Jika beberapa saat yang lalu Ariana ingin protes kencan mereka batal dan ingin mendebatnya, kini Ariana tidak berani menanyakan apa pun termasuk tentang wanita tadi. Geo kini bersandar di jok kemudi dengan mata tertutup.
Beberapa menit hening, sejak tadi Ariana hanya memainkan kukunya sambil melirik Geo sesekali. Ia berharap ada seseorang bisa mengeluarkannya dari situasi ini.
Diamnya Geo lebih menyeramkan daripada Geo yang banyak bicara.
Ariana berdeham memecah keheningan. "Kalau kau merasa kantuk atau lelah, biar aku saja yang mengemudi." Jantung Ariana berdetak was-was saat Geo membuka mata meliriknya menggunakan ujung mata. "Kau tidak percaya aku bisa mengemudi? Aku sudah punya SIM sejak tahun lalu," jelas Ariana meyakinkan karena wajah Geo seperti tidak percaya dengan perkataannya.
"Kalau begitu, kau yang mengemudi," putus Geo.
30 menit kemudian..
"Kenapa aku mempercayaimu sudah memiliki SIM? Oh astaga, seharusnya aku bertanya itu SIM lokal atau internasional!" Geo keluar dengan membanting pintu mobil dan meninggalkan Ariana sendirian menuju vila.
Geo memang ragu dan mencoba percaya dengan wajah meyakinkan Ariana. Selama wanita itu mengemudi bukannya Geo tenang, malah membuatnya tegang dan panik setelah menabrak mobil yang terparkir. Berhasil memecah kaca lampu depan mobil Alisa di bagian kiri.
Mood Geo sudah berantakkan sejak pertemuannya dengan Rena-Justin, tidak menyangka akan bertemu mereka di sana dan menghancurkan kencan satu harinya. Ditambah kecerobohan Ariana membuat emosinya meningkat. Jika Geo memiliki riwayat penyakit jantung, mungkin ia sudah pingsan 15 menit yang lalu atau mati di tempat akibat kebar-baran mengemudi Ariana.
Ketika sampai ruang tengah, Geo melepas baju luarnya lalu melepar ke sembarang tempat. Ia merebahkan tubuhnya di sofa menyelonjorkan kaki sambil menutup mata.
Perkataan Rena di lift masih terbayang di benaknya. Bukan tentang membahas pernyataan cintanya, tapi mengatakan sesuatu mengenai Ariana. Menilai semua wanita yang ada di dekatnya hanya berujung di ranjang yang sama dengannya untuk satu malam. Geo tidak akan menyangkalnya, tapi ia tahu Ariana berbeda. Ketidaktahuan Rena mengenai Ariana yang polos gampang dibodohi, entah mengapa itu menganggunya. Mulutnya ingin menjelaskan namun terasa konyol karena baru mengenal Ariana setengah hari.
Mendengar langkah kaki mendekat, Geo membuka mata melihat Ariana berjalan masuk dan perlahan duduk di sofa seberangnya. Ia menangkap wajah rasa bersalah dari Ariana. Sekali lagi Geo memandangi tubuh dan pakaian wanita itu, mencari sesuatu yang membuat Rena berpikir demikian.
Oh, Geo benci mengakui dan baru menyadari kalau ia lah yang memberikan pakaian serta sepatu yang dipakai Ariana sekarang. Jika wanita itu membiarkan pusarnya terlihat seperti seharusnya, mungkin hampir mirip dengan bikini dan Geo bisa membayangkannya. Sialan.
Dan lebih sialan lagi, Geo merasa dirinyalah yang seharusnya merasa bersalah sudah menempatkan Ariana disituasi ini. Mungkin beda cerita kalau Ariana mengerti bahasa Prancis dan mendengar perkataan Rena. Cukup penghinaan dari Tian yang Ariana dengar hari ini.
"Aku lihat lampunya tidak terlalu parah. Hanya retak, tidak benar-benar pecah. A-atau aku akan menggantinya, tapi tidak sekarang," ucap Ariana sembaring mencari alasan agar tidak terlalu dipojokkan mengenai kecelakaan yang ia perbuat.
"Jangan mengajakku bicara, Karessa. Aku sedang memikirkan bagaimana mengembalikan mobil mama dengan selamat besok," ucap Geo datar sambil menutup kembali matanya.
Sedangkan Ariana terbelalak, ia baru ingat mobil mahal itu adalah milik Alisa. Jantungnya mulai berdetak panik. Ariana bodoh! Seharusnya tadi aku diam saja! ucapnya dalam hati.
Inilah alasan kenapa orang-orang tidak betah berteman atau mendekatinya. Orang yang bersamanya pasti ikut terkena imbas kesialannya. Mungkin Ariana memang ditakdirkan hidup seperti ini. Selalu berhujung menghancurkan sesuatu, barang mau pun mood seseorang. Dan sekarang Ariana melakukan keduanya.
"Maafkan aku," lirih Ariana. "Semua memang salahku, hidupku memang seceroboh ini. Karena bersamaku, kau jadi terimbas. Aku akan bertanggung jawab. Biar aku yang bicara pada ibumu nanti agar kau tidak dimarahi. Aku juga berjanji akan menggantinya, tapi tidak sekarang. Setelah aku kembali ke negaraku," ucapnya menunduk.
Kruukk
Ariana merutuki perutnya yang berbunyi tidak tepat waktu, berharap hanya dirinya yang mendengar. Ia mendongak perlahan melirik Geo bertepatan dengan kelopak mata itu terbuka dan tatapan mereka bertemu. Tentu saja Geo mendengarnya! Sekarang Ariana mendengar helaan nafas dari Geo.
"Aku juga lapar, kau bisa memasak? Bibi penjaga vila sudah pergi sejak sore tadi," tanya Geo datar mengacuhkan perkataannya tadi.
Mata Ariana mengerjap sejenak, lalu mengangguk dengan percaya diri. "Aku suka memasak. Kata ayah dan adikku, masakanku sangat enak. Kau mau mencobanya?" tawar Ariana semangat.
"Apa kali ini aku bisa percaya padamy setelah merusak mobil mama?" sindir Geo.
"Kali ini aku bersungguh-sungguh, kau tenang saja. Dapur adalah keahlianku, pastinya tidak akan merusak atau membakar dapurnya." Ariana menampilkan senyum lebar dan melepas stiletto sebelum menuju dapur, membiarkan kaki telanjangnya menyentuh lantai.
Dibandingkan dengan dapurnya di rumah, dapur di vila ini sangat cantik dan lengkap. Membuat ia bersemangat memasak. Ariana mulai membuka kulkas, dan ekspetasi mengenai kulkas besar penuh dengan bahan makanan di vila sebesar ini langsung sirna. Yang Ariana temukan hanya ada wartel dan daging sapi. Ariana berpikir keras agar bisa memasak sesuatu dengan bahan seadanya.
Ia beralih ke pantry, membukanya mencari sesuatu yang mungkin ada bahan lain bisa disatukan menjadi makanan. Dan Ariana menemukan potongan roti, beberapa saos masakan dan bumbu racik lainnya. Sepertinya sudah cukup dan berharap hasilnya memuaskan. Setidaknya ia bisa membuat sesuatu untuk mengembalikan mood Geo, menebus rasa bersalahnya.
Di sisi lain Geo melirik Ariana dari kejauhan. Memantau wanita itu agar tidak berbuat ceroboh lagi.
Kesialan. Jika memang Ariana ditakdirkan seperti itu, yang perlu disalahkan bukan Ariana, tapi takdir itu sendiri memilih wanit itu. Memangnya ada orang di dunia ini menginginkan selalu sial?
Jika diingat kembali tentang dirinya sendiri, Geo memang jarang menghadapi masalah, kecuali mendengarkan curahan hati Rena tentang Justin membuatnya naik darah. Hidup Geo memang selalu terpenuhi dengan apa ia inginkan. Atau lebih tepatnya Geo menghindar untuk mendapatkan masalah.
Salah satunya adalah cinta. Ia bisa membayangkan kalau cinta bisa merepotkan hidupnya yang bebas.
Setelah memerhatikan Ariana dari jauh, Geo berniat menghampirinya. Wanita itu sedang berkutat dengan peralatan dapur.
Sepertinya Geo setuju tentang wanita terlihat seksi saat memasak. Raut wajahnya yang serius memotong wartel lalu membuat beberapa bahan rempah dan beberapa saos di atas wajan yang panas.
Ketika ia tepat di belakang Ariana, tangan Geo terulur mengambil seluruh rambut panjang itu lalu menggulungnya tanpa ikat rambut.
Ariana menoleh ketika Geo sudah selesai dengan rambutnya, "Kau apakan rambutku?"
"Hanya mengikatnya, aku tidak ingin menemukan helaian rambut di makananku."
Tangan Ariana yang bebas terangkat memegang gulungan rambutnya, "Thank you, aku ingin mengikatnya, tapi tidak menemukan tali atau apa pun. Ternyata kau pintar juga mengikat rambut, aku yakin kau sering melakukan ini pada para wanita di luar sana."
"Apa di matamu aku selalu bersama banyak wanita semasa hidupku?" Kenapa suaranya terdengar tidak terima?
"Aku hanya mengatakannya, kenapa sekarang kau yang sensitif?" ucap Ariana pelan.
Geo menghelakan nafas lagi, sepertinya ini efek perkataan Rena. Moodnya belum benar-benar normal. "Dulu aku sering mengikat rambut mama dan saat remaja rambutku mulayan panjang. Aku tidak pernah mengikat rambut wanita manapun," termasuk Rena, karena dia tidak pernah memanjangkan rambut, sambungnya dalam hati. "Apa masih lama? Aku sudah sangat lapar."
Ariana menyicipi masakannya menggunakan sendok kecil. "Mm, sudah selesai!" ucapnya.
"Hanya ini?"
"Hanya ada dua bahan yang aku temukan di kulkas. Kalau kau tidak mau, ya sudah buat aku sa--" Geo mengecup bibir Ariana agar berhenti mengoceh dan wanita itu hanya mengerjap menerima kecupan singkat secara tiba-tiba.
Geo mengambil piring berisi masakan itu lalu membawanya ke ruang tengah, tak lupa Geo menarik tangan Ariana untuk mengikutinya.
"Kenapa tidak makan di meja makan?"
"Aku terbiasa makan sambil menonton."
Mereka duduk berdampingan setelah menyalakan televisi. Ariana melirik Geo di sampingnya. Ia masih merasa bersalah, terlebih mobil mahal yang ia rusak! "Maafkan aku... kau tidak akan membuang tiket itu 'kan?"
Geo menyipitkan mata saat menoleh padanya, lalu terkekeh pelan membuat alis Ariana terangkat. Ia mengikuti gerak-gerik Geo, lalu mengarahkan sebuah roti berisi potongan daging tadi pada mulut Ariana. Ia refleks membuka mulut, menggigit dengan potongan besar.
"Enak?" tanya Geo. Ariana mengangguk sambil mengunyah dengan mulut penuh.
"Aku kira kau akan memuntahkannya," ucap Geo mulai menggigit bekas Ariana.
Ariana mengernyit tidak suka, secara tak langsung pria itu menguji masakannya sendiri melalui dirinya. Jiwa menyebalkan Geo kembali.
Apa itu artinya ia berhasil? Sepertinya masakan memang cara ampuh mengembalikan mood seseorang.
"Sekarang kau memelukku."
Pernyataan tersirat bingung dari suara Ariana yang teredam, karena tengkurap di atas tubuh berotot Geo sambil memeluknya. Ia merasa seperti guling hidup.
"Lalu?"
Tangan Ariana memainkan kerah baju yang dikenakan Geo sambil merebahkan kepalanya di d**a bidang itu. Mereka masih di ruang tengah menatap televisi, tapi tidak menontonnya. Kekenyangan setelah menghabiskan makan malam mereka, dan sekarang berbaring tumpang tindih di sofa.
"Kau itu aneh."
"Aneh kenapa?" tanya Geo tenang.
"Terkadang kau menyebalkan dan sekarang bersikap manis seperti ini padaku, tapi kau juga bisa semenakutkan tadi. Apa kau punya kepribadian ganda?"
Geo terkekeh, "Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu. Kau wanita tak terduga, penuh kejutan dan sekarang aku tak heran lagi. Memangnya kau pernah bertemu orang yang mempunyai kepribadian ganda sebelumnya?"
Ariana tersentak, ia mengangkat wajah menatap Geo terkejut. "Kau benar-benar mempunyai kepribadian ganda? Kalau benar, berarti ini pengalaman pertamaku menemui pria sepertimu. Aku pernah membaca novel menceritakan seorang pria berkepribadian ganda. Aku sudah menduganya bukan hanya fiksi, ternyata itu benar adanya!" antusiasnya.
Pletak!
Jari Geo menyentil kening wanita itu karena terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. "Ternyata otakmu hanya digunakan untuk berhayal. Tidak heran kalau kau menganggap seperti itu nyata. Hasil penelitian hanya 0,0001% dari penduduk dunia pengidap kepribadian ganda."
"Ya, mungkin saja dari 0,0001% itu termasuk dirimu!" Nada merajuk Ariana sambil mengusap keningnya yang sakit. "Jadi kau tidak percaya dengan hal-hal seperti itu?" Ia kembali merebahkan kepalanya.
"Aku hanya akan percaya jika menurutku logis."
"Walau kau menyebalkan, tapi menurutku kau terlalu normal."
"Jadi menurutmu aku harus tidak normal begitu? Aku tidak mengatakan tidak percaya, aku hanya belum menemui hal itu secara langsung."
"Bukan itu yang kumaksud, tapi cara pandangmu. Melencenglah sedikit agar lebih seru. Aku bertaruh kau tidak menyukai film Harry Potter. Kata ayahku, berpikir terlalu logis seperti mencari jalan aman. Kau bisa memilih logis sebagai jalan yang tidak harus selalu kau lalui. Kau bisa mencari jalan lain yang lebih menyenangkan dengan tujuan sama." Telunjuk Ariana bergerak seolah menggambar jalan yang bercabang di bahu lebar Geo.
"Menyenangkan yang kau maksud percaya pada cerita yang dibuat atau dongeng? Karessa sayang, aku pria berumur 29 tahun menuju 30 dan sudah melihat banyak hal dalam hidupku. Aku bukan anak laki-laki yang percaya bahwa alien itu ada. Kecuali memang ada bukti jelas keberadaannya. Aku akan selalu berpikir logis, karena memang sudah seharusnya manusia seperti itu. Dan ngomong-ngomong film, aku lebih suka genre action."
"Aku yakin hidupmu hampa tanpa sensasi kesenangan dari luar jalur seharusnya."
"Kesenangan bisa didapatkan dengan cara apa pun tanpa harus mengambil risiko. Atau kau ingin aku memberi tahu sensasi yang lebih menyenangkan dan liar versiku?"
"Tidak! Terima kasih banyak, Tuan Roussel."
Geo tertawa. "Selain membaca, apa lagi hobimu?" Ia memainkan ujung rambut Ariana di punggung wanita itu.
Ariana terdiam sejenak mengingat apa saja yang ia senangi. "Sepertinya aku sudah mengatakan suka mengunjungi pantai, tapi hanya berjalan di pesisirnya. Itu pun dulu, saat aku masih jadi mahasiswi. Setelah bekerja, aku tidak punya waktu karena lelah bekerja seharian. Weekend jadi waktu istirahat untuk tidur seharian, malas pergi ke mana-mana. Walau bekerja menguras otak dan fisikku, tapi aku menikmatinya. Terlebih saat Tian mulai mendekatiku dengan perhatian-perhatian yang dia beri. Aku benar-benar masih tidak menyangka ternyata dia penipuku."
Geo mengeratkan pelukannya seolah mengerti perasaan wanita itu. "Itu akibat kau terlalu romantis. Kau harus jual mahal lebih dulu. Jangan cepat mengambil umpan sampai tidak bisa membedakan itu umpan asli atau palsu yang berhujung menyakiti diri sendiri. Atau tidak, kau harus membenteng diri agar tidak mudah menyukai seseorang hanya karena dia bersikap manis dikesan pertama."
Ariana mengerjap, "Ya, aku tipe wanita romantis. Berharap menjadi orang favorit seseorang. Kau benar, sepertinya aku perlu membangun benteng diriku sendiri. Perisai yang bisa melindungiku dari pria-pria seperti Tian. Bahkan denganmu saja aku langsung percaya. Apa menurutmu aku terlalu murah?"
"Kau terpaksa percaya karena tiket pulang, ingat? Aku hampir saja pergi jika kau tidak cepat mengatakan setuju."
"Tapi nyatanya kau tidak pergi." Ariana mengecup pipi Geo sambil tersenyum lebar. "Kalau kau? Apa hobimu?" tanya Ariana kembali merebahkan kepalanya di d**a Geo. Ia merasa nyaman dengan posisi mereka seperti ini.
"Aku tidak punya hobi tetap, karena aku melakukan apa pun yang aku mau. Akhir-akhir ini karena aku sering membolos bekerja, mama sering memintaku menemaninya ke mana pun, menganggapku seperti asisten pribadinya, agar aku tidak menemui Rena. Tapi itu bukan sesuatu yang bisa disebut hobi bukan?"
"Lena?" ulang Ariana terheran.
Mulut Geo terbuka ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi, tanpa sadar ia menyebut nama Rena. Mengingat Rena membuat Geo mulas. Ia mengubah posisi dengan menghadap punggung sofa dan membuat Ariana terkurung alih-alih memikirkan sesuatu untuk mengalihkan pembicaraan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Ariana lagi ketika Geo memeluknya dengan wajah mereka sejajar berbantalkan lengan besar Geo.
Mereka saling menatap dengan jarak minim hingga bisa merasakan hebusan nafas masing-masing menerpa wajah. Geo belum melakukan apa pun, hanya menatapnya seolah Ariana satu-satunya pusat perhatian pria itu. Ariana merasakan aliran darah menjalar kewajahnya. Ia yakin pipinya sekarang bersemu merah.
Karena gemas pipi Ariana yang merona, Geo memajukan wajah sedikit dan bibirnya langsung bersentuhan dengan bibir manis itu. Ia menggerakkan bibirnya pelan dan lembut membuat Ariana terbuai mengikuti permainan Geo.
Sekarang merekalah jadi tontonan televisi yang menyala. Dan tanpa disadari, mereka lupa sudah melanggar poin untuk tidak membahas privasi masing-masing, walau hanya sekadar menanyakan hobi.