertengkar atau perlakuan Justin apa pun yang menyakiti Rena, wanita itu akan berlari pada Geo untuk meluapkan perasaannya yang menyesakkan. Setelah rasa sakitnya memudar, Rena akan kembali pada Justin seolah tidak ada masalah di hubungan mereka.
Ya, anggap saja Geo sebagai pelarian Rena di kala terpuruk. Itulah gunanya sahabat bukan? Namun perasaan Geo tidak hanya sebatas sahabat, ia menyadari hal itu sejak lama. Geo rela, selama Rena mau selalu bersamanya.
Ia tidak tahu ini perasaan cinta atau bukan, selama Geo tidak bisa memutuskan perasaannya sendiri, ia tidak akan menyinggung hal ini pada Rena. Dua alasan membuat Geo tidak mencari tau perasaannya atau membiarkannya terkubur selama ini. Pertama, ia tidak ingin memiliki hubungan jangka panjang yang disebut sepasang kekasih atau menikah. Kedua, Geo tidak ingin meruntuhkan bangunan persahabatan yang sudah lama mereka bangun sejak kecil.
Namun, semenjak Justin dan keberengsekannya datang seolah menyiksa Rena, membuat Geo ingin melindunginya dengan suatu tindakan. Ia tidak mungkin hanya berdiam diri menyaksikan penyiksaan batin yang tak berkesudahan.
Seperti sekarang, kali ini benar-benar menguji kesabaran Geo setelah melihat Rena mengeluarkan sebuah benda kecil panjang dari kantong mantelnya. Ternyata itu adalah testpack bertulisan pregnant di layar kecilnya.
"Ini milikmu?" jeda Geo sejenak, "kau hamil anak si berengsek itu?" Suara Geo merendah menahan amarah hingga rahangnya berkedut.
"Dia punya nama, Al! Sudah berapa kali aku mengatakan jangan memanggilnya seperti itu!"
Geo tertawa remeh mendengar perkataan Rena mengenai pria itu. Selalu seperti ini jika Geo mengatakan hal buruk tentang Justin, maka Rena akan melontarkan sesuatu sebagai senjata perlawanan dalam bentuk pembelaan. Ia tidak mengerti jalan pikir Rena, masih bertahan menjalin hubungan tak sehat seperti ini.
Inilah mengapa Geo tidak ingin memiliki hubungan khusus. Ia tidak ingin seperti Rena, tersakiti karena cinta. Saat kau memberikan segalanya pada seseorang, saat itu pula kau lupa akan segalanya.
"Jika aku tak berhak memanggilnya seperti itu, lalu aku harus memanggilnya apa? Aku tidak sudi mulutku menyebut namanya. Apa perlu aku memanggilnya iblis?"
Plak!
Rena melayangkan telapak tangan cukup kencang pada pipi Geo. Hal itu menarik perhatian seluruh pengunjung. "Aku memanggilmu kemari hanya untuk mendengarkanku seperti biasanya, Al. Bukan untuk memakinya!"
Tangan Geo terangkat mengusap pipinya yang panas bekas tamparan Rena. "Kau pikir aku selama ini batu tidak merasakan apa pun saat kau menceritakan semuanya padaku? Apa kau pikir aku tahan melihat kau selalu menangis di depanku setiap kali kau menceritakan keberengsekannya? Beribu kali aku menahannya selama ini untuk tidak menghajar dan membunuhnya, demi kau! Aku benci melihat kau menangis seperti ini. Dan sekarang apa? Lihat dirimu, dia menghamilimu setelah menyakitimu habis-habisan dan bemesraan dengan wanita lain di belakangmu? Ini benar-benar membuatku gila!"
"Kau tak perlu mengasihani aku! Aku bisa menghadapi semuanya dan yakin suatu hari dia akan menyadari semua kesalahannya untuk membesarkan anak kami bersama-sama."
"Mengasihanimu?" Geo menatapnya tak percaya dengan perkataan yang keluar dari mulut Rena. "Suatu hari, yang artinya kau sendiri tidak yakin kapan itu akan terjadi. Cinta memang membuat orang menjadi buta. Seperti kau dan aku. Kau buta akan keberengsekannya, sedangkan aku buta terus mencintaimu yang juga buta cinta pada pria lain."
"Albert, kau..." Rena terkejut dengan pernyataan cinta Geo padanya.
"Ya, aku mencintaimu." Kenapa mengatakan ini terdangar tidak benar di telinganya? Sepertinya menyatakan perasaan bukan rencana Geo, tapi mungkin ini sebuah tindakan yang tepat untuk melindungi Rena. Lebih tepatnya Geo selalu bertindak impulsif.
"Ini salah, Al. Kau tidak mencintaiku, aku menyayangimu seperti kakak untukku dan aku mencintai Justin."
"Aku tau kau mencintainya, dan kau tak perlu memperjelas hal itu. Sekarang tak ada lagi yang memaki si berengsek itu di depanmu. Karena aku tidak akan mengganggumu dan dirinya lagi. Selamat untuk kehamilanmu. Maaf aku tidak bisa mengucapkannya dengan hangat jika itu yang kau harapkan."
Geo berdiri dari duduknya, melangkah dengan berat meninggalkan Rena yang terdengar menangis. Geo tidak peduli tatapan pengunjung yang penasaran dan ia berusaha keras agar tidak berbalik memeluk Rena sekarang juga.
Sesampai di mobil, dengan cepat Geo menjalankannya dan benaknya mulai terbayang wajah Rena sedang menangis.
"Its okay, Roussel. Dia akan baik-baik saja dan menangis sebentar. Lalu dia akan pergi menemui kekasihnya dan menjaganya dengan baik. Menenangkan Rena menangis bukan kewajibanmu!" Geo menutup mata sambil menghela nafas, menetralkan kekhawatirannya sampai lupa sedang mengemudi.
BRAK!
Tanpa sengaja ia menabrak belakang mobil orang lain yang sedang berhenti. Ini akibat mengemudi sambil menutup mata! "Kenapa berhenti di tengah jalan secara tiba-tiba!" Geo berteriak setelah mengeluarkan kepalanya dari jendela.
"Kau buta atau bodoh? Ini lampu merah!"
***
Apa kalian percaya akan hari tersial? Atau membuat mood-mu hancur seharian? Sepertinya itulah yang menimpa Geo sejak pagi.
Pertama, pagi-pagi stafnya menghilangkan lampiran berkas penting rekapan hasil laporan dari beberapa negara. Kedua, cairan kopi mengenai jas setelan mahalnya hingga ia harus mengganti dengan setelan jas cadangan milik Gio di ruangan khusus sang ayah. Ketiga, siangnya ia mendengar berita mengenai Rena hamil anak Justin dengan derai air mata. Keempat, bumper depan mobilnya rusak karena menabrak mobil orang yang berhenti di lampu merah sehingga Geo mengganti rugi menggunakan seluruh uang kasnya di dompet.
Dan sekarang, semua kartunya diblokir oleh Gio saat ia membeli beberapa minuman kaleng di mini market terdekat. Setelah ia bertanya pada Gio melalui telpon, ternyata alasannya karena telah meninggalkan pekerjaan di kantor dan meninggalkan Alisa sendirian demi menemui Rena. Untung ia masih mempunyai kartu atas nama Alisa tanpa sepengetahuan siapa pun, untuk cadangan jika ada keadaan genting seperti ini.
Geo bersumpah ini hari tersial yang pernah ia alami seumur hidup! Entah kesialan apa lagi yang menghadangnya setelah ini.
Karena tidak suka menggunakan barang rusak, setelah melihat bumper depan mobilnya miring, Geo memilih berjalan menuju taman Tuileries di depan Louvre, menghirup udara segar sejenak. Berharap angin siang menjelang sore di taman bisa memperbaiki suasana hatinya.
Pandangannya menelusuri sekitar taman di depannya. Di sudut kanan ada beberapa orang berdiri sambil berfoto-foto menangkap momen, ada juga seorang pria paruh baya duduk di kursi taman bersama anak perempuan, yang sepertinya cucunya sedang memegang es krim dengan santai. Sedangkan di sudut kirinya ada perkumpulan wanita-wanita paruh baya sedang berdiskusi sesuatu dengan sekeranjang makanan olahan rumah, di samping mereka duduk menggunakan alas kain yang terpapar di rumput.
Tak seramai akhir pekan seperti terakhir kali ia kemari beberapa tahun yang lalu, dan sejauh ia memandang sekitar, hanya beberapa warga asing ke taman ini.
Geo duduk di sebuah kursi taman yang kosong. Cuaca tidak terlalu panas, tidak juga mendung. Stabil, tidak seperti harinya yang kacau. Benak Geo masih terbayang wajah Rena yang menangis dan testpack yang ia lihat. Terutama memikirkan impulsifnya menyatakan perasaan pada Rena yang tidak mendasar.
Pikirannya saat itu hanya ingin melindungi Rena agar mengalihkan perhatiannya pada Geo dan berhenti memikirkan Justin. Padahal Geo tahu Rena tidak akan mudah berpaling karena cinta butanya pada pria berengsek itu hanya sekadar mendengarkan dirinya mengatakan cinta. Nyatanya Geo belum sepenuhnya yakin dengan perasaannya sendiri terhadap Rena. Ia hanya yakin perasaannya lebih dari sekadar persahabatan.
Memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya membuat perut Geo mulas. Malam ini ia harus ke kelab malam milik temannya menaikkan mood yang hancur dengan sedikit meminum Macallan dan bersenang-senang.
"Permisi, apa aku boleh duduk di sini?"
Geo dikagetkan kedatangan seorang wanita berwajah Asia menyapanya. Ia hanya meliriknya sejenak lalu mencoba kembali sibuk dengan pikirannya sendiri. Geo hampir mengatakan "apa lagi sekarang?" tadi, jika tidak melihat wajah menyedihkan itu.
"Kalau kau tidak membolehkan, aku tidak akan berdiri lagi karena sudah duduk." Wanita itu bicara sendiri karena Geo mengacuhkannya.
"Boleh aku minta air minum? Aku haus. Aku tak punya uang euro ingin membeli sesuatu untuk diminum," pinta wanita aneh itu.
Karena tidak memiliki tenaga untuk beragumen, dengan sedikit melempar Geo menyerahkan sekaleng minuman soda cadangannya untuk selama bersantai di sini.
"Ini bukan minuman beralkohol kan?"
Pertanyaan wanita itu membuat Geo menoleh dengan kesal tanpa mengatakan apa pun. Apa dia tidak bisa membaca tulisan "soda" dikemasan kaleng itu?
Seolah mengerti tatapan Geo, wanita itu menunduk membaca kemasan kaleng yang sudah ada di tangannya. "Oh ini soda. T-terima kasih."
Sebenarnya Geo tidak ada niatan untuk memerhatikan gerak-geriknya, tapi matanya tidak bisa berpaling dan mulai penasaran dari mana asalnya.
Apa dia ingin menggoda Geo? Namun sejauh ini belum ada tanda-tanda ingin menggodanya. Bahkan dilihat dari penampilan yang kuno dan kulit pucat itu tidak menarik sama sekali.
Beberapa saat kemudian, Geo meringis melihat soda kaleng tadi kosong dalam sekejap. Wanita itu langsung membuang kaleng kosong tersebut ke tong sampah di samping kursi taman. Apa dia telah lari atau semacamnya yang menguras tenaga? Sampai minum satu kaleng soda hanya dengan beberapa teguk.
"Kau mau mendengarkan ceritaku?" tanyanya membuat satu alis Geo terangkat. "Aku hanya butuh seseorang untuk mendengarkan kesialanku hari ini." lanjutnya.
Wanita aneh itu mulai bergurau dan membuat Geo jengkel. Apa ia tadi memberikan sekaleng bir, bukannya soda? Dan ngomong-ngomong tentang kesialan, sepertinya Geo tidak sendirian. Namun ia tidak akan mendengarkan kesialan orang lain, cukup kesialannya sendiri sudah membuatnya pusing dan tidak akan menambahnya dengan seputar milik orang lain.
Ia beranjak dari duduk bersiap untuk pergi, tapi tangan Geo ditahan agar tetap di tempat. "Apa kau gila menyentuhku sembarangan?" Geo berbalik ingin menepis tangan wanita itu, namun tertunda karena melihat wanita itu menangis menatapnya penuh dengan air mata.
"Aku mohon, dengarkan saja. Setelahnya kau boleh pergi. Hanya 10 menit," lirihnya.
Wajah Geo yang datar kini mengerjap mengubah ekspresinya, karena mengingatkannya dengan Rena yang menangis ia tinggalkan sendirian. Ia menghela napas lelah, "3 menit."
"7 menit."
"5 menit, atau tidak sama sekali."
"Baiklah," wanita itu menghela napas sambil mengusap pipinya yang basah.