Eps8: Bermalam di Apartement Barack

1690 Words
Aku mengambil tasku dan segera aku melangkahkan kaki keluar dari ruang kerjaku, betapa terkejutnya aku ketika menutup pintu ruangan, manik mata coklat terangku menangkap seseorang yang tertidur pulas di atas sofa, aku sempat terdiam sejenak. Ketiga pegawaiku itu menghampiri aku yang masih terpaku. “Kasihan itu, mbak.” Ucap Mira, Amy dan Tika mengangguk. “Ini dari tadi?!” “Mayan,” sahut Amy. “Ini tidur apa mati.” Gumamku mendekati Barack Bahtiar yang masih tertidur pulas di atas sofa itu. “Bangun,” ucapku menepuk punggung dan pipi Barack. ‘Jangan mengambil simpati para pegawaiku di sini.’ Lanjutku membatin. Bukannya bangun Barack malah menggeliat dan kembali tertidur. Aku membulatkan mataku, berdecap kesal melihat tingkah Barack ini. Aku menoyor pipinya dengan kesal dan ternyata suhu tubuh Barack memang panas. Aku terdiam sejenak menatapnya. ‘Apa yang harus aku lakukan?’ batinku. Aku masih berusaha untuk membangunkan Barack dengan pelan. Hingga aku berhasil membuat ia terbangun, ia terkejut melihat wajahku tepat di depan wajahnya dan kemudian tersenyum menatapku tanpa kedip. ‘Ck, dalam keadaan yang seperti ini saja, masih sempat-sempatnya cari kesempatan, ngembangin senyum lagi, senyuman kamu memang manis buat kadar ke tampanan kamu naik. Tapi, aku gak lupa seperti apa kamu saat itu,’ batinku. Entahlah sepertinya aku sangat dendam sekali pada Barack, aku masih tidak terima dengan kelakuan Barack saat itu terhadapku, sangat tega, tidak mudah bagiku melupakan itu begitu saja. “Bangun, ayo pulang,” ajakku langsung berdiri dan bergegas untuk keluar dari butikku. “Tunggu, sayang . . .” ucapnya dengan suara serak dan lemahnya, aku terdiam sejenak di tempat lalu menoleh ke arahnya. Aku lihat dia berusaha bangun dengan memegang kepalanya. Saat dia akan berjalan ke arahku aku langsung mengalihkan pandangan. “Lamban,” ucapku padanya yang kini menggapai tanganku. “Aku antar pulang ya,” ucapnya pelan. Hatiku seperti teriris mendengarnya. “Kamu naik apa?” “Moge,” jawabnya, aku menghentikan langkahku, aku lihat ada satu unit moge dan mobilku di halaman parkir depan butikku. “Kamu yakin, mau naik moge?” “Kenapa enggak?” alih menjawab justru berbalik melontarkan pertanyaan padaku, Barack menggapai tanganku dan melangkah menuju Mogenya. “Barack, berhenti!” titahku. “Ada apa?” tanyanya padaku setelah ia ikut menghentikan langkahnya di depanku. “Naik mobilku saja, aku antar kau pulang,” mintaku padanya, ia tidak menjawabku hanya terdiam menatapku. “Raline, kenapa jadi kamu yang akan mengantarkan aku pulang?” Aku melihat sorot manik mata Barack yang semakin sayu dan memerah, “Kamu sakit, Barack. Ayo masuk mobilku saja,” ucapku. “Enggak, sayang aku baik-baik saja,” Bantahnya. “Ayo ikut pulang atau aku tinggal saja,” ucapku memberi pilihan pada Barack. “Okay, ayo.” Finalnya menyetujui permintaan diriku yang membuatnya mau tidak mau harus mengikuti keinginanku, ia masuk ke dalam mobilku, kulihat ia terduduk di bangku kemudi. “Ngapain duduk di situ?” tanyaku sinis. Tanpa menjawab pertanyaan yang aku lontarkan untuknya, Barack mengulurkan tangannya padaku seolah tengah meminta sesuatu yang membuatku menarik napas dalam dan menghembuskan dengan kasar, Barack menatapku, “Kontak,” ucapnya. “Geser!” titahku sambil memalingkan wajah ke sembarang arah yang tak ingin terbantahkan, dari ekor mataku, aku perhatikan Barack kembali berdiri dan berpindah dengan malas menuju bangku penumpang samping kemudi. Setelah Barack beranjak dari bangku kemudi menuju bangku penumpang samping kemudi, bergegas aku duduk di bangku kemudi dan mulai menyalakan mesin, aku dan Barack melajukan si putih berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya. Meski mataku tidak melihatnya tapi dari ekor mataku menangkapnya sedang menatapku dalam diam, entah apa yang sedang ia pikirkan. “Hari ini tidak kerja atau pulang cepat?” tanyaku menutupi kecanggungan yang aku rasakan. “Pulang cepat, setelah bertemu klien di mall tadi siang,” jawabnya dengan suara pelan dan serak. “Lain kali, jika sakit pergi ke dokter. Jangan malah menemui aku, aku bukan dokter,” ucapku pelan, ia menatapku dalam diam. “Maaf sudah merepotkan kamu, hari ini.” Ucapnya, aku menghentikan si putih di depan apotek. Aku turun dan membeli beberapa obat untuknya, setelah selesai membayar aku kembali masuk ke dalam mobil modifku yang cantik dan keren ini. Menempuh perjalanan beberapa menit, kami pun sampai di apartment Barack. “Istirahatlah dulu, aku akan masak sebentar,” ucapku. Barack berjalan menuju sofa di ruang Tv itu. Aku lihat dia menyalakan Tv dan merebahkan tubuhnya di atas sofa. Aku berjalan menghampiri Barack dan merebut remot Tv di genggaman Barack. Ia hanya menatapku dan memperhatikan apa yang aku lakukan. Aku mengecilkan volume suara Tv, dan menyuruhnya untuk merentangkan tubuhnya, berbaring di atas sofa. “Jika tidak ingin istirahat di kamar, berbaringlah di sini saja.” Titahku, ia langsung patuh. Aku kembali berkutat di depan pantry membuatkan makanan untuknya. Hingga akhirnya masakan yang aku buat telah tersaji di atas meja makan. “Ayo, makan dulu,” ajakku. Ia beranjak lalu duduk di kursi makan dan aku menuangkan nasi dan lauknya di piring Barack. “Jika punya penyakit magh, jangan telat makan lagi,” omelku, ia hanya diam. Aku memperhatikan dia sedang makan dalam diam, ia terlihat fokus pada makanan di piringnya. ‘Barack, aku mencintaimu. Tapi aku belum bisa terima atas pengkhianatan dirimu padaku. Aku ingin selalu bersama kamu, tapi kamu telah menghancurkan kepercayaan aku.’ Batinku. “Sudah puas, natapnya?” tanyanya tersenyum menatapku, aku memberikan butir pel untuknya, setelah ia menyelesaikan makan. “Jangan kepedean,” ketusku. “Gak apa, kepedean sama pacar sendiri.” “Aku belum terima kamu lagi,” ucapku mengingatkan, yang sontak membuatnya terdiam. Aku membereskan meja makan dan mencuci piring bekas Barack makan, setelah selesai mencuci aku melihat dia terduduk diam di atas kursi meja makan menatapku. Aku menghampiri Barack. “Aku akan pulang sekarang, jaga kesehatan kamu sendiri,” ucapku dan meninggalkan dia sendiri, ia mencekal lenganku saat aku melewatinya akan pergi meninggalkan dirinya di apartment miliknya itu. “Jangan tinggalkan aku, bunda.” Ucapnya lirih. “Barack, aku pikir kau butuh istirahat.” “Aku mohon, jangan tinggalkan aku, tolong maafkan aku,” ucapnya, kini beranjak dan memelukku dari belakang. “Jangan tinggalkan aku,” ucapnya kembali, aku merasakan suhu tubuh Barack yang kini semakin panas, aku sedikit panik dan berbalik menatapnya, aku lihat matanya semakin memerah sayu lalu aku menuntunnya masuk ke kamar. “Barack, istirahatlah di atas ranjang, aku tidak akan pergi. Aku akan merawat kamu,” ucapku yang membuatnya sedikit lebih tenang. Saat Barack sudah tertidur pulas di pangkuanku, aku menitikkan air mata, menatap wajah tampan yang kini terlihat tenang dalam pangkuanku, genggaman tangan Barack pada kain bajuku begitu kuat. Mengingat kembali akan tentang diriku dan Barack, aku mengusap air mataku dan sepanjang malam ini aku merawat Barack dengan telaten, setelah beberapa saat kembali menatap Barack yang kini tertidur di atas ranjang itu, entah kenapa air mataku kembali menerjang pertahananku begitu saja. Aku bingung, apakah aku harus memaafkan Barack dan kembali padanya? Aku duduk di sofa dalam kamarnya, lihatlah begitu rapuhkah aku? Aku memeluk boneka besar Doraemon di atas sofa itu, di tempat yang sama tidak pernah pindah ke tempat lain. ‘Emon, apa aku harus kembali pada Barack?’ batinku, seolah bertanya pada boneka besar itu. Tidak terasa, kapan aku kehilangan kesadaran, yang ternyata aku tertidur di atas sofa memeluk Doraemon. Saat pagi, matahari menerobos masuk ke dalam kamar Barack melalui celah-celah gordeng yang renggang, aku menggeliat dan meregangkan otot tubuhku yang terasa kaku. Aku merasa tubuhku berat, aku terheran apa yang menimpah tubuhku? Sebelum membuka mataku, aku mengingat kembali tentang semalam, apakah boneka besar Doraemon itu, bisa seberat ini? Aku membuka mataku perlahan, yang pertama aku lihat adalah lelangit kamar dan menatap sekeliling, What the hell?! Kenapa aku ada di atas ranjang Barack? Aku berusaha untuk bangun dan melepaskan pelukan lengan kokoh Barack itu. Setelah berusaha keras, akhirnya terlepas juga, aku menempelkan punggung tanganku di dahi Barack, ternyata suhu panasnya sudah turun. Aku melihat ia tersenyum dan membuka matanya, menatapku. “Pagi, bunda.” Sapanya. “Pa-pagi,” ucapku kaku, ia tersenyum dan mencubit gemas pipiku. “Bunda tidur yang nyenyak semalam, saat aku pindahkan ke atas ranjang makanya bunda gak sadar saat aku pindahkan.” Ucapnya. Di saat tengah malam, Barack terbangun dari tidurnya dan melihat Raline yang tertidur pulas memeluk Doraemon. Ia mengembangkan senyumnya dan beranjak mendekati Raline. “Sayang, kamu cantik banget. Sangat imut saat tertidur.” Bisik Barack. Raline menggeliat, merubah posisi tidurnya. Barack berusaha untuk menggapai Raline berniat untuk memindahkan Raline ke atas ranjang agar saat terbangun tubuh mungil Raline itu tidak pegal dan sakit. Saat Barack menyelipkan lengannya di tubuh Raline, gadis itu malah seperti mengajak Barack perang, Raline menepuk pipi Barack dan menepis kedekatan tubuh Barack pada tubuhnya itu. “Pergi kau dasar, tidak tahu malu. Kau ingin menyakiti aku, lihat saja sebelum kau menyakitiku, aku akan menghajar kamu terlebih dahulu.” Gumam Raline sambil melayang-layangkan tangannya di udara. Barack sempat kewalahan dan akhirnya berhasil juga memindahkan Raline di atas ranjang, Barack cekikikan melihat Raline yang mengigau itu. “Kau mengigau tentang apa, sayang?!” ucap Barack dan ikut terbaring di atas ranjang bersama Raline. “Apakah tentang aku? Segitu marahnya kamu padaku, hm? Gadisku?” “Sangat nyenyak,” jawabku, “Buktinya aku memang tidak tahu saat kau memindahkan aku ke atas ranjang.” Lanjutku. Entah apa yang salah dari jawaban diriku ini, sekarang dia malah tertawa. Aku melihatnya, tertawa yang sangat lepas seperti dulu saat kami bercanda bersama. “Bunda sangat cantik dan imut,” ucapnya merayuku, itulah kata-kata yang selalu ia lontarkan untuk diriku, kata-kata yang selalu aku dengar di sela-sela candaan kami. “Kalau aku tampan, mungkin aku tidak ada disini.” “Lalu dimana?” “Sedang ada di ranjang gadis-gadis cantik yang berani menggodaku,” ucapku dan dia tertawa terbahak-bahak. “Sayangku sangat lucu sekali.” “Apanya yang lucu?!” gumamku. “Sudah puas tertawa?” tanyaku. “Aku akan masak dulu,” imbuhku. Dia mengangguk, aku beranjak menuju pantry dan ia mengikuti aku dari belakang. “Ada apa?” tanyaku. “Aku ingin ikut, membantumu di dapur.” “Ya sudah.” Kami ke dapur dan menyiapkan bahan untuk kami sarapan. Setelah beberapa saat akhirnya masakan kami sudah tersaji di atas meja. “Ayo, sarapan!” serunya bersemangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD