Chapter 53

1502 Words
Ditengah-tengah sarapan, mama datang dan Fina menghampiri aku dan Fari di meja makan itu. “Kak Raline, Bang Fari.” “Ya, ma.” Sahutku setelah meneguk s**u di dalam gelas itu. “Maaf, mama gak buat sarapan hari ini, mama cuman siapin roti sama s**u aja.” “Gak apa, ma. Yang perut ke isi dan gak kosong. Lagian Fari juga akan terbiasa kok, sarapan roti dan gak harus pilah pilih makanan.” “Mama sama Fina mau kemana?” tanya Fari sambil mengunyah roti isi telur ceplok itu. “Mama minta antar Fina untuk arisan tempat temen, kak Raline tunggu rumah aja ya.” “Oke, ma.” “Oya, bang Fari mau keluar gak hari ini?” “Ya, ma. Keluar kok, bentar lagi.” “Ya udah Bang Fari hati-hati ya.” Nasehat mama dan Farri mengangguk kan kepalanya pada mama. Setelah kepergian mama dan Fina, tinggallah aku dan Fari yang tengah menikmati sarapan kami. Sarapan yang penuh dengan ke heningan, aku tidak tahu meksud Fari dia ingin menukar motornya yang seperti apa, tapi ya sudahlah biarkan saja dia tampak merajuk seperti itu, aku hanya fokus pada makanan ku saja dan segelas s**u, ia juga tampak fokus dengan sarapannya, setelah menghabiskan sarapannya, Fari bangkit dari duduknya tanpa sepatah kata pun dan aku hanya meliriknya sekilas, aku pikir sepertinya adikku itu benar-benar sedang merajuk. Setelah kepergian Fari dari meja makan, tinggallah aku sendiri aku terus menikmati sarapanku dengan roti, bahkan aku menambah kembali sarapanku. Aku berfikir, kenapa akhir-akhir ini Fari mulai sedikit berubah, dia yang dulu ramah dan selalu tersenyum apapun yang terjadi, kini mulai dingin, kenapa dia bisa berubah seperti itu? kini dia memiliki aura yang sangat kuat. Setelah selesai sarapan aku bangkit dari meja makan itu dan pergi ke halaman belakang menyusul Fari yang sedang terbaring di atas kursi malas itu. Aku mendekatinya, meski dia menyadari kehadiran ku akan tetapi dia tetap acuh dan tetap Fokus dengan kegiatannya. “Fari.” Setelah aku memanggil namanya itu, tidak juga ada jawaban, aku heran kenapa anak ini, benar-benar aneh. “Fari, apa yang kamu inginkan?” tanyaku, dia hanya menoleh menatapku sejenak kemudian kembali fokus dengan kegiatannya sendiri. “Fari, bilang saja.” Tegasku. “Aku udah bilang, aku boleh gak pinjam uang kamu untuk mengganti motorku? Aku hanya pinjam, nanti akan aku bayar setelah aku memiliki uang.” Ucapnya, aku tersenyum mengejek. “Memang, kapan kamu bisa memiliki uang? Kamu pelajar Fari.” “Aku memang pelajar tapi bukan berati aku tidak bisa memiliki uang.” Ketusnya, aku memandangnya dan sedikit menyunggingkan senyumku seraya berfikir, ‘Apa yang Fari maksud?’. “Bisa gak? Kamu ganti motor aku itu?” “Memang, kamu mau ganti motor apa?” “ “Kenapa kamu gak minta sama mama?” “Kamu juga tau, kak. Mama sangat membatasi anak-anaknya.” “Memang apa alasan kamu, ganti motor?” “Aku diputusin pacarku.” “Hahahha.. lalu? Kamu sakit hati dan seperti ini? Sangat bodoh.” “Moto Guzzi V7” “Hem, oke kalau kamu mau itu. aku turuti kemauan kamu.” Ucapku, aku melihat senyumnya yang terbit dengan mata berbinar, tak lama. Masuklah dua orang pemuda tampan dan keren ke halaman belakang menemui aku dan Fari. Kedua pemuda itu hanya mengenakan kaus dan celana jens robek-robek, akan tetapi meski penampilan mereka yang seperti itu tetap membuat mereka terlihat tampan sama sekali tidak mengurang kadar ke tampanan mereka. “Fari, Raline.” Panggilnya. “Abang Yanuar, Bang Tama.” “Hai.” Sapa Tama. “Kok bisa masuk?” tanyaku. “Aku yang kasih konci rumah.” Sahut Fari dan aku menaikan sebelah alisku. “Enggak kok. Tadi udah salam tapi gak ada jawaban, jadi karena ngeliat pintu kebuka perlahan masuk. Maaf karena kurang sopan.” Jelas Yanuar. “Gak apa, bang. Lagi pula papa sama mama kan udah anggap abang seperti anak sendiri.” “Ya, tapikan tetap saja gak sopan.” “Terserah lo pada.” Celetukku dan pergi meninggalkan mereka di halaman belakang itu. Aku berjalan menuju kamarku dan merebahkan tubuhku diatas ranjang dan menghela nafas, lalu memejamkan mataku. Papa? Ya aku mulai ingat papa, sekarng papa ada di mana dan lagi ngapain? Apakah dia sudah selesai sarapan? Entahlah. Aku mendengar sura dan galak tawa berasal dari halaman belakang tempat dimana aku meninggalkan Fari dan dua pemuda itu. aku membuka mataku dan beranjak dari atas ranjang, aku berjalan perlahan menuju balkon kamarku, aku mengintip keadaan di bawah tepat di halaman belkang itu perlahan, otakku kembali berfikir apa yang sedang mereka lakukan sekarang, sepertinya begitu asik dan serius meski di selangi galak tawa mereka. Ada rasa penasaran yang menelusuk ke dalam diriku, akan tetapi segera aku tepis, dan berjalan kembali masuk kedalam kamar, aku kembali menghempaskan tubuhku di atas ranjang dan mengambil ponsel pintarku disana. Aku menggeser layar ponselku dan ternyata aku menerima sebuah pesan dari papa, papa mengatakan bahwa dia baik-baik saja, bertanya tentang mama, mengapa mama sulit untuk di hubungi, apa papa lupa? Jika ponsel mama yang baru di tinggal dirumah? Apa papa lupa jadwal mama, jika hari ini mama akan ikut arisan? Segera aku membalas pesan papa. *** “Fari, mau kemana?” tanyaku saat Fari akan melewatiku yang tengah duduk di depan Tv itu. “Ada urusan.” Sahutnya, ada aku melirik ke arah Yanuar dan Tama, Yanuar hanya menyunggingkan sedikit senyumnya yang terlihat lembut itu. “Mau latihan, Raline. Mau ikut? Sekalian kamu juga bisa ikut latihan dengan kami.” “Bang, jangan biar dia dirumah, perempuan gak harus melakukan kegiatan lelaki.” “Kenapa enggak.” Ucapku dan berdiri langsung dari dudukku. “Dirumah aja kak, sebentar lagi mama pulang. Kita cuman sebentar kok, gak lama.” Ucap Fari dan langsung berjalan melewati aku, Yanuar dan Tama tersenyum ke arah ku. “Lain kali saja, aku akan mengajarimu, latihan.” Ucap Yanuar yang berlalu menyusul Fari yang sudah berjalan lebih dahulu. *** Aku bingung mau ngapain, ditinggal sendiri di rumah, Fari sudah pergi dengan kedua teman barunya sedangkan mama dan Fina belum pulang. Aku berfikir kira-kira apa yang harus aku lakukan saat ini. Jadi aku berencana untuk menghubungi teman masa kecilku yang selalu ada untukku, ya siapa lagi jika bukan Rumi. Segera ku rogoh ponsel yang ada di dalam saku dress yang aku kenakan. “Halo.” Ucap seorang pria tinggi nan tampan yang ada di layar ponselku itu. “Hai, Rumi.” “Ya.” “Sedang apa?” “Eh? Baru bangun tidur saat kau hubungi aku.” “What? Ini soree.” “Ya, aku shif pagi, baru pulang.” “Hm, kau sudah makan?” “Belum.” “Ihhh, jorok. Kau pasti belum mandi ketika sampai.” “Memang.” “Dasar, cepatlah bangun. Ajari aku membuat makanan.” “Sebentar lagi.” “Tidak ada waktu sebentar lagi pun, sekarng. Cepat bangun.” “Baiklah-baiklah, kau mau buat makanan apa fashion desinger?” “Makanan yang enak, khas indonesia.” “Tinggal sebut saja.” Ya, aku sering sekali meminta Rumi untuk mengajari aku memasak, karena dia sangat pandai memasak, dia adalah seorang koki bagaimana tidak, jika dia tidak pandai memasak mana mungkin menjadi koki dengan bayaran yang fantastis. Jangan tanya aku pandai memasak atau tidak, aku bisa memasak hanya saja tidak pintar, dan dulu aku juga sangat berusaha keras bisa memasak makanan khas italia saat masih bersama Barack aku meminta ajarkan resep dari bundanya Barack, tapi meski begitu belajar juga tidak cukup sekali langsung bisa, setelah mendapatkan resep dari bunda Elvina dan di ajarkan sekali, setelahnya aku meminta Rumi untuk mengajariku, sampai akhirnya aku faham dan bisa memasak makanan kesukaan Barack. “Aku ingin membuat Gulai ikan patin khas Jambi.” “Oke, sebentar cuci muka dulu.” “Okee.” Ucapku. Seraya menunggu Rumi bersiap dan mencuci wajahnya aku menaruh ponselku diposisi yang pas agar terlihat semua saat aku akan melakukan kegiatan memasak nanti. Aku melihat layar ponsel Rumi yang tengah mencuci mukanya, tidak tahan rasanya aku ingin menertawakan sahabatku itu, dia terlihat sangat lucu, saat aku mengganggu posisi ternyamannya. Setelah Rumi selesai mencuci wajahnya dia, meletakkan ponselnya di posisi yang pas juga, agar memudahkan segala komunikasi dan kegiatan kami. Aku tersenyum menatapnya yang tengah sibuk mencari posisi yang pas, saat pandangannya tertuju padaku dia tersenyum aku tertawa. “Apa yang sedang kamu lakukan?” “Sedang, mencari posisi yang pas.” “Oke, aku tunggu.” Setelah mendapatkan posisi yang pas dan akhirnya kami akan memulai kegiatan kami memasak, yaitu memasak gulai ikan patin yang berasal dari jambi. Ia menyuruhku untuk menyiapkan segala keperluan dan bahan-bahannya. Yang tidak harus sibuk dulu mencari ke pasar karena dirumah saja sudah komplit, dia tersenyum menatapku. “Apa semua sudah siap?” tanyannya. “Apa saja yang di butuhkan?” tanyaku dan dan menatapnya, dia malah tertawa. “Hei, apanya yang lucu? Mengapa tertawa?” “Ikan patin, kau punya?” “Tentu saja, aku punya.” “Tunjukkan padaku.” Titahnya, dengan patuh aku mengambil ikan yang sudah aku letakkan di dalam baskom dan menunjukkan ikan itu padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD