Chapter 55

1515 Words
“Rumi, i love you so much.” “Love you more.” “Kau sangat baik, beruntunglah aku memiliki seorang sahabat seperti kamu.” “Ya, aku memang baik hati.” Aku mendengar Rumi memuji dirinya sendiri, aku tersenyum. “Pastilah, pacarmu juga sangat bangga memiliki kamu.” Ucapku yang membuatnya tampak berfikir. “Kamu mengejekku?” tanyanya. “Aku belum punya pacar, sejak ditinggal nikah.” Jelasnya. “Ah? Maaf, aku lupa Rumi. Karena sangat senag bisa membuat gulai ikan patin ku tidak gagal.” “Tidak apa, tidak apa.” “Yakin, kau tidak marah padaku?” “Tentu saja, mana bisa marah pada sahabatnya sendiri.” “Terimakasih, Rumi. Sayang kamu.” “Oke, simpan dulu pujianmu itu. sekarang aku ingin bertanya padamu.” “Oke, oke, bertanya apa?” “Hmmm, sebenarnya siapa pria beruntung, yang telah berhasil memikat hatimu?” “Maksudnya?” “Ya, sebagai sahabatmu sedari kecil, bukan kahu aku cukup paham dengan sikap dan karakter sahabatnya?” “Ah, aku.. aku tidak sedang mendekati siapapun saat ini.” “Tapi?” “Tapi, apa?” “Ya di jelasakan, apa tapinya itu?” “Oke, dengarkan aku.” “Aku hanya ingin berterima kasih saja, dengan anak dari sahabat papa, karena telah membantu papa dan keluarganya ini.” “Hm, siapa sih?” “Ada deh, nannti juga kamu pasti tau kan.” “Ya sudah, habis manis sampah di buang dah.” “Apa maksudmu?” “Gak apa, hahaa becanda  honey.” “Hais, aku juga mau bilang terima kasih sama sahabatku yang baik hati ini, dia adalah pahlawanku, berkat dia aku bisa menyelesaikan masalhku tentang dapur.” “Hmm, cuman ucapan?” “Maunya?” “Berbentuk juga.” “Okay, nanti aku kirim yang berbentuk ya.” “Apa itu?” “Maunya apa? Tinggi, putih, langsing?” “Bihun dong, haha” “Nah, itu tau.” “Wah jahat ya.” “Haaahha becanda honey.” “Oke, ya udah yang penting ilmunya di terapin ya, di ingat jangan di lupakan, mantan aja sulit lo lupain masa yang penting selalu ada di hidupmu dengan mudah lo lupain sih.” “Iyaa, bawel. Aku ingat kok.” “Baguslah. Ya udah, semangat. Mudah-mudahan rasanya enak, gak bikin muntah saat kesan pertama jadi lo gak keliatan kalau gak niat mau buatnya.” “Ck, bawel banget dah, buset. Dah kayak mak-mak rempong aja lo, sementang lihai di dapur.” “Hahhaa, ya sudah, ya sudah. Bye bye.” “Oke, bye bye.” Tuttt Panggilan video call itu akhirnya telah berakhir, aku tersenyum menggenggam ponsel pintarku, sembari memotret hasil masakanku, lalu aku kirimkan pada Rumi foto gulai ikan patinnya lalu aku selfie dan mengirimkannya juga dengan diikuti ucapan terima kasih padanya. Tak berapa lama aku mendapat balasan berupa foto selfienya yang juga di ikuti dengan ucapan “sama-sama”, aku tertawa melihatnya, lalu aku merapihkan tempat makan itu. Aku masuk kedalam kamarku lalu membersihkan tubuhku yang telah bergulat di depan pantry. Setelah selesai tepat pukul 19:00 wib, ternyata mama dan Fina sudah sampai rumah, Fari dan Yanuar juga baru sampai dan masuk kedalam rumah. “Mama, Fina. Ayok kita makan dulu, Raline udah siapin kok, untuk makan malam kita.” “Wah, beneran kak? Pasti ada makanan khas italia itu kan?” “Enggak, dek. Ada gulai ikan patin kok.” “Gulai ikan patin, kak?” sambar mama dari depan Tv itu. “Ya, ma.” “Pasti, kak Raline ngerepotin mas Rumi deh.” Tebak Fina dengan tepat, saat mama menatapku aku hanya menampakkan cengirku saja. Fina yang sudah dahulu ke meja makan melihat-lihat isi meja makan itu, dan mama juga berjalan melewatiku menghampiri Fina yang ada disana. “Ini cicipi dulu, ma. Biar gak nyesel.” “Aku capek loh, buatinnya.” Keluhku, mama dan Fina tersenyum ke arahku, sambil mencicipi gulai ikan patin yang telah aku buat. “Emh, ini enak kak.” Puji mama yang membuatku mengembangkan senyum dengan cepat. “Apa iya, ma. Coba Fina coba dulu.” Fina yang langsung mengambil sendok dan menyuapi guah gulai itu ke dalam mulutnya. “Emh, iyaa ma, ini enak loh.” Puji Fina juga, aku semakin mengembangkan senyumku. “Tumben kakak masak, kenapa kak?” “Gak apa, lagi pingin aja.” Ucapku yang masih tersenyum, melihat kehadiran Fari dan Yanuar yang akan melewati meja makan, itu. langsung mama menegur mereka dan mengajak untuk dapat bergabung dan makan malam bersama. “Fari, Yanuar. Sini nak, kita makan bersama ya.” “Ya, ma.” Ucap Fari menurut yang disusul dengan Yanuar. “Wah, tante gulai ikan patinnya, enak sekali.” “Oya, enak? Yanuar suka?” “Ya, tante. Ini sayur kesukaan Yanuar.” “Oh, ya. Tante lupa, dulu waktu kamu kecil juga kan memang suka sama gulai ikan patin. Haha.” “Ya, tante. Sampai nangis, gegara pengen gulai ikan patin.” “Lucu sekali ya dulu, haha.” “Ya, tante. Namanya juga anak kecil, sukanya nangis, hahaa.” “Hm, jangankan anak kecil, nangis masih wajar. Lah kalau udah gedek, bukan gedek lagi, udah dewasa. Tapi masih banyak yang nangis, apa lagi nangis karena diputusin pacar, gak sih kalau di putusin pacar, tapi yang lagi marak sekarang di gosting dan di selingkuhi.” Celoteh mama, yang di sambut oleh galatawa semua orang yang ada di meja makan itu. Aku senang dengan hari ini, karena melihat mama kembali ceria dan tertawa lepas lagi, Fina juga tidak nangis lagi, dan Fari juga jauh lebih tenang. Akan tetapi, tetap saja bagi ku, ada yang kurang, yaitu, papa Hamka Rafic, papaku. Aku tersenyum samar dengan memikirkan tentang papa, berharap kasus papa ini cepat terselesaikan, hatiku pasti akan jauh lebih tenang dan senang. Papa, jangan pernah lagi melakukan hal-hal yang membahayakan lagi, papa tidak tahukan kena apesnya itu kapan dan seperti apa. Meski papa ingin membantu orang-orang yang lebih membutuhkan, tapi tidak seperti ini pa, kau membuat aku mama dan adik-adik cemas. Ditengah percakapan itu juga, mama menyinggung papa. Mama kembali bertanya pada Yanuar yang juga menangani kasus ini, dan alhamdulillah, yang hadir adalah kabar baik, meski banyyak yang sudah mengintai anak buah papa, tapi beruntung para anggota utusan itu tidak menemukan bukti, dan papa juga sudah menelusuri bukti, dan perlahan akan terbongkar siapa dalang di balik kasus ini. “Tante, jangan khawatir. Aku juga udah ngutus anak buah saya untuk membantu om Hamka menyelesaikan kasus tuduhan ini, dan sudah mulai menemukan titik terangnya.” “Benarkah, nak Yanuar?” “Benar, tante. Jadi jangan cemas, om Hamka pasti akan pulang dengan selamat, dan ke adaan yang baik-baik saja, percaya deh tante. Karena, om Hamka sekarang dibawah perlindungan saya.” “Sekali lagi, terima kasih banyak ya, nak Yanuar. Kami sangat beruntung, karena kamu datang di waktu yang tepat.” Ucap mama dengan tulus dan Yanuar tersenyum lembut. Aku akui Yanuar memang sangat baik pada kami, bahkan dia menganggap keluarga kami adalah sebagai keluarganya sendiri. *** Pagi yang cerah, siapa yang mengganggu ketenang tidur putri? Tidurku terusik dengan suara dering yang berasal dari ponsel pintarku itu, aku menggeliat bergerak malas, tanganku menjangkau nakas dan mencari sesuatu yang aku cari, ups, maksudku ya ponsel pintarku itu. “Ya, Halo.” “Halo, bos? Aku ganggu gak ya?” “Enggak ada apa?” “Bos, baru bangun tidur? masih di atas kasur?” “Kok tau?” “Denger suara bos.” “Ck, ada apa kalian menghubungi aku?” “Kami ganggu, bos?” “Ya, sangat mengganggu. Ada apa?” “Bos, marah?” “Sangat marah, tapi kalau bos kalian ini marah sampai pecar kalian, nanti bos kalian ini gak akan dapat pegawai seperti kalian yang sangat bagus kinerjanya.” “Wah benar itu bos, seharusnya bos naikan lagi gajinya.” “Kaliaaaan..” “Hehehe, becanda bos. Ehm, jadi gini bos. Kami menghubungi bos, karena ada teman bos, yang datang kesini, tuh sekarang lagi makan rujak.” “Temanku? Siapa?” “Namanya Nike, teman bos yang sering datang mengunjungi bos.” “Ahh, oke. Biar nanti aku menghubungi dia.” “Oke bos. Soalnya tadi dia menghubungi bos tapi tidak juga ada sahutan dari bos, agak masam mukanya bos dia langsung masuk dan menyuruh kami berdua Tika untuk menghubungi bos.” “Ya, ya sudah. Biar aku menghubungi dia, aku akan mencuci wajahku dulu.” “Oke, siap bos.” Setelah panggilan telefon dari Mira dan Tika terputus, aku menghubungi Nike, dan ternyata tidak diangkat juga, sudah berkali-kali tidak juga di angkat, wah dasar memang anak itu. Segera aku menaruh ponselku kembali ke atas nakas dan berjalan memasuki kamar mandi yang ada di dalam kamarku itu. setelah menyelesaikan ritual pagiku di dalam kamar mandi, segera aku keluar dan melihat ke arah nakas, ternyata ponselku berdereng, segera aku menghampirinya dan mengambil ponselku itu, ternyata ada panggilan Video dari Nike, aku tertawa menatap ponselku ada apa dengan Nike, sahabatku itu kadang suka semanya sendiri, tidak diangkat panggilannya marah, ketika di telfon balik dia acuh, giliran didiamkan dia akan semakin protes, pasti dia sedang merajuk dan mengomel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD