Eps10: Siapa bertamu sepagi ini?

1549 Words
Segera aku membalas pesan singkatnya. Tak menunggu waktu lama, kemudian terdengar suara ponselku berdering. Aku tersenyum menatap ponselku yang berdering menunjukkan bahwa nomer yang telah mengirimku pesan singkat itu benar-benar menghubungi diriku. Langsung aku angkat telfon darinya, kami berbincang banyak hal dan kami merasa nyaman satu sama lain. Kami tertawa dan bercanda bersama, Hingga lupa jika hatiku sedang sakit, kenyamanan itu membuatku menjadi terbuka terhadapnya, yang membuat aku bisa mengeluarkan unek-unek yang bersarang di kepalaku, kami menghabiskan banyak waktu ditelefon, setelah dia mendengarkan curahan isi hatiku, dia selalu menghiburku agar aku tidak merasa sedih lagi. “Halo.” “Halo, hai cuk. Apa kabar?” terdengar suara semangatnya dari seberang. “Alhamdulillah baik.” “Syukurlah.” “Tidak! buruk! Tapi harus tetap semangat dan baik-baik saja.” “Ada apa lagi?” terdengar suaranya lembut seperti tersirat ada rasa kecewa. “Maafkan aku, sempat tidak mendengarkan apa yang kau sarankan.” “Kenapa?” “Aku sempat menerima dia kembali.” “Dan, kau kecewa lagi?” “Kali ini sangat. Aku sangat bodoh.” “Sudah pasti, dasar bodoh. Sekarang ucuk Tahukan? Sangat sakit. Nanti ucuk semakin sakit lagi.” “Maaf tidak mendengarkan.” “Nothing, yang penting nanti jangan lagi, gak mau sakit lagi kan?” “Ya.” “Dengarkan, Ven sekarang!” titahnya. “Mm, ya aku rasa harus mendengarkan.” “Hm. Memang harus.” “Terima kasih, kamu sangat baik.” “Karena aku sayang sama ucuk.” Ya, dia lah Vendry Sky. Aku bersyukur meski kami hanya kenal dari media sosial dan tidak tahu seperti apa dia, tapi dia sangat peduli padaku. Dia mendengarkan curahan hatiku dan memberi saran, selalu menyemangati aku akan karierku agar berkembang, aku merasa bahagia, dalam posisi hancur hatiku tapi masih ada seorang lelaki yang baik padaku, ini mengubah persepsiku, agar aku tidak mengatakan bahwa semua lelaki itu sama saja. Sungguh aku tidak munafik sebagai perempuan di perlakukan dengan lembut dan merasa di hargai membuat aku tak berdaya dan tidak dapat menolaknya, terima kasih cuk telah menjadi lelaki yang bisa menghargai seorang wanita dan kamu sangat pandai mengambil hati wanita, terima kasih banyak, aku sangat bahagia. Perlahan aku mulai bisa melupakan Barack. Tidak ada yang tahu ke depannya akan seperti apa. Tapi, terima kasih untuk sekarang atas ke murahan hati dan kesabaran kamu berhasil membuat aku perlahan lupa pada sikap Barack, aku yakin jikapun ke depannya kita tidak berjodoh, pasti kamu tidak akan mau menyakiti hatiku. Karena kau telah berusaha keras mengeluarkan aku dari masa lalu aku dan menyembuhkan hatiku yang terluka dan tidak mungkin pula kamu akan kembali menghancurkannya. Sekarang aku ada tempat di mana aku bisa bercerita berkeluh kesah tentang lelahnya kegiatan sehari-hari, dia dapat mengerti apa yang aku butuhkan dan inginkan. *** Tidak terasa ini sudah pagi lagi, ternyata saat telefonan semalam aku langsung tertidur, aku tersenyum mengingat dia semalam, dia melawak dengan gitarnya dia sangat lucu, pikirku. Aku tersenyum di atas ranjang king size milikku dan berbolak-balik tidak tentu aku menarik nafas dan terlentang menatap lelangit kamarku. Ini weekend, apa yang akan aku lakukan? Aku akan menghabiskan waktuku untuk bermalas-malasan di apartment, setelah melakukan aktivitas rutinku di rumah. Aku menjuntaikan kakiku satu persatu menggapai lantai, aku mengambil segelas air putih di atas nakas dan meminumnya. Aku melangkah membuka gordeng di kamarku yang tadinya cahaya matahari masuk melalui celah kini masuk dengan sempurna dan aku membuka pintu balkon di kamarku itu, aku tersenyum melihat matahari yang kini telah tinggi di ufuk timur. Aku menghirup udara pagi perlahan dan merentangkan tanganku, aku pejamkan mataku, di kota ini, Jakarta sudah mulai terdengar suara hiruk pikuk kesibukan di kota. Tak lama aku mendengar suara bell pintu di tekan, aku membuka mataku perlahan dan mengernyitkan dahi. “Siapa yang ingin bertamu sepagi ini?” tanyaku pelan pada diriku sendiri. Aku melangkahkan kakiku menuju pintu kamar dan membukanya lalu aku bergegas menghampiri pintu keluar apartment dan membukakan pintunya, karena terburu-buru ingin tahu siapa si tamu tanpa menoleh ke layar aku langsung membuka pintu itu, dan nampaklah sosok yang sedang menenteng sebuah kantung plastik yang di penuhi dengan makanan. “Jangan bilang baru bangun?” “Memanglah, baru bangun. Kamu ngapain datang ke apartment orang sepagi ini?” “Astoge! Liat jam dong! Punya jam ‘kan?” “Punyalah, masa enggak. Kere amat.” Nike menerobos masuk ke ruang tamu sekaligus ruang Tv itu yang ada jamnya, aku menutup pintu apartment dan mengikuti Nike dari belakang. “Lihat say, pukul berapa sekarang? Udah bukan pagi lagi.” Aku membulatkan mataku melihat jam kecil di atas meja Tv itu sudah pukul 10 pagi. “Pantas saja aku merasa lapar.” “Dasar wanita. Buruan mandi, setelah itu kita karaokean. Aku siapkan lagu dangdut mellow si wanita rocker. Kamu tahukan siapa?” “Ya, tahu. Nama dan muka yang sama persis dengan kamu, Nike Ardilla.” “Yak, benar sekali, selamat anda mendapatkan gelas pecah kurang dari satu buah gelas,” ucap Nike dengan semangat dan ceria, aku hanya menampilkan wajah datarku. Ya, Nike Faradila dia sahabatku yang ceria. Kami cocok satu sama lain dan memiliki banyak kesamaan dengannya. “Kenapa tampangnya seperti itu?” “Memang kenapa? Tidak boleh?” “Bukan tak boleh, tapi sangat jelek.” “Ck, aku mau mandi dulu.” “Ya, sana mandi yang bersih.” Aku melangkah masuk kamar dan mandi, setelah selesai mandi seperti biasa aku memakai make up tipis lalu mengenakan pakaian. Setelah selesai aku keluar kamar tidak melihat Nike ada di ruang Tv itu dan aku mengarahkan pandangan ke arah pantry di sana aku lihat Nike tengah berkutat tepat di depan pantry, entah apa yang sedang ia kerjakan. Aku menghampiri Nike yang ternyata tengah menggoreng nugget di sana. “Kau masak apa?” tanyaku melirik sesuatu di dalam wajan. “Nugget dong, untuk cemilan.” “Kebetulan sekali, aku sudah lapar,” ucapku. Saat aku akan menggapai nugget di atas piring itu segera ia tepis tanganku dan mengambil piring nugget itu agar menjauh dariku, aku mengangkat sebelah alisku, ia tengah membalas sama dengan ekspresi wajahku. “Jangan dong, ini buat cemilan nanti, belum selesai, kalau lapar onoh sarapan dengan nasi goreng, sudah aku buatkan di atas meja,” ucapnya. Wah, ternyata benar memang sudah ada nasi goreng satu piring di sana, kenapa tadi aku tidak melihatnya, tapi malah melewatinya dan fokusku melihat nugget yang sedang di goreng oleh Nike. “Terima kasih babatku yang baik hati, dan pengertian,” ucapku, ia mengangkat jempolnya di udara. Saat aku akan memakan nasi goreng itu luar biasa sekali aroma makanan itu, sangat lezat sekali. Aku menyuapi nasi goreng itu ke dalam mulutku dan mulai mengunyahnya, dan kunyah demi kunyah ekspresi wajahku mulai berubah dan aku langsung menuju wastafel, aku tidak kuat mengunyah dan menelan lautan garam ini, huaa. Dia tengah menatapku dengan heran aku mununjukkan ekspresi mewek mendapatnya dan ia dari tampang datarnya kini berubah menjadi kernyitan. “Kamu kenapa? Hamil?” Sontak saja membuat mataku membola, menatap Nike yang tengah heran dan bingung itu, “Bodoh, nasi goreng yang kau buat sangat nikmat.” “Oh, iya dong, siapa dulu yang buat, Nike.” Ucapnya membanggakan diri, “Sudah habis ya?” lanjutnya bertanya dan matanya beralih ke meja. “Dasar, yang bodoh aku atau kamu? Tidak berubah, seharusnya aku tahu apa rasa masakan kamu,” ucapku yang sontak membuatnya tertawa. “Kenapa?” “Lautan garam,” ucapku sontak tawanya semakin jadi. Aku lihat dia tertawa terbahak-bahak memegang perutnya, “Dasar, bukannya kau ikut kursus memasak?” “Hah, aduh sakit perutku nekan terus, gegara kamu.” “Kenapa jadi aku?” “Aduh, haha. Sedih banget aku liat ekspresi wajahmu.” “Kenapa loh,” “Nothing.” “Dasar tidak jelas,” ucapku melangkah menuju meja makan dan mengambil piring nasi goreng itu, lalu aku menghampiri Nike kembali, “Ini kau saja yang makan.” Aku tatap dia menggelengkan kepalanya. “Tidak mau, aku sudah kenyang tadi makan di rumah, masakan bik Min,” ucapnya. “Dasar,” omelku menaruh nasi goreng itu ke dalam wastafel ia tengah tersenyum tanpa dosa menatapku. “Jangan galak-galak kenapa?!” “Biasa saja,” ketusku. Kini nafsu makanku menjadi hilang, ia telah selesai menggoreng nugget itu dan kini ia sudah mematikan kompor. “Mau buat sayur?” tanyanya. “Ya.” “Ya sudah buatlah, yang enak ya, untuk makan siang kita,” ucapnya, aku tidak menjawab. Aku mengambil bahan makanan dari dalam kulkas untuk makan siang kami. Makan siang dengan goreng ikan dan sayur tumis kangkung. Aku membersihkan dua ekor ikan berukuran sedang di wastafel, kemudian memasukkan ke dalam mangkuk yang terdapat bumbu di sana lalu menggorengnya. Setelah selesai di goreng, lalu aku taruh di atas meja, aku membersihkan bahan yang akan di buat tumisan, mencuci kangkung dan setelahnya mencuci bumbunya aku mengiris cabai dan bawangnya, setelah itu aku memanaskan minyak di wajan lalu menumis semua bumbunya sebentar sampai tercium wangi harum bawang dan memasukkan semua kangkung ke dalam wajan, mengaduknya agar tercampur rata dengan bumbunya, tidak perlu waktu lama, aku langsung saja menaruhnya ke dalam piring dan menaruhnya di atas meja, ternyata Nike sudah terduduk manis di kursi meja makan itu. Aku lihat di atas meja makan itu sudah ada nasi dan dua buah piring.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD