Chapter 72

1571 Words
“Halo, ma.” “...” “Ya, Ven lagi ada di acara, ma.” “...” “Enggak, ma. Ven ditemani Adeleo, ma.” “....” “Ini acara bisnis, ma. Kecuali jika Ven sudah menikah.” “...” “Sudah, ma. Gak enak sama teman bisnis Ven yang punya acara, jadi telefonnya, Ven tutup dulu.” Aku melihat pria itu menutup teleponnya dan memberikannya pada seorang pria di sampingnya yang langsung menyimpan ponsel itu kedalam sakunya, pria itu berbalik bersamaan dengan seorang pria di sampingnya, pria itu terlihat syok dengan kehadiranku yang tidak jauh dari mereka, kami saling tatap, hingga melihat senyumnya menyadarkan aku kembali ke real life, segera aku mengalihkan pandangan ku, namun sepersekian detik dan menit aku membuka lebar-lebar mataku dan kembali menatap pria itu masih dengan ekspresi yang sama, menunjukkan senyum hangatnya padaku, aku terpaku di tempatku berdiri, kini ia perlahan mendekat ke arahku dengan senyumnya yang semakin lebar kini menunjukkan deretan gigi putihnya. Kini pria tampan dan gagah itu berdiri tepat di hadapanku, kami saling tatap, jika ia menatapku dengan lembut penuh kehangatan, berbeda denganku yang menatapnya dengan tatapan kosong juga datar. Aku merasakan ada sentuhan lembut disekitar wajahku terutama bagian pipi. Ternyata tangan besar dan kokoh pria itu tengah menyapu wajahku, mengusapnya dengan lembut, wajah pria itu tepat berada di hadapanku dan mengikis jarak di antara kami, hingga aku dapat merasakan hembusan hangat di menerpa wajahku. “Hey, Raline.” Ucapnya pelan dengan suara serak basahnya yang terdengar seksi di telinggaku itu. “Ucukku.” Lanjutnya yang langsung mengembalikanku dalam kesadaran yang sempurna, aku perlahan mundur akan tetapi tangan kokohnya itu sudah memeluk pinggangku dengan erat yang membuatku sulit untuk bergerak. “Ingin bergerak? Nanti jatuh.” Tegasnya yang membuatku menciut terdiam, memperhatikan wajah tegasnya itu. Ya, benar. Dia Ven, pria yang aku kenal selama ini. Tanganku tergerak ke arah wajahnya dengan pelan. Perlahan tanganku sedikit ragu hingga akhirnya kulit tanganku bersentuhan dengan kulit wajahnya, jari jemariku tergerak menyapu wajah tampannya itu, ia tersenyum yang sangat lembut membuatku ikut terhipnotis dengan pesona ke tampanannya itu. “Ven, Ucukku?” ucapku pelan hampir berbisik. “Ya. Ini Ven.” Ucapnya serak basah aku merasakan terpaan hangat nafasnya di wajahku. Entah sejak kapan, Adeleo pergi dari tempat itu karena ketika kami tersadar dan saling melepaskan, Adeleo sudah tidak ada lagi di tempat itu, hanya ada aku dan Ven. Aku merasa sedikit canggung dan malu untuk menatapnya, dia benar-benar muncul dalam hidupku sekarang, tentu saja aku sangat senang, bukan? Dapat berjumpa dengan seseorang yang selama ini ada dalam pikiran kita. “Menghadiri acara bisnis dengan siapa?” tanyanya menuntut jawaban. “Dengan Nike, Anak dari tuan rumah, pemilik acara.” Jawabku jujur dan ia ber-oh-ria. Kami kembali terdiam, aku mencuri tatap dengannya dan ternyata ia tengah memperhatikan ku. Segera aku memalingkan wajahku dan menatap ke sembarang arah, aku melihat ia tersenyum memandangi wajahku yang tengah menatap atas. “Apa yang kau lihat?” tanyanya di depan wajahku, Aku menatapnya, dan berkilah. “Tidak ada.” Sahutku. “Kenapa canggung?” tanyanya. “Tidak apa.” Jawabku dan memaki dalam hati, ‘Hei lo banyak tanya, jelas karena lo gua jadi deg degan ini. “Tidak apa.” Ucapnya, yang kukira dia akan bertanya akan tetapi hanya menirukan ku saja. “Tidak ap.. Eh?” ucapku yang hampir ku jawab dengan kata yang sama. “Hahaha, kau ini. Ayo ikut aku.” Ucapnya dan langsung menarik tanganku. “Kemana?” tanyaku. “Jangan berisik.” Ucapnya, dan aku terus berjalan mengikuti langkahnya, menuju lantai bawah. *** Pov Vendry Sky. Hari ini aku menghadiri acara perayaan atas keberhasilan proyek yang di pegang dari salah satu rekan bisnisku. Kakiku kini menapakkan tempat dimana acara itu di adakan, aku di dampingi oleh sekertaris setia ku, Adeleo. Kami keluar dari dalam lift setelah terdengar bunyi. Ting Melangkah dengan pasti keluar dari lift menuju ballroom hotel untuk langsung mengucapkan sedikit kata-kata selamat untuk rekan ku itu. Disinilah aku sekarang, memasukkan kedua jemariku kedalam saku celanaku, aku sejenak menatap kedalam dari balik kaca pintu ini. Berada di luar ruang luas itu, membuat jantungku tiba-tiba berdenyut yang membuatku menarik nafas dan menghela perlahan, ruangan luas itu yang kini telah di padati oleh para pengusaha dari yang tua hingga muda, dari yang pengusaha kecil hingga pengusaha besar. Saat aku akan kembali melangkah tiba-tiba manik mata ku menangkap sosok perempuan yang selama ini selalu aku hubungi, perempuan yang akhir-akhir ini sering mengganggu pikiranku, ya dia adalah Raline. Gadis cantik dan manja itu, kadang dia sangat cerewet, mengingat itu semua tiba-tiba membuatku tersenyum sendiri, menarik nafas perlahan dan menghembuskan perlahan melalui mulut membuatku sedikit mengurangi detak jantungku yang tak beraturan. Berjalan pasti aku akan menemui gadis itu, akan tetapi terhalang oleh Adeleo yang langsung menyuruhku untuk menemui pemilik hajat ini. Segera aku berbasa basi dan memberikan selamat untuk rekan bisnisku itu, sebenarnya hari ini adalah waktu liburku akan tetapi aku menunda hari libur pertamaku, demi untuk menemui gadis itu, karena aku tahu siapa rekan bisnisku ini, dia adalah ayah dari temannya, Nike. Sahabat dari gadisku. Setelah selesai berbasa basi dan sedikit bincang-bincang, manik mataku kembali mencari keberadaan gadisku itu, dimana dia sekarang? Ternyata tidak beralih dari tempat dimana dia berdiri terakhir kali aku melihatnya. Aku perhatikan kini dia kembali mengambil piring dan mengambil beberapa makanan, aku tersenyum kecil memperhatikan gadisku itu, dan aku berpamit pada ayah Nike itu. Aku melangkah kecil dan santai mendekati meja prasmanan untuk mendekati gadisku itu, hingga aku sampai tepat berdiri di belakangnya, aku memperhatikan dia terdiam dan tampak menikmati sebuah aroma yang membuat indra penciumannya terasa nyaman, aku tersenyum kecil dan semakin lebar saat melihat tingkahnya yang seperti orang yang terkena hipnotis, aku perhatikan dia meletakkan piringnya perlahan dan perlahan mulai berbalik, aku tak kuasa melihat tingkahnya itu membuat ku terus mengembangkan senyumku yang semakin lebar menmpakkan deretan gigi putihku ini. Akan tetapi, tiba-tiba Adeleo memberikan ponselnya padaku, dia mengatakan ada telepon darurat, ternyata dari mama. Huh! Aku lelah selalu berkilah, aku tahu tujuan mama, menelfonku. Dengan di luputi sedikit emosi, tanpa perlu pikir panjang lagi segera aku menjawab telephon mama, dan berbalik meninggalkan gadisku itu. Aku berjalan pasti keluar dari ballroom hotel yang di ikuti oleh Adeleo dari belakang dan mencari tempat yang sunyi untuk menjawab telefon mama, dengan sedikit kesal aku menjawab telephon mama, dan setelah percakapan ku dengan mama selesai aku langsung mematikan sambungan ponsel kami dan mengembalikan ponsel itu pada Adeleo. Aku berbalik dan hingga kami saling berhadapan, aku yang tampak syok dan lama kami saling bertatapan, hingga aku lihat ia mengalihkan pandangan dariku, sangat menggemaskan. Aku tersenyum kecil dan dan entah apa yang dari ia pikirkan kini aku melihat pupil matanya yang melebar lalu kembali memandangku, tetapi ia tampak seperti patung saat ini, aku berjalan perlahan mendekatinya, hingga kami saling berhadapan, aku tersenyum menatapnya dan tanganku tergerak ke arah wajahnya, kemudian aku menyapanya dengan lembut yang membuatnya bergumam. “Ven? Ucukku?” gumamnya pelan hampir berbisik, dan aku tersenyum menatapnya, segera setelah Adeleo melihat gadisku sendiri yang datang padaku,tentu saja Adeleo tahu segalanya tentangku dan setelah kesadaran gadisku kembali ia tampak seperti mencari keberadaan seseorang, pastilah Adeleo. Aku mengajak gadisku itu pergi meninggalkan tempat itu, menggenggam tangannya dan kami berjalan saling beriringan, keluar dari gedung setelah memasuki lamborghini milikku. Aku ingin mengajaknya ke suatu tempat, yang menurutku sangat bagus, karena aku menyukai tempat ini, yang merupakan cita-citaku sejak kecil. Ya disini kami saat ini, planetarium Jakarta ini. “Planetarium?!” ucapnya yang ku berikan senyuman ku. “Kau suka?” “Ya, aku suka.” “Syukurlah.” “Tapi, kenapa masih buka? Ini sudah malam, dan ini masih buka?” “Ya, karena aku yang menyuruh pemilik planetarium ini membukanya sampai aku ada disini sekarang.” “Jangan mengadi adi.” “No.” Ucapku menggeleng kepalaku. “Kenapa kau mengajakku kemari?” “Karena aku ingin menjadi sebuah planet yang akan kau tempati, dan begitupun sebaliknya. Jika kau menjadi sebuah planet, aku ingin tinggal di planet ini.” “Kamu bicara apa? Aku gak paham.” “Kenapa gak paham? Harus paham. Aku ingin tinggal di hatimu selamanya, seumur hidup, apa bisa?” “Ucuk.” Ucapnya dengan menggemaskan. “Ven, ingin hidup bersama ucuk.” Tambahku, aku juga melihat ada binar di matanya. “Ven merayu?” tanyannya dengan memperhatikan wajahku dengan lekat. “No, Ven mengutarakan isi hati Ven. Ucukku, cinta gak sama Ven?” ucapku dengan tegas, dan ku akhiri dengan pertannyaan yang menuntut sebuah jawaban. “Itu pertanyaan konyol, untuk apa aku bertahan selama hampir tiga tahun ini. Tentulah aku akan menjadi seseorang yang sangat beruntung bisa bisa bersama terus dengan sosok yang kita cintai.” “Terima kasih, Ucukku.” Ucapku penuh syukur, dan memeluknya dengan sayang. Setelah lama kami berada di planetarium itu, rasa bosan dan lapar menghampiri kami, aku mengajaknya untuk pergi kesebuah resto untuk makan malam bersama. Resto biasa tempat dia makan dengan Nike, karena resto itu memang sampai malam pukul 10 baru tutup, kami masuk ke dalam ruang VIP. “Emhh, waktu itu. bukankah kau yang berpapasan dengan ku?” “Di lorong wc?” “Ya.” Sahutnya dan langsung menatapku lekat, aku tersenyum. “Maaf, aku saat itu malam mengabaikan kamu.” Ucapku tulus dan ia menunduk kan kepalanya. “Gak apa kok, kamu pasti punya alasan juga kan.” Ucapnya yang membuatku sedikit tidak tega harus bicara apa padanya, saat itu aku hanya ingin tetap fokus pada pekerjaan ku sementara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD