Chapter 31

1537 Words
Aku asik telvonan dengan Vendry hingga lupa, waktu makan malam telah lewat, sekarang sudah pukul 20:00 wib. Tapi tak apa, meski lewat waktu makan malam perutku sudah kenyang karena kue yang aku keluarkan dari dalam lemari pendingin itu, kini sudah habis hanya tersisa piring yang kosong. Benar-benar teleponan dengannya membuat aku lupa waktu, sekarang sudah pukul 22:00 wib, mataku juga sudah berat dan suara kami juga lama kelamaan semakin pelan dan semacam tak berdaya, sampai entah lebih dahulu aku atau dia yang tertidur. *** Pagi yang cerah membuat hariku juga tampak cerah dan bersemangat, aku melihat ke arah jam beker segera aku gapai dan aku putar-putar, dengan mataku yang belum terbuka dengan sempurna. “Kenapa jam ini kebalik? Bukannya sekarang udah jam 7? Kenapa disini jam 7 pindah di tempat biasanya angka 5 tinggal?” tanyaku sambil menguap. “Aneh sekali, hari ini. Ada apa ya? Kita-kira apa lagi yang akan terjadi?” ucapku dan langsung menaruh jam beker itu ke atas nakas. Aku menurunkan ke dua kakiku dan menapaki lantai, aku membuka gorden jendela dan melihat hari yang sudah mulai terang, aku melihat sekeliling dan mengernyitkan dahi ku. “Aneh, Jakarta hujan hari ini. Udah mendung gini lagi, pasti sebentar lagi turun hujan.” Gumamku, dan aku langsung menggapai ponselku dan mencari nomor ponsel seseorang lalu mengklik deal nomer itu. tak lama terdengar sebuah sahutan suara dari seberang. “”Halo.” “Halo, ma. Di situ hujan tidak?” “Tidak, nak. Sekarang kan belum musim hujan.” “Ya kali aja hujan nya pengen turun ma, meski belum musim hujan.” “Ya, tapi disini terang sayang gak hujan.” “Ya, udah. Mama masak apa hari ini?” “Masak apa? Raline mau dimasakin apa?” “Apa aja, ma. Raline gak sempat masak ini, paling cuman makan roti aja nanti di jalan.” “Oh, Raline sibuk ya? Kalau sibuk kesininya di tunda aja dulu.” “Enggak, ma. Raline mau ketemu nenek.” “Ya udah kalau gitu hati-hati dijalan ya, sayang.” “Ya, mamaku.” Akhirnya panggilan telepon itu pun di tutup. Aku menghela napas dan menaruh kembali ponselku, lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi dan siap-siap untuk pergi kerumah mama di tanggerang, sebenarnya dekat, bisa saja aku pulang pergi kerja dari rumah mama, tapi tidak aku mesti mandiri. Setelah selesai mandi aku aku mengganti pakaian dan make up lalu aku langsung mengambil tas dan siap-siap akan pergi kerumah mama, aku mengambil Roti untukku makan di jalan nanti, agar aku tidak terlalu lapar, sebelum menjalankan mobilku aku memanaskan mesin terlebih dahulu dan saat pandanganku mengarah ke sebuah objek, tidak tahan melihat godaan roti senikmat ini ada dalam mobilku, segera aku melahap roti itu kemudian minum, setelah selesai minum aku mendesah dan mulai menjalankan mobilku menuju kediaman mama. Di jalan ini sudah sangat ramai meski terlihat mendung dan gelap ini mungkin sudah pukul 9, pikirku. Hah! Aku menyetel musik untuk menikmati perjalananku, karena aku penasaran sekarang sudah jam berapa dan lagi pula aku juga memakai jam tangan, segera aku melihat ke arah jam tanganku. “Wah, kok mati sih jam tangannya? Error nih.” keluhku. “Hm, ini mati saat pukul 7 'kah? Harus beli batu baru ini udah error.” Omelku. “Tapi, kalau aku mampir ke toko sekarang untuk mengganti batu jam semakin kesiangan dong. Tapi, kalau gak di ganti sekarang, nanti lupa.” Ucapku. Aku menepikan kendaraan ku saat ada di depan toko dan segera turun untuk mengganti batu jam tanganku, aku segera melepasnya dan ketika sampai di tempat aku langsung menyodorkan jam tanganku. “Ganti batu jam.” “Ganti batu jam?” tanya masnya. “Ya, mas.” “Aneh, kenapa di ganti ini kan masih bagus batu jamnya.” Gumam mas itu. “Apa mas?” tanyaku. “Oh, enggak mba.” “Okay, cepat ya mas, jangan lama soalnya aku udah di tunggu keluargaku.” “Ya, mba. Tunggu sebentar ya.” Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya selesai juga jam tanganku di ganti batu. Tukang jam itu setelah mencocokkan sekarang pukul berapa, ia langsung memberikan jam tanganku yang sudah di ganti batu jam itu. “Sudah, mba.” “Oh makasih ya.” Ucapku sembari memberikan uang dan memakai jam tanganku kembali. “Loh, mas kok gak di cocokin sih jamnya.” “Udah kok, mba.” “Sekarang, pukul berapa?” “Pukul 7:15 wib.” “Beneran ini?” “Ya.” “Masa sih?” Aku terdiam sejenak dan mengingat kembali kejadian tadi pagi saat aku terbangun dan sekarangpun tidak mendung malah matahari juga mulai tinggi. Aku menatap mas tukang jam itu yang menampilkan wajah bingungnya, kemudian aku tersenyum dan pamit pergi. Aku berjalan dan masuk ke dalam mobilku, aku kembali melajukan kendaraan ku menuju kota Tanggerang. Aku memaki diriku yang begitu bodoh. “Shitman! Aku di tipu sama pikiran ku sendiri. Aku berpikir tadi sudah jam tujuh tapi sebenarnya masih jam lima subuh.” “Bodoh! Pikiran sendiri bisa nipu.” Omelku dalam mobil sambil terus menyetir. Sampai akhirnya aku sampai di halaman rumah mama dan papa di kota Tanggerang. Aku langsung keluar dan cepat-cepat masuk ke dalam rumah, aku tidak menemukan Fari dan papa, aku malah menemukan Fina yang sedang menyapu lantai, juga mama yang sedang masak di dapur. “Mama.” “Hei, Raline. Udah sampai?” “Udah dong. Masak apa, ma?” “Buat sarapan, goreng ikan, nasi goreng, tempe goreng dan sambal goreng tomat.” “Wah, wangi.” “Ya, dong. Siapa dulu yang masak.” “Mamanya Raline.” “Mana papa sama Fari, ma?” “Lagi latihan.” Jawab mama dan aku mengangguk-anggukkan kepalaku. “Ada yang harus Raline bantu gak, ma?” “Ada, kamu bantu mama, siapin piring dan gelas untuk sarapan, kamu tuangkan s**u juga ya.” “Okay mamaku yang cantik.” “Ya sudah mama mau mandi dulu.” “Sip.” Ucapku mengangkat kedua jempolku untuk mama. Aku menyiapkan sesuai apa yang telah mama instruksikan padaku, dan mama juga kembali ke kamar dan mandi. Setelah selesai menyajikan minuman dan menaruh piring di atas meja, aku melihat papa dan Fari masuk kedalam rumah. Lalu mereka langsung mandi, setelah papa masuk kamar tak lama kemudian mama keluar dalam ke adaan yang sudah rapih. Mama juga kembali ke dapur dan aku mengekori mama. Ternyata mama kembali untuk mencuci wajan yang ada di wastafel. “Apa, kak? Kok ikut-ikut mama?” “Hehee, gak apa kok ma.” “Ya udah. Kakak duduk aja di kursi bentar lagi mama selesai, atau kakak mau sarapan duluan?” “Enggak, ma. Bareng aja.” “Ya udah tungguin kalau gitu.” Aku duduk di kursi tempat yang biasa aku duduki, Fina juga masuk ke dapur dan duduk di kursi dan tak lama kemudian mama telah selesai membersihkan tempat bekasnya memasak sarapan. Setelah mama mendekatiku, papa datang juga di susul Fari. Kami menyantap sarapan dengan khidmat dan setelah selesai sarapan, kami berbincang-bincang di ruang keluarga sambil menonton Tv. Tiba-tiba mamaku membuka suara. “Kak, selama ini ada yang menghubungi kakak, gak?” “Bentar, mama. Kakak pikir dan ingat-ingat dulu.” “Kelamaan mikir, kak Raline mah.” Celetuk Fina. “Kalau liat dari raut wajahnya sih kayaknya dia gak respon deh, ma.” Ucap Fari. “Bener, kak?” tanya mama. “Mama, mama kan tahu Raline gak akan respon kalau nomer itu gak ada nama atau gak kasih tahu melalui pesan singkat.” “Ya, ya. Mama yang salah, udah tahu watak anaknya, bukan perempuan gampangan.” “Okay, mama kasih tahu ya.” “Apa?” “Anak dari tante Eney, kamu tahu gak siapa?” “Kan mama belum kasih tahu, gimana Raline bisa tahu, ma.” “Celetuk.” Fari menggetok kepalaku dengan santai, namun terdengar jelas suara yang di hasilkan. “Aduh.” Aku mengaduh. “Ma, anak laki-laki mama dan satu-satunya itu, sudah berani dengan orang yang lebih tua dari dia.” Keluhku pada mama. “Hah, kalian ini. Fari buang kebiasaan seperti itu, kakak juga sih lemot.” “Kok lemot sih ma?” protes ku tidak terima, setelah dibela di jatuhkan lagi. “Itu loh, kamu ingat gak sama Abiyan Balin?” tanya mama aku tampak berpikir. “Teman SMP kakak.” Lanjut mama, otakku putar balik berpikir, dan seketika itu aku ingat. “Oh, ya ma. Kakak ingat, Abiyan teman kakak waktu SMP memang dia yang paling ganteng dan keren.” Ucapku. ‘Dan dia teman dari pacarku.’ Lanjut ku dalam hati, aku senyum-senyum pada mama dan papa menampakkan gigi kelinciku. “Kenapa senyum-senyum gitu, kak? Serem tau.” Ucap Fari. “Berisik lo.” Dengusku yang langsung merubah raut wajahku jadi cemberut, kemudian aku berniat untuk bertanya pada mama, sebenarnya kenapa? Kok mama tanya teman SMP ku itu. “Emang Abiyan kenapa, ma?” tanyaku yang mulai kepo. “Kakak, inget gak dulu pernah ikut mama arisan?” “Inget dong, mama. Mana mungkin Raline lupa apa lagi saat itu berkesan buat Raline karena mama promosikan Raline sama teman-teman mama.” Sindir ku. “Ya, habis udah tua belum punya pacar, kalah sama Fari juga Fina.” “Mama.” Rengek ku, dan mama menghela napas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD