Chapter 33

1504 Words
“Hai.” Sapanya dan aku hanya memutar balik tubuhku dan pergi menuju dapur. “Koki, mau buat sarapan apa hari ini?” tanyaku, kepadanya yang kini tengah berjalan ke arahku yang berdiri di depan lemari pendingin. Ia melihat dan memeriksa isi lemari pendingin milikku. Lalu, ia langsung mengambil beberapa daging dan sayuran. Ternyata dia berniat untuk membuat kebab turki, okay aku manut saja dan memperhatikan saat dia sedang memasak, memang berbeda jika seorang koki hebat sudah turun tangan, mereka memiliki banyak atraksi, entahlah aku tidak mengerti cara mereka memasak, aku takut jika aku yang melakukan atraksi itu semua makanan akan tumpah ke lantai dan berserakan kemana-mana. Aku memperhatikan dia memasak dengan lincah sampai aku kesulitan untuk mengomentari dirinya, sampai akhirnya masakan Rumi telah terhidang di atas meja. “Kamu kok pintar banget sih masak?” “Di tekuni.” “Jadi enak dong, yang nikah sama kamu nanti.” “Kenapa gitu?” “Ya karena gak perlu susah payah masak lagi dia.” “Maksudnya?” “Karena dia udah ada kamu yang pintar masak.” “Hadeh. Perempuan ya tetap di dapur walaupun lakinya pintar masak, atau bahkan lebih pintar dari pada dia.” “Hm, ya juga sih. Masa iya laki yang masak kan gak lucu, ya. Dunia terbalik.” “Tanda kiamat sudah dekat.” “Hih kenapa malah topiknya lari kesana sih.” Ucapku dan aku dengar Rumi tertawa renyah. Setelah selesai sarapan aku dan Rumi berangkat ke tempat yang kami tuju Tanggerang, tempat kami di besarkan, yang sebenarnya kepleset saja sudah sampai. Hah! Selama perjalanan kami bercanda seperti biasa, dan bernyanyi di dalam mobil untuk mengusir jenuh hingga akhirnya kami telah sampai di tempat tujuan. Rumi memarkirkan mobilku di tempat biasa, garasi. Lalu kami sama-sama turun dari mobil, Rumi menyapa kedua orang tuaku yang sedang duduk di taman halaman rumah. Lalu, Rumi pamit pulang kerumahnya, rumahku dan rumah Rumi itu sangat dekat jadi Rumi hanya berjalan kaki saja untuk pulang kerumah. Tapi di cegah oleh papa karena kebetulan Fari lewat. “Fari, antar mas Rumi pulang.” Titah papa, yang langsung di laksanakan oleh Fari. Fari mengantar Rumi sampai kerumahnya dengan moge milik Fari, lalu dia pergi entah kemana. Mungkin Fari main sama teman-temannya. Aku merebahkan tubuhku di ayunan belakang rumah lalu tiduran disana, suasananya memang nyaman untuk bersantai dan sengaja di kasih ayunan juga, hingga tidak terasa sejuknya sepoi angin membuatku tertidur di atas ayunan itu. Tidak terasa dan tidak ada yang membangunkan ku, tapi aku melihat ada Fina duduk bersantai memainkan gawai miliknya di dekat kolam, aku perhatikan dia tengah fokus dengan gawai yang ada di genggamannya itu sesekali dia akan tertawa. Aku melihat jam yang masih melekat di tanganku, ternyata itu sudah pukul 2 siang. Aku bergegas masuk kedalam rumah dan melewati Fina. “Mau kemana, kak?” “Masuk ke dalem.” “Oh ya udah.” Aku langsung masuk begitu saja. Dan melihat mama yang ada di depan Tv, tapi aku tidak melihat ada Fari dan papa di sini. “Ma, dimana papa?” “Papa kamu ke tempat nenek kamu bawain kiriman, yang di pesan sama nenek kamu. Emang kenapa?” “Mama kok gak ikut?” “Mama gak mau aja ninggalin dua anak gadis mama di rumah.” “Mama lebay deh. Hm, terserah mama aja deh. Raline lapar, mama udah makan?” “Udah, tapi mama lapar lagi.” “Ya udah makan lagi lah.” “Ya ini mama mau makan lagi, ayok ke dapur.” Ajak mama. “Ya ayok.” Aku dan mama pergi ke dapur dan siap untuk makan siang, aku dan mama menikmati makan siang dengan berbincang-bincang. Dari rencana bisnisku dan kemudian masalah pribadi, seperti asmara. Mama juga bertanya mengenai Abiyan yang membuat ku terdiam sambil mengunyah dan berpikir. ‘Oya, aku hampir lupa, Abiyan menyuruhku untuk menghubunginya jika aku pulang, okay lah aku akan menghubunginya, nanti.’ Batinku. Baru saja di bahas olehku dan mama, nama dia kini tertera di layar, saat ponselku berdering, mama melirik ke arah layar ponselku dan tersenyum. “Baru aja di omongin. Eh, panjang umur, langsung telepon aja itu anak.” Ucap mama, tanpa melihat ke arahku dan masih menyuapi nasi ke mulutnya. “Mama.” Ucapku. “Udah, gak usah malu-malu, angkat dulu telepon dari Abiyan itu.” titah mama, aku langsung menghabiskan makan ku, lalu langsung mengangkat telepon Abiyan. “Halo, Abiyan.” “Ya, Halo. Raline, apa kabar?” “Alhamdulillah baik.” “Syukur deh. Oya, kamu pulang hari ini” “Ya, ini udah di rumah.” “Beneran ada di rumah?” “Ya.” “Aku kesana sekarang, ya.” “Ya, terserah kamu aja.” “Ya udah, kalau gitu aku tutup dulu teleponnya, sampai ketemu nanti ya.” “Okay, bye.” Panggilan telepon itu terputus dan aku menaruh kembali ponselku di atas meja, dan saat mama akan mencuci piring bekas kami makan, aku langsung menghampiri mama di wastafel dan mengambil alih kegiatan mama itu. “Ma, ma.” “Ya.” “Sini, biar Raline aja yang cuci.” “Ya udah.” Aku mencuci piring bekas kami makan, dan mama menyapu dapur setelah aku selesai mama juga selesai, mama menonton Tv aku mengikuti mama dan nonton Tv bersama, tak lama kemudian terdengar suara salam dan ketukan pintu dari luar rumah, mama langsung bangun dan membukakan pintu, benar saja ternyata Abiyan yang datang. “Abiyan.” “Siang, tante.” “Siang, kamu apa kabar?” “Alhamdulillah Baik, tante sendiri gimana kabarnya?” “Alhamdulillah sehat seperti yang kamu lihat. Oya, kamu kesini pasti mau ketemu Raline 'kan?” “Ya, tante.” “Ya sudah, duduk dulu. Raline ada di dalam, nanti tante panggilkan ya.” “Makasih, tante.” Mama masuk dan menyuruhku untuk menemui Abiyan, tapi sebelum keluar mama menyuruhku untuk membuat minuman untuk Abiyan dulu. Setelah selesai membuatkan minuman untuk Abiyan. Aku langsung keluar dan menemui Abiyan dangan membawa segelas minuman untuk Abiyan. Aku dan Abiyan berbincang-bincang di ruang tamu dan mama kembali masuk nonton Tv. “Mau main, gak” “Kemana?” “Pantai.” “Gak ah, panas.” “Ya, kemana gitu, bioskop? Nonton?” “Gak ah, kalau mau nonton di rumah aja.” “Kalau di rumah, beda lagi.” “Sama aja, nonton juga kan?” “Tapi suasananya beda, Raline.” “Tapi lagi males, main.” “Em. Oya, nenek kamu gimana, udah ke rumah nenek kamu belum?” “Belum.” “Setelah nenek kamu selesai dari op, kamu belum liat dia lagi 'kan?” “Ya, belum kok.” “Kenapa? Gak kesana?” “Belum aja, lagian aku baru sampe tadi, terus ketiduran di belakang, terus langsung makan, eh kamu telefon dan dateng.” “Oh, aku ganggu ya” “Enggak juga, lagian aku mau ke tempat neneknya besok aja.” “Jadi, gak main nih hari ini?” “Mau main kemana sih?” “Ya, kemana aja yang kamu suka.” Ucap Abiyan, aku bingung tapi gak enak juga sih, langsung nolak sedangkan dia juga terlihat baik di depan keluarga ku, aku menghela napas sejenak. “Gimana kalau kita jalan-jalan ke tempat wisata terdekat terus makan bis itu pulang?” “Boleh, sekarang? Atau besok aja?” “Aku pikir sih, minggu depan aja gimana?” “Minggu depan? Masih lama lagi dong.” “Ya. Gitu deh.” Ucapku tersenyum kaku. “Ya, mau gimana lagi.” “Gak apa, nih. Nunggu lama deh baru bisa jalan-jalannya.” “Gak apa kok, aku tunggu, minggu depan.” “Makasih.” “Lagian, kenapa kamu gak pindah disini aja sih?” “Aku gak bisa Abiyan, lagian usahaku disana sudah lumayan lancar dan banyak customerku disana.” “Hm, ya sih.” “Aku mau samperin kamu tapi, takut gak ketemu lagi.” “Sorry ya, waktu itu gak ketemu karena aku lagi sama temen, kamu tau Rumi 'kan?” “Tau, kakak kelas kita dulu 'kan?” “Ya, aku masih sama dia waktu itu.” “Oh, gitu.” Ucap Abiyan yang raut wajahnya berubah jadi terdiam, mungkin dia sedang berfikir yang macam-macam. “Dia udah kayak keluarga, kakak dan sahabat aku dari kecil, main bareng, sekolah bareng dari SD sampai SMA.” “Oh, ya. Bdw, beneran 'kan minggu depan?” “Ya, nanti kalau ada halangan aku hubungin kamu lagi, gimana?” “Ya udah deh, gak apa.” Setelah berbincang-bincang cukup lama dan memakan waktu berjam-jam, akhirnya Abiyan pamit pulang juga. Hah, rasanya aku ingin mandi sekarang dan langsung merebahkan tubuh ku di atas ranjang ku, tidur lagi. Sedari tadi mataku sudah berat ingin kembali di pejamkan, tapi apalah daya, Abiyan betah banget ngajakin aku bincang-bincang. "Bdw, sebenarnya aku masih ingin disini yang lama loh, terasa nyaman. Tapi, gak enak juga, masih tamu." ucap Abiyan tersenyum penuh makna, yang membuat aku mau tidak mau ikut tersenyum saja agar terlihat ramah. Aih, ini dokter muda bisa saja, jika perempuan lain pasti sudah pingsan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD