Chapter 13

1513 Words
Ups, sorry, kesadaran ku belum kembali sepenuhnya, aku terdiam sejenak kemudian perlahan aku mencoba untuk membuka mataku, namun masih saja gelap, dengan syok juga panik, apa yang harus aku lakukan? Lampu, matikah? Aku mulai merasa engap karena panik di sekeliling ku masih gelap dan aku bingung mencari telepon genggam milikku di atas nakas, untuk menghidupkan senternya, namun saat aku mencoba meraba ke arah nakas, na’as sekali aku terjatuh dari atas ranjang, s**t! Sakit sekali pan*atku. Aku mengaduh, meringis dengan mata terpejam kemudian kembali aku buka mataku, seketika aku tersenyum, ternyata lampu sudah hidup, sekitar kembali terang. Aku mencoba untuk berdiri, akan tetapi aku kembali mengernyitkan dahi bingung, ini terang benderang tapi bukan karena lampu yang sudah menyala, tapi ini sudah siang bolong, ada cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah gordeng ke dalam kamar. Apa yang terjadi dengan ku tadi, aku menepuk jidatku, mungkin karena kesadaran ku belum sepenuhnya kembali dan sudah memaksakan untuk membuka mataku. Jadi yang aku pikir mataku sudah terbuka lebar, ternyata belum terbuka sama sekali. Alamak, readerku adakah yang pernah mengalami kejadian serupa dengan Raline? Gadis konyol. Aku menatap jam Beker yang bertengger di atas nakas, ternyata sudah pukul 8 pagi, s**t! Aku kesiangan. Kenapa aku tidak mendengar suara alarm? Apakah alarm di atas nakas itu mati? Aku menggapai jam Beker panda di atas nakas samping ranjang king size ku, dan mengeceknya, kemudian aku lihat sekitar jam dengan lekat-lekat, lalu aku goyang-goyangkan pelan benda itu. Tidak ada yang aneh, hah! Biasanya aku tidak mendengar suara alarm itu jika aku melewatkan waktu alarm bersuara. Aku kembali menaruh jam Beker itu kembali ke atas nakas, lalu aku melangkah menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Setelah selesai mandi aku keluar dengan mengenakan handuk kimono menutupi tubuh polosku dan handuk kecil membelit rambut sebahuku. Aku duduk di depan cermin dan memakai make-up tipis di wajahku, lalu aku berjalan ke dalam walk in closet mengambil pakaian dan mengenakannya. Aku mengenakan celana bahan berwarna putih dan baju berwarna biru muda, aku mengambil tas dan sepatu yang akan aku kenakan, setelahnya aku bercermin sejanak, aku mengambil kontak mobilku di laci nakas dan keluar apartemen ku, menuju garasi. Setelah sampai di garasi gedung apartemen yang aku tempati, aku memanaskan mesin mobil ku sejenak, kemudian aku mencoba menghubungi seseorang. Hingga panggilan itu tersambung. “Halo, mama.” “Ya, sayang. Jadi pulang hari ini?” tanya seorang wanita di sebrang. Ya, ini weekend. Sesuai janjiku pada mama, saat weekend aku akan pulang ke Tanggerang, dan hari inilah aku libur kerja meski di butikku tetap buka, aku akan memanfaatkan waktu libur ku untuk pulang ke rumah orang tua ku di Tanggerang. “Jadi dong, ma. Ini Raline sedang manasin mesin si putih.” “Okay, sayang. Mama tunggu ya, nak.” “Okay, ma! Bye. Sampai ketemu nanti di rumah.” Panggilan telepon kami berakhir dan aku rasa si putih sudah siap untuk di gunakan, aku langsung masuk dan melajukan si putih ke jalan raya, berbaur dengan kendaraan lain. *** Aku menepikan kendaraan ku, dan memasuki sebuah gerbang rumah sederhana di kawasan Tanggerang itu, aku dapat melihat di depan rumah itu ada sebuah taman kecil, dan seorang pria paruh baya tengah merawat tanaman yang ada di taman itu, ia melihat ke arah mobilku dengan senyuman di wajah senja miliknya dan menaruh selang disana, aku keluar dari mobilku dan kembali melihatnya ia tengah berjalan ke arahku. “Raline, kau pulang nak?” “Ya, papa.” Jawabku yang langsung mencium tangannya. “Ayo, kita masuk dulu, mama mu sudah rempong dari kemarin.” Aku tersenyum mendengar penuturan pria paruh baya itu, pria itu tampak bersemangat, dia adalah papaku. Seorang pria yang baik dan selalu berusaha apapun demi keluarganya, meski dia memiliki kekurangan juga, yaitu tidak bisa meninggalkan teman-temannya saat ia masih bujang, teman yang selalu ada saat dia jatuh dulu, ketika ia harus gagal menjadi anggota elang (TNI AL) papaku bisa di bilang seorang mafia. Cerita papaku kita skip dulu, lanjut tentang hari ini. Aku sudah tiba di rumah orang tuaku, di Tanggerang. Papa mengajakku masuk ke dalam rumah, dan mengantarku sampai di depan pintu dapur, papa tersenyum menatapku dan menyuruh ku untuk mendekati mama yang tengah berkutat di pantry, kami dapat mencium bau harum masakan mama. Aku tersenyum dan mengangguk menatap papa, dan aku menghampiri mama. Papa hanya melihat kami dari ambang pintu kemudian pergi entah ke mana aku tidak melihat dia lagi. Mama terkejut sekaligus senang melihat kedatangan ku yang kini tengah berdiri di belakangnya. Aku dapat melihat wajah wanita paruh baya di hadapan ku ini dengan jelas, wajah yang sudah tak muda lagi kini terlihat berseri-seri menatapku penuh damba, aku tersenyum dan langsung mencium tangan wanita paruh baya itu kemudian memeluknya. Kami berpelukan dengan riang, gembira. Cukup lama, hingga kami melepaskan pelukan, ia mengajakku untuk duduk di kursi meja makan itu dan menuangkan segelas air putih untuk ku minum, aku meneguk air putih itu sampai habis, hanya tersisa gelas yang kosong, kembali ku taruh di atas meja. Mama sangat senang melihatku datang dan langsung mengajakku mengobrol di meja makan itu. Aku mengedarkan pandangan di sekeliling, papa benar-benar tidak kembali ke dapur dan aku tidak melihat ke dua adikku itu. Mama tampak mengerti apa yang ada dalam pikiran ku. Tanpa aku bertanya terlebih dahulu mama langsung memberitahukan apa yang akan aku tanyakan padanya. “Kedua adikmu seperti biasa, ada di dalam kamar masing-masing setelah selesai sarapan langsung masuk kamar lagi.” Ucapnya, aku tersenyum pada mama. “Mama heran anak jaman sekarang, kenapa bukan pergi main tapi malah dalam kamar saja. Apa asiknya hanya tiduran, apa mereka tidak bosan.” Celoteh mamaku. “Mereka keluar saat lapar, itu saja.” Lanjutnya. "Mama, jangan biarkan darah tinggi mama kumat, hanya karena kedua anak mama yang tidak pandai main itu." ledekku. Mama memutar bola matanya, aku tertawa. "Main saja tidak pintar, bagaimana mau seperti papa kamu yang menguasai berbagai bahasa dan suka menjelajah itu, sampai rasanya orang antara percaya dan tidak percaya saat mendengar papamu bercerita, tapi apa yang papamu katakan juga memang benar adanya." Tutur mama, dan aku tertawa semakin kencang, mamaku menyembunyikan senyumnya. Dalam keasyikan aku dan mama di dapur, muncullah sosok pria muda dengan tubuh yang menjulang tinggi berwajah tampan, tengah berjalan ke arahku dan mama. “Kak Raline? Pulang kak?” Ya dia Fari Sandika, adik laki-laki ku. Dia tengah duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas, sebentar lagi akan lulus. Dia bertubuh tinggi menjulang dan berwajah tampan, banyak sekali cewek-cewek yang suka melihatnya, tapi sayang satupun tidak ia lihat, yang ia pedulikan hanya game itu saja. “Ya, pulanglah.” Sahutku singkat. “Ingat pulang ke rumah, tah?” Tanyanya dengan nada mengejek. “Jangan cari-cari, ya.” “Enggak ada yang aku cari sih.” Ucapnya. “Lagian fakta juga.” Lanjutnya lirih. “Sudah, kalian ini.” Lerai mama. “Dimana adik kamu, Fina Sahra?” lanjut mama mengajukan pertanyaan pada Fari. Ya, adikku ada dua lelaki dan perempuan, dan Fina Sahra adikku yang bungsu berjenis kelamin perempuan, dia juga cantik, berkulit putih, tinggi dan langsing serta rambutnya yang keriting bawah membuatnya terlihat cantik, dan dirinya yang ceria, cerewet dan murah senyum membuatnya semakin cantik tapi sayang tingkahnya masih manja dan terlihat sangat polos dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas dua dan sebentar lagi juga merupakan kelulusan sekolah dan ia akan melanjutkan sekolah menengah atas. “Di kamarnya mungkin, ma. Mana mungkin ada di kantong celana Fari.” “Kamu ini, kalo di tanya, di jawab yang bener.” “Ini bukan ujian Nasional kali, ma. Santai aja Napa, jangan tegang. Nanti sakit semua loh, ototnya.” “Fari, kamu ini, bantu papamu saja sana di depan, cari keringat jangan di kamar saja, kamu ini lelaki.” “Siapa bilang, Fari perempuan ma? Biar Fari tunjukkan bahwa Fari ini pria sejati.” Fari masih terus menyahut, dan aku cekikikan melihat perdebatan sengit mereka yang membuat mama kehabisan kata-kata, ia melototi Fari, adikku itu memang kadang suka membuat orang jengkel juga senang. Sedari kecil ia suka buat orang gemas. Aku ingat dulu percakapannya dengan mama, dengan semangat ia menjawab saat di ajak ngobrol oleh mamaku. Flashback on.. “Fari, kalau kamu sudah besar, ingin jadi apa?” “Ingin jadi pelindung mama.” “Memang kenapa kamu ingin jadi pelindung mama?” “Biar mama tidak di pukul papa, seperti yang ada di Tv, papanya anak perempuan kecil itu pukul mamanya, kasian dia gak bisa lindungi mamanya. Jadi kalau mama jangan khawatir ada Fari yang akan lindungi mama kalau papa nakal.” “Memang Fari berani, sama papa?” “Berani kalau udah besar nanti.” “Kalau sekarang?” “Ya, enggak. Fari masih kecil sekarang, Fari bisanya ngumpet di semak-semak terus Fari pelinteng. Kan, Fari punya pelinteng ini di buatkan teman Fari.” “Fari, ada saja kamu nak, masih kecil.” Ucap mama, sedangkan Fari tetap asik dengan pikiran dan dunianya sendiri. Flashback off.. Entah kenapa mengingat itu semua membuatku cekikikan tanpa aku sadari. “Apa yang harus di tunjukkan?” tanya mama yang masih melototi Fari, seketika itu juga aku tersadar dari lamunan ku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD