Eps9: Kembali kecewa

1560 Words
Setelah selesai sarapan, aku membereskan apartemen Barack yang sedikit berantakan itu, menyapu dan mengepel lantai lalu mengambil pakaian kotor Barack, dan mencucinya. Setelah semua selesai, aku menghampiri Barack yang duduk di sofa ruang Tv. “Tidak kerja hari ini?” “Aku ambil cuti sakit, besok baru kembali bekerja,” jelasnya. “Ooo ya istirahatlah agar cepat pulih,” ucapku. “Temani aku sehari ini,” pintanya, dan aku malah menyanggupi permintaan Barack, melihat ekspresi wajah Barack yang memelas itu, entah kenapa aku jadi tidak tega jika harus menolak permintaan Barack itu apalagi aku perhatikan dia sangat senang mendengar jawabanku. Kami menghabiskan waktu bersama seharian, kami seolah lupa akan kejadian yang melukai hati dan perasaan, Barack sangat pandai mengendalikan suasana. Ya, dia memang cerdas, apa boleh buat. Hingga tiba sore, saat aku berniat akan pulang, akan tapi Barack masih menahan diriku. Aku mengulur waktu lagi untuk pulang, hingga terdengar suara bell pintu apartment Barack di pencet secara serampangan yang membuatnya berdecak kesal. “Siapa sih? ganggu saja,” kesalnya dan pergi menuju pintu untuk membuka pintu apartement itu. Saat pintu terbuka, menampilkan seorang perempuan berparas cantik langsung masuk dan memeluk Barack. Barack yang masih syok itu terdiam sejenak, aku menghampiri Barack. “I Miss you so much, aku sangat merindukan dirimu, honey.” Ucap perempuan itu memeluk Barack. “Kenapa akhir-akhir ini aku sulit untuk menghubungi kamu, honey?” lanjutnya. Aku melihat apa yang terjadi di depan pintu itu, tepat di depan mataku, bukti nyata telahku genggam. Barack yang kembali akan kesadarannya langsung melepaskan pelukan itu dengan kasar, dan ternyata perempuan itu orang yang sama saat kami berpapasan di depan lift, ketika terjadi pertengkaran hari itu, antara aku dan Barack. Aku terdiam melihat mereka berdua, menyaksikan kedua orang itu berdebat. “Ngapain lagi kamu ke sini?” Bentak Barack. “Jangan kasar seperti itu, honey. Aku merindukan mu, saat kita bersama, makan bersama, minum bersama dan bermain di atas ranjang bersam-” “Cukup, hentikan omong kosong kamu!” “Kenapa, honey. Why?” “Oh, waw!” Suaraku mengejutkan mereka. Aku tersenyum sinis, menetap mereka bergantian. “Sayang ...” Suara Barack terdengar lembut di telingaku, namun aku sudah tidak perduli dan masuk untuk mengambil tasku, Barack mengikuti diriku dan ia mencoba untuk menghentikan langkahku menuju pintu keluar dan berniat untuk meninggalkan tempat itu secepatnya. “Sayang, please, Jangan pergi! Kumohon ...” Suara barat terdengar sangat lembut dan memelukku dari belakang, aku memberontak dan aku merasa tidak nyaman saat dia melakukan hal itu padaku. Aku mengingat semua yang dikatakan perempuan itu, dan hal ini mengingatkan aku kembali pada saat hari itu dimana kepercayaan aku terhadap Barack mulai merapuh. “Stop, Barack.” Pekikku, aku lelah untuk bertengkar batin. “Lepaskan aku, please!” Lirihku, Barack yang masih terdiam itu perlahan mengendurkan pelukannya, saat aku akan melangkah pergi. “Raline, sampai kapanpun, aku tetap mencintai kamu, sayang.” Suara berat Barack terdengar. Namun aku sudah tidak perduli lagi. Aku berlari keluar dan berpapasan melewati perempuan yang tadi memeluk Barack, ia menatapku dalam diam dan aku tidak memperdulikan siapapun lagi, aku berlari meninggalkan apartment yang di tempati Barack, mantan kekasihku itu. Saat di dalam lift beruntung aku sendiri, jadi saat aku sudah tidak bisa membendung air mataku lagi, inilah waktu yang tepat untuk aku menumpahkan air mata itu. Aku mengusap kesal air mataku yang tak kunjung berhenti meluncur, hingga kini aku sudah keluar dari lift dan berjalan menuju garasi, untuk mengambil si putih cantikku itu. Setelah di dalam mobil, aku melajukan mobilku dengan pelan, kesal rasanya, semua yang menghampiri dan mengganggu perjalanan aku rasanya ingin kumaki semua termasuk portal apartment itu ingin rasa kumaki saja, beraninya menghalangi jalanku, tapi apalah daya aku hanya mengumpatinya dengan rasa kesal. Hingga aku tiba di apartmenku sendiri. Aku membuka pintu dengan lemas dan tak bersemangat, teganya Barack seperti itu padaku. Untung belum menikah, dari dulu dia selalu di kelilingi perempuan cantik, dan aku tahu tidak ada yang berani jika Barack menolak mereka. Tapi, sungguh sulit percaya jika pada akhirnya Barack akan merespon mereka dan beraninya mereka bermain di belakangku, kesal aku menghempaskan tubuh lelah dan lemahku di atas kasur king size milikku. Tidak terasa, entah sejak kapan kini aku mulai kehilangan kesadaran yang membuat aku terlelap dalam tidur yang cukup nyenyak, hingga malam aku kembali terbangun. Aku berjalan menuju kamar mandi, setelah itu aku mengambil gawaiku dari dalam tas yang tadi aku bawa, berjalan keluar kamar untuk mengambil beberapa makanan dan minuman, aku menaruhnya di atas meja depan Tv yang kini telah penuh dengan makanan dan minuman. Aku menghidupkan Tv dan memutar acara komedi, aku mulai mencicipi makanan dan minuman itu. Aku terus mengunyah dan mengotak-atik gawai milikku itu. Bodoh sekali aku, yang percaya lagi pada Barack dan pada akhirnya aku terluka lagi. Menatap gawai dalam genggam, ternyata ada beberapa pesan yang masuk, aku langsung membalasnya dengan cepat, tak lama kemudian pesanku kembali di balas, terus kami berbalas pesan hingga mataku mulai kembali berat, dan perutku penuh dengan makanan dan minuman, tidak terasa aku hampir menghabiskan semua makanan itu, yang tadinya aku menonton Tv dan kini Tv yang menonton aku. Sungguh hatiku sangat terluka, saat sekarang aku baru tahu jika Barack telah menghancurkan kepercayaan aku, dia berkhianat atas rasa cintaku padanya, meski aku sangat mencintai dia aku tidak bisa menerima dia kembali sebagai pasanganku, maaf Barack. Sekarang kenapa aku yang harus minta maaf, bukankah dia yang salah? Aku pikir, aku segalanya bagimu dan kau tidak akan berpaling dari diriku, tapi aku baru tahu jika selama ini kau sempat bermain di belakangku. Aku benci dengan kenyataan sangat menyakitkan ketika di khianati oleh orang yang kita cinta. Shit! Berapa kali lagi aku harus di khianati dan berapa banyak lagi aku harus bertemu dengan lelaki semacam itu, ataukah takdir diriku akan selalu seperti ini? Tidak! Aku yakin Allah punya rencana yang indah untuk diriku nanti, atau Allah telah melatih diriku agar menjadi seseorang yang tidak lemah. *** Di pagi hari seperti biasa aku melakukan aktivitasku sebelum berangkat kerja, aku menyiapkan sarapan dan bekal, lalu aku mandi dan salin, setelah selesai aku keluar kamar menuju meja makan dan menyantap sarapan yang telah matang itu, setelahnya baru aku akan pergi ke butikku. Menempuh perjalanan beberapa menit, kini aku telah tiba di butikku, di sini sudah ada Mira, Amy dan Tika, aku masuk butikku dengan kaca mata hitam menggantung di batang hidungku dan berlalu begitu saja dan langsung ke ruang kerjaku. Para karyawati yang menyapaku, tidak aku hiraukan. Mereka tampak saling tatap, aku telat ketempat kerjaku tidak seperti biasanya, dan aku tidak menyapa atau menjawab sapaan siapapun tidak seperti biasanya, aku yang selalu ceria. Aku menutup ruang kerjaku dan menguncinya, tidak lupa aku hanya berkirim pesan pada pegawaiku untuk siapapun yang mencariku agar mengatakan jika aku tidak ada di tempat, ya aku tidak ingin bertemu dengan siapapun saat ini, aku juga masuk kerja bukan untuk melayani customerku. Aku tak bisa melayani mereka dengan baik saat seperti ini, dari pada customerku merasa tidak nyaman lebih baik aku tidak memaksakan untuk bertemu mereka, bukan? Lalu apa yang akan aku lakukan? Entahlah, mungkin jika mood diriku kembali aku akan mencoba untuk membuat sebuah gaun, dengan mataku yang sembab dan aku tidak bisa melakukan pekerjaan dengan fokus. Kadang aku masih mengingat Barack, setiap moment dan yang menyakitkan saat ingat bahwa kami sudah saling komitmen, aku pikir dia benar-benar setia, di sini aku merasa tertipu dan kasihan pada diriku sendiri. Tertipu karena percaya Barack akan setia karena aku sangat yakin Barack sangat mencintai aku. Kasihan? Ya, aku sangat kasihan dengan diriku sendiri, telah percaya dengan orang yang salah kini aku menangisinya, apa sebenarnya yang aku tangisi? Entahlah, aku sendiri tidak bisa lagi mengatakan apa yang sedang aku tangisi, orangnya atau perilakunya atau apa, entahlah. Aku pikir, Barack adalah pelabuhan terakhirku. Ternyata aku salah, kami tidak ditakdirkan untuk bersama. Nothing! Lebih baik aku terluka saat ini, dari pada saat nanti aku harus mengutamakan sekelilingku dari pada diriku sendiri, apakah tidak lebih menyakitkan?! Aku kembali menitikkan air mata, mataku sudah sangat sembab kini, hingga makan siang dan kini sore waktunya pulang, aku pulang kembali ke apartmenku dengan mengendarai mobil putihku, dalam mobil modifikasiku, aku kembali mengingat saat dulu bersama Barack. “Sayang, nanti kita akan menikah dengan konsep seperti apa?” “Aku ingin yang sederhana, biasa saja, sayang.” Jawabku. “Tapi aku ingin yang megah, tidak ingin sederhana.” “Tapi sayang, aku pikir itu terlalu boros, lebih baik uangnya kita tabung saja untuk masa depan, anak-anak kita nantinya.” “Tapi, masih lama sayang dan mereka punya rejeki masing-masing. Jadi jangan khawatir, sayang. Lagi pula aku ingin tunjukkan pada dunia bahwa kau adalah istriku.” “Em, baiklah. Terserah kamu saja.” Aku saat itu merasa sangat bahagia. Barack memperlakukan aku dengan sangat baik dan memanjakan aku. Tidak ada prioritas lain selain diriku, aku sangat senang hingga tidak ada kesempatan bagiku untuk berfikir hal negatif tentangnya dan tidak sekali pun terlintas di benakku akan perpisahan yang terjadi antara kami berdua, dan kini aku menitikkan air mata kembali. Aku telah tiba di garasi apartment yang aku tempati, setelah memarkir mobil modifikasiku itu, aku bergegas masuk ke dalam apartment milikku. *** Ting . . . Aku menggapai gawaiku di atas meja kerjaku dan membuka pesan singkat itu, ternyata seseorang telah mengirimkan pesan kepadaku. Seseorang yang perlahan-lahan akan membuatku merasa nyaman dengan kehadirannya. [Malam, cuk.] [Boleh telfon?]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD