Chapter 52

1500 Words
“Gimana disana?” “Disana apanya?” aku kembali bertanya. “Usahanya.” “Oh, baik-baik aja kok, semakin lancar, alhamdulillah.” “Syukurlah. Jadi, gak bisa di pindah disini ya, pusatnya?” “Maksudnya?” “Ya, kamu bisa buka disini aja, jadi kamu kerjanya ya disini.” “Enggak bisa, udah nikmat disana.” ketusku. “Ehhhmm. Ya gak bisa di paksain juga kan.” Ucapnya pelan. “Memanglah, jangan pernah maksakan kehendak.” “Enggak kok.” “Baguslah.” Ucapku. “Hai ini dia minumannya sudah selesai mama buat.” Ucap mama yang datang dengan membawa gelas minuman dan kue itu. Entahlah, yang Abiyan mau seperti apa. Tapi yang jelas jika dia berharap aku akan tinggal disini maaf aku tidak bisa Abiyan, dan lagi untuk membuka hati dan mencintai kamu itu sudah aku coba tapi belum bisa. Sebuah rasa memang sulit, tidak bisa di paksakan. “Abiyan di minum ya jangan di anggurin aja, kuenya juga di makan ini buatan sendiri loh, tante yang buat tadi.” “Makasih tante.” “Ya, harus di coba, nanti kamu bakal ketagihan loh.” Ucap mama dan tersenyum ramah pada Abiyan. “Ini emang enak sih tante. Ini tante yang buat? Berati tante gak berubah ya, dari dulu memang the best kalau buat makanan.” “Ya, dong. Walaupun tante seorang desinger tapi bukan berati tante gak bisa masak, justru memasak itu merupakan hobby tante loh nak Abiyan.” “Iya sih tante, benar. Hobby memang gak bisa di tinggali dan gak sama dengan profesi.” “Kalau nak Abiyan kan profesinya seorang dokter ya, tapi kalau hobby apa?” “Kalau hobby Abiyan berolahraga tante.” “Ohhh, iya olahraga itu lumrah, kebanyakan lelaki memang suka olahraga sih setahu tante.” “Ya, benar tante dan gak cuman laki kok tante, bahkan perempuan juga banyak yang hobby olahraga lagi pula jenis olahraga juga sudah banyak ada yoga, senam Arobek dan lainnya.” “Ya, bener banget, tapi kalau modelan Raline tante sendiri heran kenapa hobinya tidur.” “Mama.” Baik mama dan Abiyan kompak, mereka tertawa. Menyebalkan sekali, mengapa mereka menertawakan aku. “Aku bukan hobby tidur, tapi hobby juga bukan gak punya justru hobby aku banyak gak cukup satukarena aku gadis multitalen semua harus seimbang, gitu.” “Iya tau mama juga, Raline kan gadis yang sangat berharga orang bodoh yang enggak liat Raline disini sampai lulus kuliah dan bekerja sukses juga tidak ada yang melihatnya.” “Tapi Abiyan ada disini loh tante.” “Iya, kalau nak Abiyan ya gak buta lah, mungkin karena nak Abiyan satu-satunya yang akan menjadi jodoh Raline.” “Aaaamiiin..” Percakapan mama dan Abiyan membuatku menghela nafas lelah, bukan apa mama bicara begitu. Karena aku belum pernah memperkenalkan atau menceritakan seseorang yang aku cintai atau menceritakan siapa pacarku setelah dulu aku pernah di tinggal nikah, sangat sedih jika ingat dulu,ceritanya ada di Buku 2: ADUS “Flashback”. Setelah kami, mama, Aku dan Abiyan bercakap-cakap akhirnya Abiyan pamit pulang karena sudah semakin larut, dan aku mengantar Abiyan sampai depan pintu keluar rumahku. “Raline, jadi lo akan disini terus selama papa kamu belum pulang?” “Ya, itu pesan papa. Aku harus disini jaga mama dan Fina selama papa belum pulang aku akan selalu ada di sini mama dan Fina.” “Ya udah kalau gitu, aku pulang ya.” “Ya, ati ati di jalan.” Ucapku dan Abiyan meresponnya dengan sebuah senyuman di wajah tampannya itu. Setelah lelaki itu keluar dan menghilang ditelan pagar aku kembali masuk kedalam rumah. “Raline, sini duduk dulu. Ada yang akan mama bicarakan.” “Ya, ma.” Ucapku patuh dan langsung duduk di depat mama, aku bergelendot di lengan mama, memeluk lengannya dengan lembut. “Kak, Abiyan lelaki yang baik loh.” “Ya.” “Perkembangan hubungan kalian sudah sampai mana?” “Ma, mama jangan khawatir, suatu hubungan juga gak bisa di paksakan, gak akan baik. Biar semua mengalir adanya.” “Tapi, kakak harus membuka hati, nanti nyesel loh, Abiyan itu pemuda yang baik, sopan dia juga tipe lelaki idaman para wanita. Kakak bisa lihat dan rasakan itu kan?” “Ma, Abiyan memang pemuda yang seperti itu tapi biar hati Raline mencobanya.” “Mama mengerti Raline, tapi penysalan itu datang terlambat.” “Mama jangan terlalu khawatirkan Raline, Raline percaya pada Tuhan.” Ucapku tegas dan meninggalkan mama di tempat itu bersama Fina. Aku melangkah menuju kamar aku lelah sekali rasanya dan ingin istirahat, aku ingin saat bangun esok pagi sudah menghilang segala yang menjadikan beban di pikiranku. *** Entah aku sedang berada dimana saat ini, aku merasa seperti berdiri di suatu tempat tapi aku sendiri tidak dapat melihat apapun saat ini, aku merasa wajahku terasa panas sampai bagian lenganku, akan tetapi di uung kaki aku merasa kedinginan, dimana aku saat ini? Aku merasa di bagian wajahku semakin panas, aku mulai tidak tenang memikirkan itu, aku menggeser tubuhku dan kini di wajahku sudah mulai tidak terasa panas lagi, akan tetapi kenapa jadi bagian belakang kepala dan punggungku sekarang yang terasa panas. Aku mulai merasa panik, befikir apa yang terjadi dan dimana aku saat ini, kenapa aku tidak bisa mengenali tempat ini dan tempat ini juga tidak ada apa-apa hanya terpaan anggin yang aku rasa pepohonan sekalipun tak nampak. Aku mulai menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku dalam kebingungan dan rasa panik terus menelusuk dalam pikiranku aku mulai menangis sekarang, terisak. Tiba-tiba tangisanku berhenti ketika ada sebuah suara yang sangat familiar itu terdengar di gendang telingaku. “Kak Raline, kak.” Tok Tok “Kak.” “Kak Raline, ayo bangun, udah siang loh.” Seketika itu juga kesadaranku kembali, aku mulia membuka mataku perlahan, menatap sekeliling ternyata aku ada di kamarku sendiri, manik mataku menangkap sebuah jam beker di atas nakas, ternyata sudah menunjukkan pukul delapan pagi segera aku beranjak dari atas ranjang dan berlari menuju kamar mandi yang sebelumnya aku berteriap pada Fina yang ada di balik pintu kamarku itu. “Ya udah bangun.” Teriakku dan melangkah masuk kedalam kamar mandi yang ada di dalam kamarku itu. Setelah selesai didalam kamar mandi aku keluar kembali dan meminum segelas air putih yang ada di atas nakas, setelah meletakkan kembali aku mengambil ponsel pintarku yang bertengker di atas nakas, aku menggeser layarnya dan mendeal sebuah nomer. “Halo, boss.” “Tika, kalian sudah di butik?” “Ya, boss.” “Tolong di handle selama saya tidak ada di butik. Karena saya masih ada urusan yang harus segera diselesaikan.” “Baik, bos. Berapa lama bos tidak ada di butik?” “Belum di tentukan, Tika. Tapi jika ada apa-apa, segera hubungi saya ya.” “Baik bos.” Setelah panggilan itu terputus aku kembali menghubungi seseorang yang ada di kantor, kalian pasti tahu siapa yang aku maksud, ya dia adalah Amy asistenku sekarang. Tuttt Tuutt “Halo.” “Amy.” “Ya, bos.” Selain mengabari Tika di bagian costumercall, aku juga menghubungi Amy sebagai asisten pribadiku di butik, tentu saja dia yang akan menghendel semua disana. setelah memberi tahu Amy panggilan telefon kami pun terputus, setelah selesai mengabari para pegawaiku aku kembali ke meletakkan ponselku di atas nakas. Aku berjalan keluar kamar dan menuju meja makan, aku berpapasan dengan Fari yang akan ke arah yang sama yaitu meja makan. “Baru bangun kak?” “Ya, kamu baru bangun juga tah? Tumben pagi.” “Aku emang selalu pagi kalau bangun tidur.” “Enggak ada yang tanya kayaknya sih.” Sahutku acuh dan mendahuluinya. “Kak.” Panggilnya ketika kami sudah sama-sama duduk di kursi meja makan itu, aku mengambil roti juga selai coklat di atas meja. “Apa?” sahutku sambil mengoleskan selai coklat itu di atas roti yang ada di genggamanku. “Boleh lah.” “Apanya yang boleh? Kalau ngomong yang jelas kenapa.” Ketusku melihat tingkahnya, roma-romanya ada udang di balik bakwan nih. Eh, maksudku, ada udang di balik batu. “Kan, aku belum bisa cari duit.” “Emang.” “Uang jajan dari papa, dikasih mama pas-pasan.” “Mama emang pinter mengendalikan ke uangan.” “Kak.” “Mmm.” “Boleh lah.” Aku menoleh ke arahnya dan berdecak kesal, jika ada maunya selalu buat kesal kenapa tidak langsung saja bicara apa maunya. “Hehehe.. aku, pengen ganti motor.” “Maksudnya? Aku gak ngerti, bukannya motor kamu masih bagus?” “Ya, masih bagus.” “Terus kenapa mau ganti motor?” “Ya, kebutuhan juga kak.” “Ck, gak usah ngadi-ngadi ya.” “Kak. Tolonglah, nanti kalau aku udah kerja, aku ganti.” “Salah siapa gak pinter nabung.” “Kak, bukan aku gak mau nabung, tapi emang uang jajan aku pas-pasan.” “Pas-pasan apanya? Jelas-jelas kamu bisa teraktir temen-temen kamu.” Sekarang gilian Fari yang berdecak kesal, melihat wajahnya yang kini tanpa ekspresi membuatnya terlihat dingin sama seperti papa, memikirkan itu membuatku mengalihkan pandangan dan menghela nafas, aku merindukan papa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD