Chapter 57

1597 Words
Setelah semua bahan yang disiapkan itu sudah teriris di mangkuknya masing-masing, aku kembali menatap Rumi yang masih ada di sana dengan kesibukannya sendiri. “Rumi, kau sedang apa?” “Eh? Aku sedang melipat baju, bagai mana sudah selesai?” “Ya, sudah. Lalu apa yang harus aku siapkan selanjutnya? Bumbunya apa saja?” “Bumbu capcay kau siapkan, 3 siung bawang putih, memarkan. 3 cm jahe, memarkan. 2 sdm saus tiram, 1 sdt garam, 1 sdt merica bubuk, 1 sdm minyak wijen.” “Pelan-pelan.” “Hahaa, baiklah. Ambil bumbu yang akan di memarkan dulu.” “Oke, 3 siung bawang putih dan 3cm jahe.” “Bagus.” “Lalu, saus tiram.” Ucapku menunjukkan botol saus tiram. “Ya.” “Garam, merica bubuk, dan minyak wijen.” “Pinter.” “Memang lah aku pintar.” Setelah aku tata semuanya dan sudah siap aku menyiapka wajan dan sutil yang kini ku letakkan di pantry. “Selanjutnya, apa yang harus aku lakukan?” “Memasaknya hingga matang dan lezat enak di kunyah dan di telan.” “Rumiiiiii.” Ucapku, menatap Rumi di depanku dengan memegang sutil di tangan kananku dan dia kembali tertawa. “Kan sudah siap semua, ya tinggal di masak.” “Langkahnya, aku belum bisa.” “Baiklah, langkah pertama.” “Ya.” Ucapku menunggu perintah Rumi. “Panaskan minyak goreng.” “Oke.” “Sedikit saja minyaknya. Apinya kecilkan.” “Ya. Untuk tumiskan? Bukan goreng.” “Nah, itu pintar.” “Memang lah aku pintar. Lalu?” “Tumis bawang putih dan jahe.” “Oke.” “Sudah tercium wangi?” “Ya.” “Masukkan bakso dan saus tiram, aduk rata.” “Oke. Sudah di masukkan, lalu aduk-aduk dan aduk aduk.” “Tambahkan garam, merica, dan minyak wijen. Kembali aduk rata.” “Ya, sudah. Di aduk rata.” “Masukkan air, masak hingga mendidih.” “Ya. Sedikit saja, kan?” “Pinter.” “Memang lah aku pintar.” “Kentalkan dengan larutan tepung maizena, Raline.” “Ya, sudah di masukkan.” “Bagus, Masukkan jagung, wortel, daun bawang, brokoli, dan kembang kol. Masak sebentar.” “Oke.” “Raline, akhir-akhir ini kau rajin memasak. Apa ganti gebetan?” “Sembarangan, yang kau maksud Yanuar?” “Ya. Siapa lagi memang? Masih ada lagi?” “Tidak, hm. Yanuar sudah seperti saudara, bukan pasangan.” “Hah, siapa yang tahu jodoh.” “Apa maksudmu? Menginginkan aku menjadi jodohnya?” “Aku hanya bilang siapa yang tahu jodoh kita, benarkan?” “Ya. Tapi bukan dia juga kan.” “Terserah kau, kita tidak tahu kedepannya, atau kita berdua yang berjodoh, hahaa..” “Kau, mengadi-adi, tapi bagus jika kau yang akan menjadi pasanganku.” “Kenapa begitu?” “Karena kau yang akan menghendel rumah, hahahaa.” “Dasar, males ihhh. Sudah, sudah.” “Rumi, ini sudah bisa di angkat?” “Kau cicipi dulu, bagaimana rasanya? Sudah pas belum?” “Oh ya.” Ucapku yang langsung mengambil sendok lalu menyuapinya ke dalam mulutku. “Enak, sudah pas.” “Angkat. Sajikan.” “Oke.” Setelah selesai menyajikan capcay dan aku taruh di atas meja, aku kembali melanjutkan memasak ku yaitu membuat gurame asam manis. Aku kembali menatap layar ponselku, akan tetapi aku tidak menemukan Rumi. “Hello, Rumi?” “Rumi?” “Woy, tolong woy tolong.” “Ck, Rumiiii..” “Ya. Ada apa?” “Ck, dari mana saja kau?” “Ngambil buah pir madu sebentar.” “Lama, sebentar apa?” “Ya sudah ahh, gimana?” “Sudah siap, apa saja yang di siapkan, untuk membuat gurame asam manis?” “Yang pasti ikan guramenya dulu.” “Ya, ini besar kan? Ikannya?” tunjukku pasa Rumi, di depan layar ponselku. “Ya, besar. Tapi aku sangat yakin, kau saja yang menyantapnya masih kurang.” “Ahh, kau jahat sekali padaku.” Rengek ku, sedangkan Rumi tidak merespon dan terlihat cuek, lalu aku memanyunkan bibirku menatap ikan gurame yang ada di kedua tanganku itu. “Hey, Raline. Apa kau akan terus seperti itu? hanya menatapi gurame saja dengan ekspresi mu itu?” “Tidak aku akan menghabisi ikan ini.” “Menghabisi bagai mana? Bukankah dia memang sudah mati? Apa kau akan memakannya langsung sebelum di olah?” “Ahhh, diam diam lah. Kesal kali aku di buatnya. Huh!” “Kau ini kenapa, eh?” “Pakai tanya lagi. Gak penting.” “Ya sudah, sekarang guramenya di bersihkan.” “Ya.” Aku pergi menuju wastafel dan membersihkan gurame yang memeng sudah di buang kotorannya itu tinggal membentuk irisan halus di dagingnya dan membilasnya saja, setelah di rasa bersih aku menaruhnya di meja pantry dan kembali bertanya pada Rumi. “Apa lagi?” tanyaku. “Siapkan Bahan pelengkap, 2 potong nanas yang di potong-potong.” “Sebentar, aku cek di lemari pendingin.” Ucapku dan rumi mengangguk. “Wah ada, nanas madu.” Ucapku menunjukkannya pada Rumi dengan mata dan wajah yang berbinar, sedangkan Rumi tersenyum dan mengacungkan jempulnya. “Langsung saja kau potong-potong kecil, sesuai selera tapi jangan sebesar itu langsung kau masukkan.” “Ya, tenang saja, kan aku pintar.” “Ya.” Aku memotong-motong nanas madu itu dengan ukuran kecil dengan bentuk segi tiga, setelah selesai aku tunjukkan pada Rumi. Yang terlihat mengembangkan senyumnya. “Itu apa?” “Buah nanas, kau bagaimana sih?” “Hhaaha, aku sulit mengenali buah nanas saat sudah di potong-potong seperti itu.” “Kau mengejekku?” “Tidak, aku hanya kagum dengan potongan buah nanas itu.” “Sudah cukup, sekarang apa lagi yang harus aku kerjakan?” “1/2 buah Bawang bombai tau bawang bombaikan?” “Ya, tau. Ini kan?” tanyaku langsung menunjukkan bawang bombai. “Ya, pintar, di iris.” “Oke, memang lah aku pintar.” Aku mengiris iris bawang bombai itu seperti yang biasa aku lakukan saat mengiris bawang merah meski bawang bombai lebih besar ukurannya. “Sudah?” tanya Rumi dan aku mengangguk. “1 batang daun bawang besar, di iris serong.” “Oke.” Ucapku mengerti dan mengirisnya serong, setelah selesai mengiris aku kembali menatap layar ponselku yang menampakkan Rumi tengah mengunyah sesuatu, pasti lah itu makanan, ia menatapku dan kembali bersuara setelah selesai mengunyah. “Paprika merah secukupnya dan Paprika hijau juga, sama secukupnya.” “Lalu?” “Sekarang, adalah menyiapkan, Bahan saus.” “Oke, apa saja.” “Sabar, kau tidak sabaran ya.” Ucapnya tengah sibuk dengan kegiatannya sendiri dan aku hanya menatapnya. Setelah beberapa lama namun tidak juga ada jawaban aku mulai berdecak kesal. “Lama, yaaa.” Keluhku dan ia kembali menatapku, lalu tersenyum merekah. “Aku sedang fokus.” “Fokus apa?” “Mengiris buah, jika aku tidak fokus nanti bisa-bisa teriris tanganku yang halus ini karena melihat ke cantikanmu.” “Hais, bisanya mencontek kisah nabi yusuf saja.” Ucapku dan aku mendengar galak tawa Rumi dari seberang, aku hanya bisa berdecak memutar bola mata malas. “Itu yang selalu ku ingat.” Ucapnya yang membuatku menatapnya malas dengan mengacungkan kedua jempol tanganku ke arahnya. “Bahan saus, bahan saus.” Ucapku dan ia hanya melirikku sekilas lalu kembali fokus dengan ke giatannya lagi. “Bahan saus? Uyy, bahan saus.” Teriakku tidak jelas dan menatap bodoh ke arahnya, tidak juga ia hiraukan, ataupun menoleh ke arahku. “Woy, tolong woy tolong.” Pekikku, berhasil membuatnya menoleh ke arahku. “Ada apa?” tanyannya dengan santai, dan aku menunjukkan ekspresi bodoh padanya. “Sedang apa?” tanyaku datar dan ia malah tersenyum padaku. “Aku sedang membuat buah salad.” “Buah salad? Ada? Apa itu?” tanyaku. “Maksudku, salad buah.” “Ohhh, pusing palaku.” Ucapku datar dan menyentuh keningku. “Ya sudah ayo lanjut, aku sudah selesai membuat salad buahnya. “Jahat sekali kau.” Keluhku. “Sekarang apa lagi?” “Apa? Bahan untuk saus.” “Oke, 4 bawang putih, di iris ya.” “Oke, biar ku geprek terlebih dahulu kemudian akan ku cincang.” “Langsung iris saja.” “Ohh, oke, oke. Kau master chef nya, dan aku bisa apa.” “Bagus.” Ucapnya dan aku mengacungkan jemplku padanya. “Sudah. Apa lagi?” “1 buah wortel, di potong korek, paham?” “Oke.” Aku memotong wortel itu sesuai arahannya. “4 sdm saus tomat.” Ucapnya yang kemudian aku menuangkan 4 sendok makan saos tomat sesuai dengan arahannya. “Sudah.” “3 sdm saus sambal.” “Ada, ada sayang ada. Cuman 3 sendok makan nih?” “Maunya berapa? Setitah lo, gua patuh kok.” Ucapku di depan layar ponselku sambil mengedip-kedipkan mataku, dengan senyum paksa milikku. “Lanjut, 1/4 sdt lada bubuk.” “Sedikit amat.” Protesku lagi. “Terserah elo mau di tambah lagi gak apa.” “Enggak lah, segitu aja udah.” “1/2 sdt garam.” “Ini gak akan ke asinan, kan?” “Ya, lebih bagus di cicipi saja nanti, kalau takut ke asinan, tuang sedikit dulu, kalau kurang asin ya di tambah lagi.” “Ya, oke.” “1 sdt kaldu jamur.” “Kaldu jamur? Sebentar, masih gak ya.” “1 sdm gula.” “Gula apa nih?” “Menurut lo? Come on, Raline. Gula merah bisa di ukur dengan sendok?” “Oh, ya.” “1/2 sdt tepung tapioka, di larutkan pakai air dan siapkan 300 ml air.” “Siap, bos.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD