Bertemu Kembali

1303 Words
"Senjaku memudar tetapi sinarnya yang tipis berada disana. Dibalik jendela, meraba tepian canting, melukis kenangan yang terbakar dulu. Merindukanmu adalah nyeri, jelmaan cinta yang dulu ku biarkan pergi. Kenangan tidak akan pernah lupa, ia abadi berbungkus rindu. Hal sekecil pun tentang kamu maka ia adalah penyulut untuk mengingatmu. Percayalah, kenangan ini menyakitkan tetapi masih saja ku mainkan."  __________Dee, Stuck With You Happy Reading  Aurora terfokus pada Shasa yang sedang berceloteh dengan mata berbinar-binar. Sesekali bibir perempuan kecil itu mengerucut karena kesal menghadirkan nuansa gelap yang pekat disana kemudian  bersinar lagi, dilakukan berulang-ulang sampai saraf pengendali bibirnya mulai letih dan memaksa Shasa untuk berhenti. Aurora terkekeh ketika menyaksikan setiap perubah ekspresi yang tergambar di wajah perempuan kecil itu. Shasa sangat menggemaskan, pipinya yang montok tampak memerah Diusapnya lembut kepala Shasa kemudian melempar tatapan lembut ke arahnya. "Kau sudah selesai?" Aurora bertanya sambil tersenyum lebar, membungkukkan punggungnya sedikit supaya wajahnya dekat dengan wajah Shasa.  "Apa ceritaku terlalu membosankan? Kakak terlihat tidak menikmatinya?" Shasa berucap dengan nada lemah, wajahnya menunduk hendak menahan tangis. Aurora langsung menggelengkan kepala, menolak tegas tuduhan yang dilontarkan kepadanya. "Tidak. Ceritamu sungguh menarik, hanya saja kita telah sampai di sekolah. Coba angkat wajahmu dan lihatlah." sambung Aurora mendegikkan dagunya bermaksud menunjukkan. Shasa mengangkat kepalanya perlahan kemudian memandang ke sekeliling. Matanya melebar seketika saat menyadari mereka telah berada di depan gerbang besar itu. Gerbang berwarna keemasan itu kini telah dipenuhi oleh para siswa, Shasa yang terlalu menikmati perjalanan sambil bercakap-cakap ria sama sekali tidak menduga bahwa mereka telah sampai. Pipi Shasa merona karena malu, dia tidak berani menatap ke arah Aurora. Kepalanya sekali lagi menunduk sementara jemarinya bertautan saling meremas.  Aurora menyipitkan mata, menatap Shasa dengan senyum menggoda. "Kau melukaiku putri kecil. Bagaimana ini, hatiku sepertinya berdarah" tambahnya memasang wajah pura-pura sedih. Mendengar itu, Shasa mendongakkan kepala dan matanya langsung bertemu dengan mata coklat Aurora.  Shasa mengamati ekspresi Aurora dengan seksama mencoba untuk mempelajarinya. "Kau menyebalkan." sahut Shasa mendengkus menunjukkan rasa kekesalan yang sangat. Aurora tertawa pelan, gadis dihadapannya ini selalu saja berhasil mengenali dirinya. Aurora menggerakkan tangannya mengusap kepala Shasa dengan sayang. "Masuklah. Kau akan terlambat jika masih berdiri disini." ucapnya lalu menegakkan punggung. Mata sebiru langit itu bersinar cerah kemudian, ada senyum manis disana ketika bibir mungil Shasa berkata. "Berhati-hatilah dalam bekerja. Aku tidak akan tidur sebelum mataku sendiri melihat kedatanganmu di panti."  Seketika perkataan itu menyurutkan senyum Aurora. Tampak kesedihan mendalam membingkai wajahnya. Yah, sebagai seorang yang telah dibesarkan di panti, Aurora harus turut bekerja untuk memenuhi kebutuhan penghuni pantai. Para donatur tampak enggan mulai mengulurkan tangan, menutup mata dan telinga dari isak tangis kelaparan. Auroralah bekerja keras tanpa mengenal waktu, ada banyak pundak-pundak kecil yang bersandar padanya. Hal itu pula yang membuat Aurora memilih tetap bertahan di panti meskipun dirinya memiliki kesempatan untuk hidup mandiri. Baginya panti itu seperti rumah yang menampungkan letihnya, disana dengan hidup berkecukupan atau bahkan kekurangan tetap saja rasa cinta yang besar selalu berlimpah. Aurora mengerjapkan mata dari lamunan yang menyesakkan, menudundukkan kepala sedikit untuk menatap Shasa. Gadis kecil  yang rapuh itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca membuat dirinya harus menghela napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Baiklah, malam ini aku berjanji  cepat pulang." sahutnya setelah menimbang-nimbang dengan hati-hati. Semangat Shasa kembali penuh, matanya yang biru berbinar terang. Dengan gerakan refleks dia melompat-lompat kegirangan lalu melemparkan tubuhnya ke pinggang Aurora dan memelukanya erat. Beruntung tubuh Aurora yang sempat terhuyung karena gerakan tiba-tiba itu langsung sigap menahan tubuhnya dengan kakinya supaya tidak kehilangan keseimbangan.  "Aku menyayangimu. Kau harus cepat pulang karena kau sudah berjanji untuk itu. Pokoknya aku tidak akan tidur sebelum kau pulang." sambung Shasa dengan kalimat beruntun yang mendesak. Aurora melingkupi punggung mungil itu dengan kedua tangannya, lalu menghadiahkan kecupan lembut di kepala Shasa. "Aku juga menyayangi mu gadis kecil, sangat menyayangimu." sambung Aurora kemudian. "Hentikan segera kekonyolan ini. Kalian berdua tampak menyedihkan." Suasana mengharukan itu langsung terurai ketika mendengar suara dingin tiba-tiba. Shasa menarik wajahnya dengan terpaksa hanya untuk melempar tatapan memperingati ke pemilik suara. "Kau perusak suasana. Enyalah kau, aku sangat membencimu." Shasa berucap dengan  nada tinggi, wajahnya memerah karena emosi. Ken membalas tatapan garang itu dengan santai, "Jika kau ingin Aurora cepat pulang. Cepat lepaskan pelukanmu dan biarkan dia pergi. Begitu saja tidak mengerti."  'Aku hanya memeluknya sebentar. Apa itu salah?" Shasa menjawab dengan menggertakkan gigi, menghentakkan kakinya untuk melampiaskan kekesalan. Aurora yang melihat percikan api diantara mereka semakin menyebar segera melangkah ke hadapan Shasa melingkupi tubuh mungil itu dengan tubuhnya, seolah membentengi. "Hentikan. Jangan memancing keributan Ken atau aku akan menarik telingamu." ucap Aurora menyipitkan mata karena geram. Ken mengangkat kedua bahunya tidak berminat untuk menyahuti perkataan Aurora. Kemudian dia membalikkan badan hendak melangkah melewati gerbang. "Cepatlah. Lonceng sebentar lagi berbunyi." ucapnya tanpa perlu menoleh kepada Shasa. Aurora yang sudah terbiasa dengan sikap dingin Ken hanya menggeleng-gelangkan kepala. Bahunya terjatuh karena tarikan napas yang panjang, sementara dirinya sedang menatap ke arah Ken, seketika itu juga Aurora mengalihkan pandangan ketika merasakan jemarinya digenggam. "Sampai nanti Aurora." Shasa berucap sambil menengadah, menampakkan wajahnya yang muram seperti ingin menangis.  Sekali lagi Aurora terkekeh, "Masuklah. Belajar yang baik gadis mungil." jawabnya dengan tersenyum lembut. Sasha mengangguk kemudian melangkah dengan malas. Aurora menatap punggung Shasa hingga gadis mungil itu menghilang dibalik kerumunan. Setelah memastikan dengan benar, Aurora membalikkan punggung hendak berjalan tetapi langkahnya seketika terhenti saat melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti di hadapannya seolah menghadang dirinya. Mata Aurora menyipit untuk memperjelas pandangan tetapi kaca itu gelap menyulitkan dirinya untuk melihat siapa gerangan yang berada didalam sana. Aurora melangkahkan kakinya lambat bermaksud mendekati ke arah mobil itu. Suara pintu mobil yang terbuka keras langsung membuat Aurora tersentak kaget hingga membuat kakinya refleks melangkah mundur. Dan seolah keterkejuannya tidak berhenti sampai disitu kini pinggangnya pun sudah didekap erat membuat Aurora beku sesaat. Aurora menundukkan kepala, matanya langsung terbelalak dipenuhi syok yang luar biasa ketika menyadari bahwa Cleolah yang memeluknya. "Ibu aku merindukanmu."  Aurora merasakan jantungnya seperti diremas, begitu menyesakkan d**a hendak pecah berkeping. Aurora bergeming tidak tahu harus berbuat apa sementara tubuhnya sangat sulit digerakkan seperti kayu yang hanya mampu berdiam. Aurora mengangkat wajahnya ketika indera pendengarannya menangkap ketukan langkah bergema. Di detik itu pula jantung Aurora berdebar kencang, mata Aurora semakin melebar dan tubuhnya gemetaran. Keheningan yang mengerikan memenuhi area sekolah itu seolah seluruh manusia yang berada disana menghilang, meninggalkan dirinya dengan lelaki bermata biru tajam itu. Aurora menelan ludah, memutuskan pandangan dengan segera karena tidak sanggup berlama-lama bertatapan dengan lelaki itu.  "Cleo... lepaskan." Aurora kembali mengangkat wajahnya ketika medengar suara dingin itu mulai bergaung memecah keheningan. Tatapan mereka bertemu, mata biru menatapnya dalam seperti ingin menembus jantungnya. Aurora terkesiap saat melihat langkah si pemilik bata biru mendekat ke aranya. Wajah Aurora berubah pucat sementara matanya memandang waspada.  "Ayah bilang lepaskan Cleo." Darren mengulang perintahnya lagi kali ini ada penekanan keras dalam kalimatnya. Tetapi matanya tetap memandang lurus kepada Aurora ketika berkata. "Kau tidak dengar? Aku bilang lepaskan."  Suasana itu semakin menegang, memberdirikan bulu kuduk dan membuat tubuh menggigil karena ketakutan. Aurora terpaku dalam diam berselimut rasa takut yang pekat, matanya melirik sekilas ke arah Cleo sebelum kemudian kembali menatap pada Darren. "K-kau menakutinya. D-dia masih kecil, tidak seharusnya kau bersikap keras padanya." Aurora memberanikan diri untuk berucap dari tenggorokannya yang tersangkut, memadang takut-takut ke arah Darren. Darren menipiskan bibir, memandang dingin kepada Aurora sebelum kemudian mengubah ekspresinya menjadi menggelap ketika berkata, "Tutup mulutmu. Sekali lagi kau berani menceramahiku, akan ku patahkan rahang mu itu." sambungnya lambat-lambat memberi penekanan tegas dalam setiap kata.   Hai hai.... Kami kembali, hihihi Teman- teman jangan lupa tap love yah, gak maksa sih. Kalau menarik di hati readers sekalian gpp dong love nya di tap.? Maaf kalau gak post tiap hari sebenarnya lagi nunggu ACC kontrak dulu. Doain yah cepat Clear, biar up terus deh.... Oh iah kalau ada saran dan masukan boleh banget loh, dipersembahkan untuk memberikan komentar yang positif di novel ini. Terimakasih semuanya, sampai jumpa di next chapter ✌️?    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD