Chapter 15

1509 Words
“Anak nakal.” “Ampun, pa. Kan gak ada salahnya, pa.” Ucap Fari menunjukkan senyumnya. “Minta, gak malu.” “Enggaklah, pa. Sama kakak sendiri ini.” “Kalau di kasih, kalau enggak, ya gak harus maksa.” “Papa, jangan kompor, nanti gak di kasih sama kakak.” Ucap Fari. “Kak, Beliin dong.” Lanjut Fari merengek padaku. Aku heran anak jaman sekarang kenapa lebih suka main game di aplikasi. Ya, Fari memintaku untuk membelikan dia ponsel eroji. “Nanti aku beliin, kalau kamu siap latihan fisik sama papa.” “Beneran kak?” “Ya.” “Okay, aku siap kok.” “Baguslah.” “Bener ya, beliin.” “Asal sungguh-sungguh.” “Pastilah.” Ya aku bersyukur jika Fari, benar-benar ingin bersungguh-sungguh latihan Fisik dengan papa. Aku teringat akan percakapan ku dengan papa saat terakhir aku pulang. Flashback on.. “Raline, kau akan kembali hari ini nak?” “Ya, papa.” “Papa, cuman bisa berdoa untuk anak-anak papa, supaya sukses.” “Terima kasih, papa.” Ucapku, aku melihat wajah papa ada kesedihan disana, yang mampu ia sembunyikan dengan sempurna. “Sering-sering pulang.” “Ya, papa.” “Kamu sekarang sudah bisa mencari uang sendiri, dan mewujudkan cita-cita mu yang ingin seperti mama, sekarang kamu sudah menjadi seorang fashion desinger hebat.” “Ini semua berkat doa dan dukungan dari mama dan papa, sehingga dapat membuat Raline berada di posisi ini, papa.” “Kamu pantas nak mendapatkan ini semua, karena usahamu, kau menekuni segala hal yang kau genggam. Kau sangat hebat, papa bangga sama kamu, putri sulung papa sangat hebat.” “Papa, Raline sangat bahagia saat mama dan papa selalu dukung Raline. Kalian pahlawan Raline sehingga bisa sampai di titik ini.” “Ya, papa juga berharap adik-adik kamu juga bisa berhasil seperti kamu. Selalu lancar apa yang mereka inginkan. Tapi papa juga memiliki harapan lebih pada anak laki-laki papa yang hanya satu-satunya.” “Kenapa, pa?” “Tapi, papa tidak bisa memaksakan ke inginan anak-anak papa. Jika ingin hal yang lain dan tidak mengingiinkan apa yang papa inginkan, anak-anak papa berhak memilih jalan hidupnya sendiri, karena bagaimanapun juga papa sebagai orang tua hanya bisa mengarahkan dan mendukung yang terbaik untuk anaknya.” “Katakan pada Raline, pa.” Pintaku. “Papa ingin, anak papa satu-satunya, anak lelaki papa bisa menggantikan posisi papa dulu.” “Sebagai anggota prajurit maksud papa?” “Tidak harus jadi prajurit, Raline.” “Papa ingin Fari jadi apa?” “Lelaki sejati.” “Seperti apa, papa?” “Fari laki-laki, dalam keluarga papa, Fari wajib ikut bela diri dan latihan fisik, lihat fisik Fari, tidak ada ototnya.” Keluh papa, aku menahan tawaku agar tidak pecah. “Kenapa papa sangat ingin Fari, latihan fisik, pa. Kalau Fari tidak mau, kenapa harus memaksanya?” “Papa, tidak ingin sebagai anak lelaki papa, keturunan papa, seperti perempuan, tubuhnya tinggi kurus dan putih.” “Hebat gak harus bisa bela diri dan bagus fisik, papa. Fari otaknya bisa di andalkan.” “Ya, nak. Tapi, papa sangat ingin, Fari juga bisa keren dalam penampilan sebagai lelaki yang cool. Fari anak lelaki papa satu-satunya, papa sudah tua dan Fari punya adek, dia harus bisa melindungi Fina dan kamu.” “Raline akan berusaha bujuk Fari, pa.” “Terima kasih, nak.” Aku bingung, atas tujuan papa ingin Fari belajar latihan fisik, tapi masuk akal juga sih, sebagai seorang lelaki dia harus kuat, agar seperti yang menjadi alasan papa, agar bisa melindungi aku dan Fina, juga terlihat maco’. Flashback off.. “Jadi, kapan kamu akan memulai latihan?” tanyaku melirik ke arah Fari. “Terserah papa, Fari sanggup kapanpun.” “Mulai besok.” “Okay.” Itulah percakapan terakhir kami di ruang Tv sebelum kami tidur di kamar masing-masing. *** Keesokan paginya, aku terbangun pagi dan berjalan menuju dapur saat hidungku mencium aroma sedap. Aroma itu membuat perutku bergejolak dan cacing-cacing di perutku seolah berteriak. Sesampainya di dapur, aku melihat mama tengah berkutat di pantry. Aku menghampiri mama yang sedang fokus dengan kegiatanya itu. saking fokusnya mama tidak menyadari kehadiran ku, aku melangkahkan kakiku dan duduk di kursi makan, memperhatikan mama. Mamaku wanita hebat, seorang desainer hebat ia bekerja di sebuah perusahaan milik papa, perusahaan kecil yang di bangun papa sendiri dari nol, kini banyak infestor yang menanam saham di perusahaan papa itu. tapi sayang saat Raline duduk di bangku sekolah menengah atas perusahaan papa harus di akuisisi, karena kesalahan papa masih berada di jalan yang salah, papa masih saja menjadi seorang mafia. Ia tidak bisa menolak teman-temannya dulu, saat papa terjatuh, gagal mewujudkan ke inginannya menjadi seorang tentara, karena fitnah dari seorang temannya yang ingin menduduki posisi papa. Dari situ papa mulai bangkit karena dukungan dari teman-temannya yang selalu ada menemani papa, hingga papa perlahan membangun sebuah perusahaan kecil, di situlah pertemuan kembali, antara  mama dan papa, dan papa mulai mendahulukan hubungan dan keluarganya, meski diam-diam papa masih sering mengunjungi teman-temannya itu. Papa dan mama, bagiku mereka pahlawan dan orang-orang hebat. Meski ada saja cobaan yang mereka hadapi, tapi aku selalu bersyukur karena mereka bisa melewati itu semua. Papa jangan pernah lelah menjadi perisai untuk keluargamu, kamu orang hebat dan selalu kuat menghadapi segala cobaan. Kami bangga memiliki kamu yang selalu memberikan yang terbaik untuk kami, papa hebat, selalu mewujudkan ke inginan keluarganya. Aku menatap punggung mama dari belakang, setelah selesai kegiatannya di pantry mama berbalik dan sedikit terkejut melihatku. Aku tersenyum menatap mama, mama menghela nafas kemudian berjalan mendekati aku. “Kakak, sudah bangun?!” Ucap mama, aku tersenyum manis pada mama dan membuka toples kerupuk yang ada di atas meja. “Sarapan sudah siap, ma?” tanyaku. “Sudah, tinggal makan saja.” Ucap mama. “Papa sudah bangun?” Tanyaku. “Sudah, kelapangan sama Fari dari jam setengah enam setelah selesai shalat.” “Ngapain, ma?” “Fari, merengek minta papa agar bisa mengajarinya latihan fisik, Fari ada saja, papamu itukan sudah tua. Kenapa dia tidak ikut kelas saja, kan ada ahlinya, untuk mengajari Fari.” “Selama papa masih kuat apa salahnya, ma.” Ucapku santai dan membalikkan piring, di atas meja itu. “Kamu mau ngapain?” tanya mama. “Mau makan, ma.” Jawabku santai, yang akan menggapai centong nasi. “Nanti saja, bareng-bareng. Tunggu papa sama Fari pulang.” Ucap mama, menepis tanganku, aku berdecak dengan wajah datarku. “Ck, lama.” Rajukku. Mama melongos pergi dari dapur meninggalkan aku yang duduk di kursi makan sendirian, tak lama terdengar suara mama. “Mandi dulu, kak. Papa sama Fari pasti masih lama.” Suara mamaku terdengar. Mendengar perintah mama, aku terdiam sejenak di dapur setelah menghela nafas, lalu aku beranjak kembali ke kamar dan berniat melakukan apa yang mamaku perintahkan, sebelum sampai di ambang pintu kamarku, manik mataku melirik ke arah pintu kamar Fina, aku lihat dia sedang berputar-putar dengan dress yang sudah melekat sempurna membalut tubuhnya, aku terdiam menatapnya dengan tampang datarku. “Cantik sih. Memang mau kemana dia?” gumamku. Aku melangkahkan kakiku, dan berdiri bersandar di ambang pintu kamar Fina, aku berdeham dan tidak tahan mulutku ingin mengajukan beberapa pertanyaan. “Putri tidur kalau bangun, ini yang dia lakukan?” “Kenapa? Kan dia harus tetap tampil cantik, karena dia seorang putri.” “Putri tidur, gak usah dandan. Tetap aja bau iler  juga, muka bantal gitu.” “Ihh wangi keles, sirik aja lu kak.” “Mau kemana?” “Maen lah, inikan hari minggu.” “Maen kemana?” “Kerumah temen.” “Hadeh, udim cantik-cantik dandan, maen cuman ke rumah temen, Mall kek, kemana kek, gitu.” “Anak rumahan, kak. Masa maen di Mall.” Kilahnya, aku memutar bola mataku. “Ya, baguslah. Jadi lo gak harus ngerepotin papa sama Fari yang akan cari kamu yang maen entah kemana.” Ucapku akan beranjak pergi dari pintu kamar Fina. “Tapi, papa sama Fari taukan rumah temen-temen lo?” lanjutku bertanya. “Tau dong, aku cuman maen tempat sahabat aku aja kok kak.” “Pagi amat.” Ucapku dan pergi menuju kamarku. *** Setelah selesai mandi, ternyata papa dan Fari sudah pulang dan mereka juga sudah selesai mandi, aku keluar kamarku setelah penampilan ku sudah terlihat rapih. “Kak, ayo kita makan.” Ucap mama yang sudah cantik dan wangi, yang berpapasan dengan ku, berjalan menuju dapur dan aku mengekori mama. Ternyata di meja makan sudah ada papa, Fari juga Fina. Mereka duduk di kursi biasanya, dan nasi sudah ada dalam piring Fina juga Fari, aku lihat piring papa masih belum di balik apa lagi di isi. “Kamu belum pergi main, Fin?” tanyaku. “Sarapan dulu geh.” Sahutnya aku hanya memberi respon sedikit dengan menaiki kedua alisku dengan manik mata yang tetap fokus pada makanan yang tersaji di atas meja itu. mama menuangkan nasi dan lauk ke piring papa dan ke dalam piring mama juga. Setelah mereka baru aku menuangkan nasi juga lauk ke dalam piringku. “Kakak, balik sore ini?” tanya Fari. “Ya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD