Chapter 32

1578 Words
“Dia ingin kenal kamu lebih dekat lagi katanya.” Ucap mama, dan aku terdiam. “Dan dia bilang, udah sering coba buat hubungin kamu tapi susah, dan dia juga pernah coba buat dateng ke apartemen karena dia tau kamu gak pulang, tapi kamu gak ada.” “Kapan, ma?” “Kapan-kapan.” Sahut Fina, dan Fari tertawa, papa hanya pasang cengirnya saja. “Mana mama tahu kapan, tapi yang jelas sudah beberapa kali, cuman ke apartemen sepertinya setahun yang lalu deh, dari sini bawa bunga mawar merah dan putih terus mama kasih alamat apartemen kamu. Saat itu mama hubungi kamu kalau mau ada tamu lelaki minta temani Rumi untuk ngobrol bareng saat itu dan kamu bales, ya mama ini Raline masih sama Rumi, begitu.” “Aku mulai ingat, jadi bunga mawar depan pintu yang aku kira dari Barack itu dari Abiyan Balin?” “Kan Raline, gak tahu ma.” celetuk Fari. "Siapa itu Barack?" "Tetangga baru, udah punya istri." "Jangan main-main." "Becanda, ma." “Mama, udah tahu kalau bakal begini. Kamu pasti gak respon dan gak peka, terlalu fokus dengan karir sih.” celoteh mama. 'Mama gak tau aja, nasib percintaan anaknya ini memilukan.' batinku meronta. *** Aku cengengesan mengingat itu semua. Ini adalah hari minggu dan besok adalah hari senin jadwal nenek untuk melakukan op, hari ini nenek akan siap-siap ke rumah sakit, karena dia akan melakukan op pagi di rumah sakit. Aku, mama dan papa, juga Fari dan Fina. Kami bersiap-siap untuk pergi ke rumah nenek. Beberapa menit kemudian kami telah sampai di rumah nenek, aku lihat nenek sedang duduk di sofa ruang tamu dan banyak orang yang ada di sana, bibi, paman dan keluarga yang lainnya juga. Aku menghampiri nenek dan memeluknya. “Nenek.” Panggilku. “Ini siapa? Fina?” “Bukan.” Bisik ku. “Tapi,Raline.” “Raline? Ya Allah. Kamu pulang sayang.” “Ya, nek.” “Nenek pikir tadinya memang Raline, tapi nenek takut di tertawakan dan di bilang halu.” Aku nenek padaku, dan aku langsung memeluk nenek, nenek juga menciumi pipiku. “Nenek akan ada op, besok?” tanyaku pada nenek. “Ya, besok nenek harus op mata, biar bisa liat lagi. Tapi sore ini nenek harus udah di rumah sakit karena dapat jadwalnya pagi.” Jelas nenek dan aku mengangguk-angguk. “Siapa dokter nenek?” “Nenek kurang tahu, nenek gak tanya-tanya siapa, nenek cuman pergi kontrol udah mereka cek nenek dan udah nenek gak tau apa-apa.” “Hm, nenekku, Raline kangen sama nenek.” “Nenek juga, sayang.” Aku dan nenek melepas kangen dan aku juga berbincang-bincang dengan keluarga yang lainnya dan menyambut tamu yang datang berkunjung. Hingga tiba saatnya untuk mengantar nenek ke rumah sakit, saat sampai di rumah sakit aku lihat ada seorang dokter yang menghampiri keluargaku dan mengajak mereka berbincang-bincang, aku mengernyit melihat ke arah mereka, aku seperti mengenali dokter muda itu, tapi aku juga lupa ingat, siapa dia? Pikirku, dan dokter muda itu menoleh ke arahku lalu tersenyum seketika itu juga aku mengingat sesuatu, wah pikiranku, harus melihat yang segar dan senyum manis dulu baru ingat siapa dia, Abiyan Balin, ya dialah teman SMP yang mama ceritakan padaku kemarin. “Tante itu, Raline?” “Ya.” “Tambah cantik aja dia, tante.” Ucap Abiyan. “Katanya kamu mau ngobrol sama Raline, sana samperin.” Ucap mama. “Ya, tante. Abiyan samperin dulu.” Ucap Abiyan dan mama mengangkat kedua jempolnya untuk Abiyan. Abiyan datang dan langsung duduk di sampingku, hening sesaat kemudian kami sama-sama buka suara dan terdiam kembali. “Raline.” “Abiyan.” Kami sama-sama tersenyum lalu menunduk dan saling menatap. Lalu kami mulai buka suara yang di dahului oleh suara beratnya. “Kamu, belakangan ini sering sibuk ya? Atau udah punya pacar.” “Enggak juga kok.” “Kata mama kamu, waktu libur kamu 2 hari sabtu dan minggu?” “Ya.” “Tapi sepertinya sabtu minggu masih sulit untuk di hubungi.” “Maaf, aku gak biasa angkat telefon tanpa nama. Apa lagi gak ada pesan singkat, sorry ya.” “Oh, pantesan. Gak apa, kok. lagian salah ku juga.” “Makasih.” “Bdw, save nomer aku ya.” “Okay.” “Kamu dokter disini?” “Dokter?! ya, lebih tepatnya masih magang sih. Aku asisten dokter Leodra yang akan menangani nenek kamu op mata.” “Oh, gitu ya.” “Ya.” *** Hari semakin sore, dan aku harus pamit untuk kembali ke Jakarta. Aku dari rumah sakit langsung pulang ke Jakarta. Saat hari sudah mulai gelap akhirnya aku tiba juga di kota jakarta yang macet dan penat sekali melihatnya. Disini aku sekarang duduk diam seorang diri di sofa depan Tv, apa aku tidak bosan melalui hari-hari yang seperti ini. Aku heran kenapa Vendry itu tidak juga menghubungi aku ini sudah pukul 9 malam biasanya sore juga dia sudah menghubungi aku. Ham, aku mengganti-ganti chanel melihat semua acara Tv menurutku tidak ada yang bagus. Aku berniat akan tidur cepat malam ini, saat aku baru saja menjatuhkan tubuhku di atas ranjang tiba-tiba gawaiku yang ada di atas nakas itu berdering sekali tanda ada pesan masuk. Abiyan Balin: “Hai, Raline. Sudah sampai?” Me: “Sudah dong, dari tadi.” Abiyan: “Belum tidur?” Me: “Baru aja mau tidur.” Abiyan: “Aku ganggu dong?” Me: “Enggak juga.” Abiyan: “Ya udah, lanjut besok lagi, selamat istirahat. Aku juga mau lanjut jaga malam.” Me: “Okay, bye.” Setelah itu aku menaruh kembali ponselku di atas nakas dan memejamkan mataku, berharap aku langsung bisa tertidur. Ternyata aku dapat telefon dari temanku, Nike. “Halo. Raline.” Pekik suara di seberang yang terdengar heboh. “Raline, besok kamu ada kan di butik?” “Ada dong.” “Oke, besok aku kesana. Bye.” “Okay. Jadi lo telfon gue cuman buat tanya itu doang?” “Kenapa?” “Gak apa.” “Ya udah bye, sampai ketemu lagi besok.” “Okay.” Aku menghela napas lelah dan kembali menaruh gawaiku di atas nakas. Lalu memejamkan mata dan tertidur dengan pulas diatas ranjang king size yang terasa nyaman di kamarku itu. *** Kini pagi menjelang, aku kembali melakukan rutinitas seperti biasa, aku membersihkan rumah dengan robotku lalu aku memasak untuk sarapan dan bontot. Setelahnya aku kembali berangkat ke butik. Sesampainya di butik aku langsung di sambut oleh ketiga pegawai ku dan juga Nike disana, sepertinya ia membawa seseorang. “Hai Nike.” Aku menyapanya dan ia langsung mendekati ku. “Line, ini calon kakak ipar ku.” Ucap Nike memperkenalkan calon kakak iparnya. “Oh, Hai kak.” Sapaku. “Hai.” “Ini kak, temen aku, Raline. Ini yang aku bilang, dia salah satu desainer hebat di sini.” Ucap Nike penuh semangat. “Dan pastinya bisa nego harga.” Lirihnya dengan senyum khasnya itu. “Ya, kakak mau desain baju akad?” “Ya, dek, bisa?” “Oh, tentu aja dia bisa ini kan tempatnya, kak gimana sih.” Cerocos Nike dan aku juga tertawa melihat Nike. “Sangat bisa kak, insya allah, gimana kalau kakak, masuk ke ruangan saya aja.” Ucapku yang langsung di iyakan oleh calon kakak iparnya Nike itu. Aku membuka kunci ruangan ku dan akhirnya pintunya terbuka menampakkan seisi ruangan yang penuh dengan berbagai pernak pernik kebutuhan desain dan ada alat jahit yang khusus, aku yang pakai. Di ruangan ku juga ada beberapa kebaya untuk akad yang di pesan orang sedang terpampang jelas di patung sangat cantik sekali meski belum 100%, mata yang memandangnya akan berbinar, apa lagi mata perempuan. Tidak bisa tidak, ingin rasanya di ambil dan di pakai, tapi di pikir lagi, apa lah daya, ini punya orang. “Dek, ini hasil desain kamu semua?” “Ya, kak.” “Cantik tau.” “Ya, sesuai request juga.” “Ohh, ya ya.” Setelah berbicara dan fiks desain kebaya akad, Nike dan calon kakak iparnya itu pulang. Aku kembali berpikir. Sepertinya, ini tahunnya banyak yang nikah deh. Aku terus berpikir melihat ruangan ku yang hampir penuh itu. ‘Bagaimana jika aku membuka cabang butik Zatulini yang baru.’ Batinku. Yang mana butik-butik itu akan menjadi cabang dari Zatulini, butik yang khusus untuk kebaya dan baju pesta, sedangkan disini adalah tempat khusus untuk costumer datang dan pesan sesuai desain yang mereka inginkan. Dan bisa mereka ambil di butik bagian cabang, hah. Pasti pusing sekali memikirkan ini, aku harusnya buat gedung sendiri yang khusus untuk butik Zatulini, dimana tempat produksi dan pemasaran satu tempat. Tapi aku berpikir ulang, aku belum memiliki modal yang cukup. Lagi pula, aku juga tidak berani menerima saham dari perusahaan lain. Tidak, aku harus mandiri dan menerima saham dari perusahaan lain bagaimana aku bisa di bilang sukses, tidak pelan-pelan saja. Aku yakin suatu hari nanti aku pasti bisa menjadi seorang yang sukses, berawal dari modesta menjadi desainer hebat dan memiliki perusahaan sendiri. Semangat, semangat. *** Beberapa minggu ke depan sepertinya aku akan rutin untuk pulang ke rumah mama dan papa, untuk melihat keadaan nenek. Seperti sabtu ini, aku pulang bersama Rumi. Kebetulan dia mengambil cuti dua hari, karena di rumahnya akan mengadakan syukuran, karena kakak iparnya telah melahirkan seorang putri. Baru saja bangun dan akan menyuruh mbah Hayati untuk membersihkan lantai karena akan aku tinggalkan dua hari ini, eh. Ternyata aku kedatangan tamu, aku langsung mendekati pintu ternyata layar monitorku selalu penuh dengan wajah Rumi, aku menghela napas, lalu memutar kenop pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD