"Roussel, kau baik-baik saja?" Ariana mengetok pintu kamar mandi karena Geo belum keluar hampir satu jam lalu. "Kau jangan membuatku takut, Roussel!!" Suara Ariana meninggi sambil menempelkan telinganya pada daun pintu.
Tidak ada jawaban sama sekali.
Berselang beberapa detik, pintunya tiba-tiba terbuka dan membuat Ariana terhuyung ke depan.
Menampilkan Geo yang mengenakan baju handuk membuat bahunya terlihat semakin lebar dan rambut blondenya yang basah memberi kesan menggiurkan bagi para wanita.
Mata gelap Geo menatap Ariana dengan wajah datar, lalu menghela nafas sambil menutup mata. Merutuki kebodohannya yang hampir meniduri wanita aneh itu di sofa. Untuk kesekian kalinya Geo hampir lepas kendali jika bersentuhan dengan bibir manis itu. Ia berjalan melewati Ariana yang memerhatikannya keluar dari kamar mandi.
"Kau tidak apa-apa? Aku hampir saja mendobraknya jika kau belum keluar lima menit lagi, walau aku tahu tidak sekuat itu, tapi yang penting aku berusaha. Aku kira kau pingsan di dalam tadi. Apa pria Eropa memang mandi selama itu? Aku wanita saja paling lama hanya lima belas menit." Ariana membuntuti Geo yang berjalan menuju walk in closet.
Karena risih menahan diri untuk tidak kembali mencium Ariana sekarang, tiba-tiba Geo berbalik sampai wanita itu terpenjat kaget hampir menubruk tubuh kekarnya. "Apa sekarang kau ingin mengikuti dan melihatku ganti baju di dalam? Kalau ya, masuklah dan kau akan bertemu dengan adikku."
"Kau punya adik? Dia tinggal di sini?" Ariana melebarkan matanya terkejut. Ia memanjangkan leher menengok ke dalam walk in closet. Tidak ada siapapun, hanya penuh dengan pakaian. Jika benar, Ariana takut adik Geo melihat mereka berciuman di ruang tengah tadi dan itu sangat memalukan.
Tangan Geo terangkat memegang keningnya, sepertinya percuma bicara dengan Ariana yang polos atau lebih tepatnya beda tipis dengan kata bodoh. Ia beranjak masuk dan langsung menutup pintu tepat di depan wajah Ariana.
"Astaga, pelan-pelan!" teriaknya. "Apa dia marah karena aku melarangnya meremas bokongku tadi? Tapi masa seperti itu saja marah?" Ariana berjalan menuju sofa kamar sambil menggerutu.
Ketika sudah duduk, Ariana memerhatikan sekeliling yang Geo bilang ini kamar utama.
Sejak pertama kali memasuki vila ini, Ariana berusaha untuk tidak melongo melihat kemewahan disetiap sudut ruangan yang ada. Vila yang berlokasi di pinggir pantai menghadap laut biru melambangkan mewah yang tenang dan berkelas. Ia tidak menyangka ada vila sebagus ini, dan pantai itu serasa milik pribadi. Tempat yang sangat tepat untuk berbulan madu atau berlibur bersama keluarga, karena kamarnya tidak hanya satu.
Sambil menepuk bantal sofa, Ariana memperkirakan kamar ini mungkin tiga kali lebih luas dari kamarnya di tanah air. Ia bertanya-tanya tempat ini disewa atau milik Geo pribadi. Kalau perkiraannya yang kedua benar, berarti pria itu benar-benar kaya raya.
Mata Ariana tertuju pada balkon yang terlihat banyak tanaman. Ia berdiri lalu berjalan menuju sana untuk melihat tanaman apa saja. Ariana suka merawat tanaman, di depan rumahnya penuh dengan tanaman yang membuatnya terlihat berbeda dari rumah tetangganya. Sebagai pengganti meadopsi seekor kucing, karena Lucas tidak menyukai bulu-bulunya yang berterbangan disepenjuru rumah.
Mata Ariana berbinar melihat bunga-bunga berwarna-warni di bawah sinar bulan beradu dengan lampu balkon untuk meneranginya.
"Apa yang kau lakukan?" Geo menghampiri Ariana setelah berpakaian lengkap.
"Aku suka dengan tanamannya. Mereka terlihat sangat cantik. Boleh aku meminjam ponselmu?"
Geo menggelengkan kepalanya heran. "Apa perlu semuanya difoto?"
"Tentu! Aku sudah menganggap ini liburan dan ini Paris pertamaku, walau negara impianku berlibur di Portugal." Ariana mengambil ponsel Geo yang berada di nakas pinggir kasur, lalu kembali ke balkon.
"Aku tidak bertanya."
"Aku hanya memberi tahu!"
Geo memerhatikan Ariana melalui bulu matanya yang masih setengah basah. Wanita itu sibuk dengan dunianya sendiri, memotret sana sini bahkan pemandangan pantai di malam hari juga difoto. Waktu yang mereka lalui sudah sembilan jam bersama, yang artinya tinggal lima belas jam lagi, dan Geo sudah lumayan mengenal Ariana tipe wanita seperti apa.
"Karessa," panggilnya, "apa kau pernah menjalin hubungan dengan seorang pria bukan? Maksudku, memiliki seorang kekasih," tanya Geo yang berdiri dengan kaki terpentang sehingga pundak kokohnya menghalangi satu dari dua pintu penghubung ke balkon.
"Bukannya aku sudah mengatakannya? Kau tuli atau pikun?" Ariana menoleh pada Geo yang hanya diam menatapnya. Tidak ada respon, Geo tidak berniat bercanda. Ia berdeham sejenak menetralkan wajah, "Memangnya kenapa kau menanyakannya?"
"Bagaimana rasanya?"
Ariana mengerutkan alis dengan pertanyaan Geo. "Rasanya, ya seperti kita lakukan sekarang. Bukannya kita sedang berkencan selama satu hari? Aku pikir sama saja rasanya. Tunggu... kau belum pernah berpacaran sebelumnya?" Ariana menatap penuh selidik pada Geo.
"Jangan menatapku seperti itu, atau kau ingin kehabisan nafas lagi seperti di sofa tadi?" Nada santai Geo yang mengandung ancaman membuat Ariana cepat-cepat mengalihkan tatapannya.
Ariana mengerjap, "Aku pikir saat kau mengatakan di lift itu hanya belum pernah merasakan kencan jangka panjang yang serius. Jadi kau belum pernah memiliki kekasih sungguhan, sekalipun?"
Geo beranjak untuk duduk di sisi kursi panjang yang ada di balkon, matanya menelusuri pemandangan pantai di malam dari sini. "Tidak. Ini yang pertama untukku dan aku tidak berniat melakukannya setelah ini. Tidak dengan siapapun. Jiwa bebasku tidak cocok dengan kewajiban yang satu ini. Memiliki kekasih sungguhan seperti beban tentang kepedulian kita pada seseorang. Jika tidak, aku akan menghancurkan ekspetasinya tentang 'akan bahagia bersama selamanya'. Jadi aku tidak akan peduli untuk melaksanakan kewajiban semacam itu.
"Aku bertanya padamu karena penasaran dari sudut pandang wanita tentang hubungan seperti itu. Karena dari sudut pandangku, tidak menyenangkan sama sekali jika sudah lama terjalin." Seperti Rena dan Justin, sambungnya dalam hati.
Tangan Ariana yang memainkan layar ponsel Geo kini terhenti, mengingat pengalamannya sendiri. "Sebenarnya... aku juga belum pernah mencintai seorang pria segenap hatiku, sampai merasa tidak waras seperti yang aku baca di novel-novel romantis."
Ia bersandar pada pagar balkon menghadap Geo. "Pengalamanku berkencan hanya dua kali dan itu pun hanya beberapa minggu. Awal mulanya mereka mengatakan menyukaiku, lalu kami berkencan karena aku wanita yang gampang menyukai seseorang dan senang ada yang ingin menerimaku sebagai kekasih. Tapi, setelah mengetahui aku bukan wanita malu-malu melainkan memalukan karena ceroboh, mereka menjauh tanpa sebab dan hanya mengatakan alasan klise untuk mengakhiri hubungan kami."
"Dua pria mantan kekasihmu itu termasuk Tian? Apa kau tidak mengambil pelajaran dari sana bahwa hubungan asmara tidak cocok untukmu?"
"Sepertinya Tian tidak termasuk hitungan, kami hanya hampir jadi sepasang kekasih karena kami dekat satu bulan lebih sebelum ke sini. Dan anggapan itu sepertinya hanya dari pihak aku," cicit Ariana karena malu sekaligus menyedihkan, lalu menghela nafas lelah sebelum melanjutkan perkataannya. "Apa maksudmu jera? Tentu saja tidak, aku percaya pada cinta sejati. Seperti yang aku katakan padamu sebelumnya, aku ingin menjadi orang favorit seseorang yang menerimaku apa adanya. Aku hanya belum menemukan seseorang yang tepat."
"Aku tidak heran melihat perilakumu yang aneh itu membuat pria mana pun akan menjauh. Terlebih terlalu romantis sampai pria yang menyukaimu berlari mendengar kau mengatakannya."
"Tapi kau tidak, buktinya kau tetap duduk di kursimu."
"Itu karena kita berkencan hanya satu hari dan aku bersyukur mengetahuinya. Ke depannya aku bisa berhati-hati dengan wanita sepertimu."
Mata Ariana menyipit menatap Geo. "Perkataanmu jahat dan itu membuktikan kita sangat bertolak belakang mengenai asmara. Kata adikku, aku perlu berubah agar pria-pria mau mendekatiku, walau kecerobohanku susah dihilangkan."
Geo menatap Ariana dari kepala hingga ujung kaki, menilai. Sangat berbeda jika mengingat pakaian kuno wanita itu saat pertama kali mereka bertemu. "Sepertinya aku tahu yang dimaksud adikmu. Hal pertama yang membuat pria tertarik itu adalah penampilan. Jadi kurasa kau harus merubahnya, agar menarik perhatian."
"Saat ini sepertinya tidak perlu, karena aku masih kekasihmu lima belas jam ke depan. Untuk apa aku menarik perhatian pria lain? Aku masih nyaman dengan diriku sendiri, kalau pria memandangku hanya dari segi penampilan berarti dia tidak akan menyukaiku apa adanya."
"Tapi setelah ini kau harus, karena kau percaya akan memiliki kekasih 'bahagia selamanya' dengan pria yang kau pikir tepat." Sudut bibir Geo tertarik membentuk senyum tipis. "Kemari," Geo menepuk sisi kursinya yang kosong dan wanita itu menurut. Bukannya membiarkan Ariana melewatinya, Geo malah menarik tangan Ariana dan mendudukkannya di pangkuan.
"Astaga, kenapa kau senang sekali membuatku terkejut?"
Geo mengernyit, "Bisa kecilkan suaramu? Sudah berapa kali telingaku mendengung karena lengkinganmu!" Geo mengimpit bibir Ariana menggunakan jemarinya.
Dengan cepat Ariana menepis tangan Geo dari bibirnya. "Oh ya! Aku tahu kenapa kau tidak mempunyai kekasih juga. Itu karena kau sadar dirimu sangat menyebalkan, iya kan?"
"Tidak, aku hanya sadar dengan ketampananku. Kata siapa aku tidak mempunyai kekasih? Aku memilikimu, Sayang."
Seketika Ariana tersipu seperti kepiting rebus. Melihat itu, Geo tertawa. "Pipimu memerah, hahaha.."
"Berhenti tertawa!" Ariana merengut sambil memegang kedua pipinya yang memanas, padahal ia sendiri yang menggoda Geo lebih dulu.
Geo menarik tubuh Ariana ke pelukannya. "Seperti perkataanmu, kita masih sepasang kekasih lima belas jam ke depan."
Awalnya Ariana ingin memberontak, tapi nyatanya ia tidak bergerak sama sekali. Ariana pasrah dan mulai menerima pelukannya dengan membenarkan posisi agar lebih nyaman. "Boleh aku bertanya?" tanyanya sembari menaruh kepala di bahu lebar Geo.
"Apa itu?"
"Apa yang kau lakukan di kamar mandi tadi?"
"Berendam air dingin." Lebih tepatnya meredam gairah Geo yang muncul.
"Kau kepanansan ya? Apa semua pria memang seperti itu?"
"Ya," jawab Geo singkat tanpa repot-repot menjelaskan kebenarannya.
"Wanitamu—hmm, maksudku wanita di kelab tadi, apa dia mantan kekasihmu?" tanya Ariana pelan, takut Geo tersinggung dengan ucapannya.
Mulut Geo tergerak untuk menjawab, tapi Ariana cepat-cepat menyambung perkataanya sebelum Geo bicara. "Tidak perlu dijawab! Aku ganti saja pertanyaannya." Ia berpikir sejenak, "Oh, aku ingat! Vila ini kau menyewanya atau milikmu? Atau..."
"Vila dan pantainya milik Mama, pemberian Papa saat anniversary pernikahan mereka yang ke-20," potong Geo.
Ariana menegakkan tubuhnya karena terkejut. "Beserta pantai itu milik ibumu?!" Ia berusaha untuk tidak menjatuhkan rahangnya ke lantai.
"Kekasihmu ini lebih kaya dari yang kau bayangkan," ucap Geo tersirat menyombongkan diri.
"Ternyata ayahmu benar-benar kaya!"
"Hey! Kekayaan Papa juga akan menjadi milikku."
"Akan-men-jadi, itu artinya nanti, bukan sekarang. Aku jadi penasaran seperti apa ayahmu, dia pasti lebih tampan darimu. Aku yakin ibumu merasa jadi wanita paling beruntung di dunia ini memiliki suami seperti ayahmu. Ya ampun, sangat romantis dan pastinya sangat kaya!"
"Kenapa jadi membicarakan Papa? Asal kau tahu, aku lebih tampan dan badanku lebih tinggi beberapa senti dari Papa. Oh, atau kau menjadi kekasihku hanya untuk mendekati Papa? Kalau begitu aku akan laporkan ini pada Mama, dan kau akan dikuliti olehnya sekarang juga." Tangan Geo merebut ponselnya yang dipegang oleh Ariana.
Tangan Ariana terbentang ke atas menjauhkan jangkauan tangan pria itu, "Aku hanya mengatakannya! Kenapa kau marah? Bertemu atau tahu tentang ayahmu saja tidak!" jedanya, "kalau kau cemburu bilang saja!"
"Aku cemburu?" Geo terkekeh, "tidak ada kata cemburu dalam kamusku, Karessa. Aku hanya tidak terima kau menyimpulkan Papa lebih tampan daripada aku."
"Itu sama saja namanya cemburu pada ayahmu sendiri, Roussel."
"Kalau kau bertemu dengan Papa, kau pasti menyesal dan mengatakan memang aku yang lebih tampan."
Mata Ariana berputar jengah, "Kau benar-benar tidak mau mengalah, seperti anak tunggal saja!"
Mereka melanjutkan perdebatan hal random yang sebenarnya tidak penting sama sekali. Hingga akhirnya mereka bosan dan Ariana mengajak Geo bermain. Sepakat untuk begadang menikmati sisa kencan mereka.
"Jika tertidur, berarti itu yang kalah. Hukumannya harus menuruti kemauan si pemenang, setuju?" tantang Ariana percaya diri, karena ia sering terjaga sampai larut malam karena membaca novel saat weekend.
"Setuju! Yang pasti aku pemenangnya, kau harus siap-siap menerima hukuman dariku, Baby." Geo tersenyum miring menanggapi wajah Ariana yang penuh percaya diri.