Chapter 14

1513 Words
“Cepat kau jawab, apa yang akan kau tunjukan pada mama?” desakku Mama juga beralih tatap ke arahku dengan ekspresi yang semakin membulatkan matanya, aku juga refleks ikut membulatkan mataku, dan sepersekian detik sepersekian menit kemudian kami berdua Fari kompak tertawa dan di susul oleh mama yang kemudian menoyor kepalaku dan kepala Fari. “Dasar, anak jaman sekarang, ya begitu.” Gerutu mama, sambil mengambil wadah sayur yang masih kosong di atas meja, berjalan menuju pantry dan meletakkan sayur yang sudah matang di dalam wadah, setelah itu mama letakkan kembali di atas meja. Aku dan Fari keluar dari dapur dan duduk di sofa ruang Tv. *** “Kenapa, ma?” tanya papaku, yang kini sudah ada di dapur, tepat di belakang mama yang tengah berkutat di pantry, sempat membuat mama terkejut. “Itu lah, pa. Anak-anak mu itu, ada-ada saja.” “Memang mereka kenapa?” “Ck, ya gitu pa. Hah! Sudahlah pah, malas mama bahas mereka, buat mama geregetan saja. Papa juga ini, datang-datang buat kesal mama, tambah kacau aja.” Oceh mama yang sibuk dari pantry ke meja makan. “Loh, kok papa, ma. Tadi kan mama marahi anak-anak to? Kenapa jadi papa yang kena juga.” Protes papaku yang kini dia duduk di kursi meja makan. “Ya, karena papa itu bapaknya anak-anak, jadi ya sama aja. Ngeselin semua.” “Hati mama aja yang lagi ribet.” Celetuk papa yang membuat mama terdiam, cemberut. “Ada yang bisa papa bantu, mama cantik?”   “Gak ada, udah selesai, baru mau nawarin bantuan.” “Mama jangan merajuk gitu, nanti kulit mama semakin kendur, tambah jelek lagi.” “Apa maksud papa? Papa mau bilang mama itu jelek? Iya?” “Udah tau jelek, pake tanya.” Gumam papa. “Tidak, mama cantik. Bukan begitu maksud papa.” Elak papa. “Haduh pusing, tidak ingin dengar kilah mu.” Ucap mama mengibaskan tangannya dan pergi dari dapur. “Haduh, gawat pula, kalau sampai nanti malam mengambeknya, bisa hilang jatah malam ini.” Gumam papa dan bergegas mengekor mamaku. *** Mama berjalan ke arahku dan Fari, duduk tepat di tengah-tengah antara aku dan Fari. Aku dan Fari secara bersamaan menatap mama dan kami saling tatap, tak lama kemudian papa berjalan mendekati kami dan duduk di sofa sebelah Fari. “Kalian nonton apa?” Tanya papaku basa basi dengan tatapan ke arah layar kemudian beralih ke arah kami. “Papa gak liat ini film apa?” ucap Fari. “Bukan gak liat, papa kalian itu kan gaptek.” Ucap mama. “Lah apa hubungannya gaptek dengan tidak tahu film apa?” sanggahku. “Papa liat, papa gak gaptek sampai dia selalu lolos dari bukti mafia, dan bukan juga tidak tahu film apa, hanya saja untuk basa basi.” Celotehku. “Pasti papa buat kesal mama lagi kan?” tebak Fari. “Enggak.” Kilah papa dengan merubah raut wajahnya seperti orang yang terkejut atau bingung, wkwkwk. “Bener, ma?” tanya Fari dengan polosnya, memicingkan matanya pada mama. “Bener, gak buat mama kesal, hanya empet aja mama liatnya.” Ucap mama pelan namun ngenak di ulu jantung. “Tu kan, papa gak..” ucapan papa terputus. “Apa? Mama bilang apa?” lanjut papa bertanya, menaikan alisnya menatap mama, mama hanya memicingkan mata kemudian diam kembali menatap layar di depan kami. Kami berdua Fari saling tatap lalu menatap mama dan papa. “Ma.” Suara papa masih terdengar di ruang TV. “Ma.” Panggil papa lagi, tidak ingin menyerah. “Apa sih, papa sayang?” Tanya mama lembut pada papa. “Mama tadi bilang apa?” todong papa. “Memang mama bilang apa? Mama nonton Tv dari tadi dan papa panggil-panggil mama.” Tutur mama yang tiba-tiba hilang ingatan. “Lah, lah. Papa mau makan siang duluan aja, lama bareng kalian, papa sudah lapar.” Ucap papa yang beranjak dari duduk lalu berjalan ke dapur. Aku dan Fari hanya saling tatap. Mama langsung bangun dan menyusul papa, aku dan Fari saling bertanya dalam bahasa tubuh. “Papa, jangan ngadi-adi, ya.” Ucap mama yang mengekori papa, dengan menggapai lengan papa. “Ngadi-adi gimana sih, ma. Enggak lah, memang mau makan.” Ucap papaku yang kini sudah sampai di depan meja makan dan langsung duduk di kursi makan itu. “Ihhh.. papa, shalat dulu dong. Selesai shalat baru kita makan siang bersama.” “Ma, ini lauk kesukaan Raline semua?” “Ada kesukaan papa juga, masih di kenceng tuh, kepiting asam manis.” “Kenapa gak di wadahin sih, mama sayang.” “Belum, papa sayang.” “Kenapa belum?” “Karena papa tadi buat kesal, mama.” Jawab mama, papa berdecap dan berkecak pinggang, dengan wajah masam. “Ya sudah wadahin sekarang, papa ke mesjid dulu.” “Okay, papa sayang. Shalatnya yang khusuk ya, jangan lupa berdoa, mohon ampunan.” Ucap mamaku, papa langsung melongos pergi dari dapur, dan mama mengambil mangkuk untuk sayur kesukaan papa dan Fari itu. *** Setelah papa dan Fari pulang dari masjid, kini kami sudah ada di meja makan duduk di kursi masing-masing seperti biasa, saat kami kumpul bersama. Dari balik pintu muncul adiku yang bungsu, Fina Sahra. Gadis kecil yang manja, meski tingginya melebihi aku sedikit. Adikku itu berwajah ceria, dia tidak bisa jika senyum tidak menunjukkan gigi kelincinya itu, siapapun yang melihat senyumnya seakan terhipnotis menjadi ikut tersenyum. “Eh, si putri tidur sudah bangun.” Ledek papaku. “Laper.” Tuturnya dengan senyum cerahnya itu. “Putri tidur bisa laper juga ya?” “Iya lah, sama aja manusia juga kali.” Jawabnya, dengan cengirnya itu. “Oh, gitu ya?!” “Sudah, ayo duduk sini dek.” Panggil mama, dan Fina langsung duduk di samping mama, tepat di depanku. Mama menuangkan nasi ke dalam piring papa dan menaruh lauk ke piring papa, kemudian mama menuangkan nasi ke dalam piringnya dan di susul Fari, aku dan Fina. Kami menikmati makan siang kami dengan sedap dan lahap. Mama tahu betul menu kesukaan ku, sup ikan dan ikan bakar di atas meja ini sangat komplit menu kesukaan ku yang khas laut. Tapi untuk kepiting dan udang hanya papa dan Fari yang suka, sedangkan aku, mama dan Fina tidak suka. Berbeda dengan Fina yang memang elergi udang dan kepiting sedangkan aku, merasa mual saat mencium bau udang dan kepiting, meski juga ada rasa gatal tapi tidak terlalu parah, saat aku mencoba dulu hanya sepotong, kata orang-orang aku ada gejala kolestrol, hah entahlah, aku tidak cek up kesehatan. Aku tidak suka mencium bau obat, sangat menyiksa kepalaku. Entah kenapa hidungku sangat sensitif. “Ini, kesukaan kamu.” Ucap papa memberikan mangkuk udang pada Fina di samping mama, seketika itu juga kami bengong menatap papa, papa dengan santai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, Fari memicingkan matanya menatap semua orang yang ada di meja makan itu sambil mengunyah sisa makanan di dalam mulutnya. Fina sudah cengengesan menjauhkan kepiting asam manis itu. “Itukan kesukaan papa sama Fari.” Tutur Fina dengan cengirnya itu. “Oh, Fari ya yang suka kepiting pantes aja di pirinyanya masih ada sausnya.” Ucap papa, Fari berdecap. “Papa ini bagaimana sih, kebanyakan pikiran ya?” sungut mama. “Enggak kok, ma. Papa hanya mengetes mereka saja.” “Mana ada ngetes seperti itu, ngetes apa.” Protes mama, papa terkekeh. “Ya namanya ngetes, ya tanpa di duga dong.” Kilah papa. “Ngadi-adi.” Ketus mama, Fari berdecak. “Mau makan, atau debat?” sargah Fari yang membuat mama terdiam. “Makan, makan. Nambah yang banyak biar cepet gede.” Ucap papa, Fari mendengus mendengar penuturan papa itu, mama menyembunyikan senyumnya. Aku dan Fina ikut tersenyum. Setelah selesai makan, aku dan Fina membantu mama membereskan bekas kami makan siang. *** Di malam hari, sebelum mengistirahatkan tubuh, kami tengah asik melihat acara yang di tayangkan di layar kaca itu. Aku dan Fina duduk di samping mama dan menjatuhkan kepala kami di pangkuan mama. Papa dan Fari ada di sofa yang berbeda sambil menyantap camilan yang tersuguh di atas meja itu. “Kak.” Panggil Fari padaku, aku mengangkat kepalaku dan memicingkan mata ke arahnya. “Apa?” “Sini dulu, geh.” Aku beranjak dan duduk di sofa yang sama tepat di samping Fari, aku lihat dia tengah sibuk menggeser-geser layar ponselnya. “Kak, Liat ini geh.” Ucap Fari menunjukkan sebuah gambar yang ada di layar ponselnya. “Cakep gak?” lanjutnya antara bertanya atau sedang meminta persetujuan. “Cakep, Kenapa?” tanyaku, aku melihat Fari tengah tersenyum yang mengandung suatu arti. Seolah dia bilang, “Beliin, kak.” Aku menaikan sebelah alisku memicingkan mata menatapnya. “Senyummu gak ngenakin.” Celetukku, dan kembali duduk di samping mamaku yang ada di ambal dengan Fina. “Kak.” Panggilnya lagi. “Apa sih?” sungutku. “Kenapa, bang?” Tanya papa pada Fari. “Minta kado sama kakak.” Jawabnya. “Memang sekarang, abang Fari ulang tahun?” “Enggak.” “Terus minta kado, untuk?” “Kasih sayang kakak sama Fari.” Sahutnya santai, papa mengambil koran di bawah meja dan mengibaskannya di wajah Fari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD