Chapter 54

1599 Words
“Apa semua sudah siap?” tanyannya. “Apa saja yang di butuhkan?” tanyaku dan dan menatapnya, dia malah tertawa. “Hei, apanya yang lucu? Mengapa tertawa?” “Ikan patin, kau punya?” “Tentu saja, aku punya.” “Tunjukkan padaku.” Titahnya, dengan patuh aku mengambil ikan yang sudah aku letakkan di dalam baskom dan menunjukkan ikan itu padanya. “Hei, halo paman tampan, ini aku ikan patin yang kau maksud, dan sebentar lagi aku akan di masak oleh teman cantikmu ini. Sangat pilu nasibku, tapi apalah dayaku aku hanya seekor ikan yang kodratku akan menjadi santapan manusia.” Ucapku mengubah suara dan menggerak-gerakkan ikan itu di depan layar ponselku, saat melihat aksiku itu, Rumi malah tertawa dengan kesal aku menatapnya. “Kenapa kau tertawa seperti itu?” tanyaku dengan menggenggam seekor ikan itu. “Kau salah mengenali ikan, tuan putri.” Ucapnya yang sepontan aku menoleh kearah ikan ku. “Apanya yang salah? Ini memang ikan.” “Ya, itu memang ikan, aku mengatakan kau salah mengenali ikan, bukan?” “Ya.” “Itu bukan ikan patin, tapi ikan nila.” “Benarkah?” “Ya.” “Lalu ini ikan apa?” “Itu ikan nila.” “Lalu? Aku ingin gulei patin.” “Tidak masalah, anggap saja itu patin. Jadi, Gulai ikan nila khas jambi. Hahah.” Ucapnya sambil tertawa dan aku memanyunkan bibirku, melirik ke arahnya yang tampak senang. “Aku masih memiliki stok ikan.” Ucapku yang membuatnya berhenti tertawa. “Tunjukkan padaku, biar aku pilihkan.” “Oke. Tunggu.” Ucapku. Aku bergegas menuju kulkas dan mengambil beberapa simpel ikan, kemudian aku tunjukkan padanya satu persatu. “No, itu krisi.” “No, itu gurame. “No, no itu lele. “Lalu yang mana?” tanya ku kesal. “Yang ini?” lanjutku kembali menunjukkan satu lagi simpel ikan. “Ha, ya itu patin.” Ucapnya yang membuatku berbinar senag karena dia mengatakan bahwa itu adalah ikan patin, kemudai aku mengerutkan dahiku bingung. “Kau membohongi aku?” “Tidak.” “Jelas ini bukan ikan, tapi ini udang, kesukaan Fari dan papa.” Protesku dan ia kembali tertawa yang membuatku semakin kesal. “Bukan yang sedang kau pegang. Tapi yang ada di atas meja itu.” ucapnya menunjukkan salah satu kemasan ikan disana, hingga pandanganku mengarah ke arah satu kemasan lagi. “Yang ini maksudmu?” tanyaku meminta kepastian. “Ya.” “Kau tidak sedang menjahili aku lagi?” tanyaku. “Tentu saja tidak, jika kau tidak percaya silahkan cari di mbah google saja.” “Oke, aku percaya. Aku akan merapihkan ini kembali.” “Oke. Ucapnya.” Aku kembali merapihkan kemasan-kemasan ikan itu kedalam lemari pendingin, kemudian aku kembali menghampiri ponselku. “Lalu, apa lagi yang aku butuhkan?” “Minyak makan.” “Sudah siap.” “Jeruk nipis.” “Sudah.” “Santan.” “Berapa liter yang aku butuhkan?” “10 liter.” “Hiiks, lo kira mau renang?” “Hahaa.. 200 ml saja untuk santan kental.” “Apa menggunakan santan encer juga?” “Ya, setengah liter untuk santan encer.” “Oke, biar aku takar dulu.” Ucapku, lalu aku sibung menakar santan itu mulai dari santan kental, lalu aku mulai bingung dengan santan encernya. Aku kembali ke depan layar ponsel. “Boleh aku bertanya?” “Apa?” “Santan encer, cara membuatnya seperti apa biar tidak terlalu encer atau ke kebtalan.” “Oke, tuang saja santan 100ml kedalam wadah dan ruangkan airnya hingga setengah liter.” “Baiklah.” Aku kembali menuangkan santannya. “Sudah. Lalu apa lagi?” “Daun salam, kau masih ingat daun salam kan? Ingat daun salam bukan daun jeruk.” “Ya, oke.” Ucapku dan mengambil daun salam, menunjukkan lagi padanya. “Yang ini?” “Wah pintar sekali.” Pujinya. “Aku memang pintar.” Banggaku. “Sesendok teh gula pasir.” “Oke, sudah.” “2 batang serai.” “Serai?” “Ya.” “Hanya ada satu.” “Abil dulu di halaman belakang, masih ada toga bukan disana?” “Ya, masih. Baiklah aku ambil dulu.” “Oke.” Aku bergegas membuka pintu kaca menuju halaman belakang dan mendekati Toga disana, aku mengambil sebatang serai yang ada di sana, membersihkannya. Kemudian aku kembali ke dapur dan menunjukkan serai itu pada Rumi. “Bagus sekali, Raline. Sekarang, 8 siung bawang merah.” “Sudah.” Ucapku yang menunjukkan bawang merah di dalam mangkuk. “Di kupas dulu, sweety.” “Oke, oke aku kupas terlebih dahulu.” Ucapku yang langsung mengambil pisau lalu kukupas bawang merah itu. “Yeah done, selesai.” “Oke, 5 siung bawang putih.” “Hanya lima?” “Yeah.” “Okay. Done.” “Merica dan 2cm jahe.” “Jahe?” “Ya.” “Tidak ada, habis.” “Kebun toga, apa sudah tidak ada lagi?” “Mungkin ada, wait. Aku ambil dulu.” “Oke.” Setelah mendengar sahutan dari Rumi aku langsung bergegas pergi menuju halaman belakang untuk mengambil jahe. Setelah apa yang ku cari telah aku dapatkan, langsung saja aku kembali ke dapur. “Sudah.” “Sekarang, 3 buah kunyit dibakar yang kau siapkan di bakar terlebih dahulu.” “Kunyut? Disini belum ada.” “Ya di cari.” “Rumiiiiiii.. aaaahhhh, kau mengerjai aku.” Keluhku setelah menjerit kesal. “Maaf lupa, wajar manusia biasa. Aku pikir sudah disiapkan.” “Dasar tunggu aku ambilkan kunyit, selain kunyit apa lagi?” “4 buah kemiri disangrai.” “Okay, kemiri sudah ada, berarti aku tinggal ambil kunyit saja.” “Yaps.” Aku kembali lagi ke halaman belakang, dasar Rumi mengerjai aku saja dia, lelah rasanya belum juga di buat. Setelah mengambil kunyit aku kembali ke dapur. Ya, aku memiliki kebun toga yang mana terdapat tanaman obat keluarga, tanaman herbal dan juga rempah dapur. Dengan kesal aku merancau entah apa yang aku bicarakan, tapi yang aku lihat Rumi tampak tersenyum melihatku, rasanya aku jadi malas untuk bertanya kembali, jadi lebih baik aku diam saja di depannya dengan melipat kedua tanganku. Rumi menyunggingkan senyum manisnya. “Kenapa, hanya menatapku?” tanyanya. “Aku memang tampan, banyak wanita yang terpesona akan ke tampanan ku.” Ucapnya percaya diri sambil mengacak rambutnya, segera aku merubah ekspresiku dengan ingin muntah rasanya, melihat tingkah rumi. “Hoek, hoee..” acting ku berlari kedepan wastafel, sambil melirik kearahnya, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. “Kau kenapa, cantik? Hamil? Bilang padaku, siapa yang berani menghamili sahabatku ini.” Ucapnya. “Huh! Menjengkelkan.” Kesalku, dia masih saja tertawa. “Oke, oke.  Silahkan ikan patinnya kau bersihkan terlebih dahulu, lalu kau putong-potong sesuai selera.” “Oke.” Aku memotong-motong ikan patin sesuai seleraku, tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil, dengan ukuran sedang. “Sekarang, Olesi ikan patin selama dengan 1/2 sdt garam dan 1/2 sdt air jeruk nipis dan diamkan 10 menit. Sembari menunggu, haluskan dulu bumbunya.” “Apa saja bumbu yang di haluskan?” “8 siung bawang merah, 4 buah kemiri, disangrai, 3 kunyit, dibakar, 5 siung bawang putih, 1/2 sdt merica, 2 cm jahe.” Ucap Rumi yang membuatku cepat bergerak dan menghaluskan bumbu tersebut, setelah halus aku kembali bertanya pada Rumi.  “Selesai bos, lalu bagaimana?” “Tumis bumbu halus beserta serai dan daun salam hingga tercium wanginya. Ingat, sampai tercium bau wangi.” “Ya, tau.” “Oh, jadi sudah tahu? Kenapa memintaku untuk mengajarimu?” “Bukan itu maksudku.” “Hahah, baiklah, baiklah.” “Ini sudah wangi, lalu aku harus apa? Masukkan ikannya atau bagaimana?” “Jangan panik, Tuangkan santan ecer, gula pasir, dan garam dan masak sampai mendidih. Jika sudah mendidih, Masukkan ikan patin dan masak sampai matang.” “Oke, oke.” “Jangan lama-lama, sekarang Tuangkan santan kental, masak sampai mendidih, cicipi dulu bagaimana di lidah mu?” “Emm, lumayan. Tapi sepertinya kurang kaldu.” “Tambahkan sendiri.” “Ya.” “Bagaimana sekarang?” “Emm enak, wah buat perdana dan tidak gagal, aku senang sekali, terimakasih Rumi. Terima kasih banyak sahabat kecilku yanmg baik hati, ramah tamah dan rajin menabung.” “Teruslah kau puji aku, awas saja jika setelahnya kau banting aku dengan sangat keras.” Ucapnya pelan. “Coba kau sudah menikah pasti istri dan anak-anakmu akan bangga padamu.” “Kan, banting sajalah aku ini.” Keluhnya, dan aku tersenyum menatapnya dengan bangga. “Baiklah, sekarang pukul berapa? Wah, sebentar lagi makan malam, aku akan menata masakanku dulu.” Ucapku dan langsung mengambil tempat untuk sayurku itu, menempatkannya di wadah yan g aku pilih untuk gulai ikan patin khas jambi yang ku buat itu. setelah menatanya, aku menaruh peralatan yang kotor karena telah ku pakai untuk gulai ikan patin tadi. “Rumi, i love you so much.” “Love you more.” “Kau sangat baik, beruntunglah aku memiliki seorang sahabat seperti kamu.” “Ya, aku memang baik hati.” Aku mendengar Rumi memuji dirinya sendiri, aku tersenyum. “Pastilah, pacarmu juga sangat bangga memiliki kamu.” Ucapku yang membuatnya tampak berfikir. “Kamu mengejekku?” tanyanya. “Aku belum punya pacar, sejak ditinggal nikah.” Jelasnya. “Ah? Maaf, aku lupa Rumi. Karena sangat senag bisa membuat gulai ikan patin ku tidak gagal.” “Tidak apa, tidak apa.” “Yakin, kau tidak marah padaku?” “Tentu saja, mana bisa marah pada sahabatnya sendiri.” “Terimakasih, Rumi. Sayang kamu.” “Oke, simpan dulu pujianmu itu. sekarang aku ingin bertanya padamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD