Chapter 17

1506 Words
Dengan riang, wajah yang berseri-seri, aku berjalan naik lift sambil menenteng tas kecilku dan tas kecil berisi sayur kesukaan ku buatan dari tangan papa, kini aku dapat melihat pintu apartemenku disana, namun tidak jauh dari pintu apartemen, aku melihat penampakan tubuh seseorang yang aku kenal bersandar sambil menghisap vape disana, oh sejak kapan dia senang menghisap kabut asap itu? aku terdiam menatapnya, namun tampaknya dia belum menyadari kehadiran ku. Aku menghela nafas dan melanjutkan langkahku, kemudian ia langsung tersadar dan merubah cepat posisinya menghadap ke arahku. Aku membuang tatapanku langsung dan menggapai handle pintu apartemen. Barack mencekal tanganku di handle pintu itu, tatapannya mengarah ke wajahku, dan sangat dekat aku terkejut atas perlakuan Barack padaku. Aku langsung melepaskan diri dan mundur cepat menjauhi tubuhnya. “Barack, apa yang sedang kamu lakukan disini?” tanyaku dengan nada tak suka. “Seharian menunggu kekasih ku pulang.” Jawabnya dengan tatapan datar. “Oh, lalu apa hubungan nya dengan sikapmu sekarang ini padaku?” tanyaku. “Nanti jika di lihat oleh kekasih mu itu dia pasti marah, aku tidak mau terlibat dalam urusan kalian.” Lanjutku lirih, masih ada rasa sakit ketika mendengar dan membayangkan Barack sudah mengakui dengan cepat kekasih gelapnya itu. “Dasar gadis bodoh.” Celetuknya menoyor kepalaku. Seketika itu aku meringis atas perlaluan Barack yang tiba-tiba itu. “Kamu dari pulang ke tanggerang, sayang?” “Ya.” Sahutku cepat kemudian aku terdiam. “Jangan panggil aku dengan kata itu lagi.” Lanjutku menatapnya dengan tak suka. “Kau ini kenapa sih?” tanyannya dengan senyumnya, aku memelototi Barack lalu kembali menggapai handle pintu, ia menggenggam panganku dan aku menepisnya. “Jangan macam-macam, apa lagi pacar kamu dekat dari apartemenku ‘kan? Nanti jika dia melihat kita bisa terjadi salah paham, dan lagi aku sudah katakan aku tidak ingin terlibat dalam masalah kalian, mengerti? Jangan bawa-bawa aku.” Ketusku memarahi Barack, lalu masuk ke dalam apartemenku dan dengan cepat aku menutup pintu apartemenku, akan tetapi Barack juga dengan cepat menahan pintu itu dengan tangannya, ia mencoba untuk ikut masuk ke dalam apartemenku. “Barack, menjauhlah. Jangan dekati aku lagi, aku tidak ingin di ganggu olehmu.” Teriakku dari dalam, perlahan kekuatan Barack yang ingin menerobos masuk itu melemah, dan itu tidak aku sia-siakan. “Apa kau selama ini merasa aku mengganggu kamu, Raline?” tanya Barack pelan namun berhasil membuatku tersentuh, aku terdiam. Kemudian dengan cepat aku menjawab ya. “Ya.” Pekikku dengan keras dan nada kesal, aku juga baru menyadari saat Barack mengerang menahan sakit, ternyata aku menjepit tangan Barack dengan sangat kuat, seketika itu juga aku membulatkan mata dan melonggarkan pintu, tangan Barack langsung tertarik keluar, sempat terdiam kemudian aku membuka pintu apartemenku dan menghampiri Barack. “Barack, maaf aku tidak menyadari jika tangan kamu terjepit tadi.” Ucapku pelan. “Gadis bodoh yang keras kepala.” Ucapnya, bukan marah dia malah tersenyum padaku, aku dapat melihat wajahnya yang memerah dan matanya yang berkaca dengan dahi yang masih mengernyit, aku sangat yakin jika dia sebenarnya menahan sakit. “Yang bodoh aku atau kamu?” makiku, aku sangat kesal di saat ia terluka dan menahan sakit pun masih tetap saja berusaha agar terlihat baik-baik saja. “Katakan padaku dimana, apartemen kekasih kamu itu. aku akan memanggilkan dia untukmu.” ucapku. “Aku menunggumu seharian disini, di depan pintu apartemen kamu, apa kamu berpikir bisa secepat itu aku akan melupakan kamu dan mencari orang lain?” “Barack jangan bodoh, hubungan kita sudah berakhir dan di antara kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi.” “Tapi aku sangat mencintai kamu, bunda Lina juga merindukan kamu. Hari ini aku berniat untuk menjemput kamu dan main ke rumah bunda.” Jelasnya, aku terdiam. Ya, hubunganku dengan Barack memang sudah berakhir. Tapi, aku dan bunda masih berhubungan baik. “Apa kau belum menceritakan hubungan kita yang sudah berakhir?” tanyaku. “Belum.” Ucap Barack menundukkan kepalanya, dan menatap vape yang ada di genggaman tangannya. Pandanganku ikut lari mengarah ke pandangan Barack. “Sejak kapan kamu mulai menyukai benda itu?” “Beberapa minggu ini.” Ucapnya lirih. “Setelah beberapa hari, putus denganmu.” Lanjutnya, aku menghela nafas dan menatap ke sembarang arah. “Kamu tahu, kesehatan itu sanagat berharga, dan kamu tahu pepatah yang mengatakan sedia payung sebelum hujan.” “Sedia obat sebelum sakit.” Tukasnya. “Jangan bodoh barack, kamu pria yang tampan juga cerdas. Mencegah lebih baik dari pada mengobati.” Tuturku, ia menatapku dengan sendu. “Ini tidak seburuk, bungkusan gulungan yang di bakar.” Dengusnya. “Sama saja kau menelan asapnya, apa kau belum merasa sesak? Tentu saja, sekarang belum, tapi tidak tahu kedepannya.” Ucapku melipat kedua tanganku. “Sekarang pulanglah.” Lanjutku, memerintahkan dia agar cepat pergi dari apartemenku. “Tapi aku sudah janji sama bunda, untuk mengajak kamu main ke rumah bunda.” “Nanti kalau ada waktu, aku akan main ke rumah bunda.” “Tapi bunda mengundang kita berdua.” “Nanti aku cari waktu dulu.” Teriakku kesal dengan sikapnya. “Aku menunggu kabar dari kamu Raline. Sekarang istirahatlah, kau pasti sangat lelah.” Ucapnya dan melangkah pergi meninggalkan ku yang terdiam terpaku menatapnya di depan pintu apartemenku. Kini tubuh Barack sudah hilang ditelan pintu lift di apartemenku. Aku memejamkan mata dan menghela napas lalu kembali masuk ke dalam apartemenku, aku menatap tas kecil dalam genggamanku dan menaruhnya di atas meja makan, aku membenamkan wajahku di kedua tanganku yang terlipat di atas meja. Aku menyembunyikan wajahku, rasanya aku lelah dengan semua yang terjadi dalam hidupku, percintaan ku dengan Barack sungguh aku bingung ke depannya akan seperti apa, aku pikir akan sangat mudah bagiku untuk melupakan dirinya, tetapi melalui semua ini dan lagi, lagi bertemu dan selalu bertemu dengannya, membuat dadaku terasa sesak, bagaimana bisa aku melupakannya dengan sesak, mungkin memang tidak harus melupakan tetapi cukup untuk mengikhlaskan. Entah kenapa, malam ini aku merasa sangat cengeng dan sensitif, aku merasa sedih. Melihat wajahnya kembali, aku merasa ada perasaan yang sangat sakit dalam diriku, melihatnya yang semakin berbeda dari dia yang aku kenal dulu, ini semua membuat air mataku mengalir dengan sangat deras, wajah yang aku sembunyikan ini tidak tahan aku mengangkat kepalaku dan mengusap dengan kasar air mataku yang sudah memenuhi wajahku, aku merasa sesak dan tangisku yang tidak bersuara kini mulai terdengar isak tangis. Sangat pilu, Barack semakin berbeda, aku merasa, hidupnya juga semakin kacau dan sangat menyedihkan, dia semakin berantakan. Bukan mengapa aku memikirkan itu pasalnya, aku juga pernah bertemu dengan Noe di butikku saat dia mengantarkan kakaknya akan menjahit baju acara akikahan untuk anak pertama kakaknya itu. Noe menceritakan banyak hal yang terjadi pada Barack. Aku hanya mampu terdiam mendengarkan Noe bercerita banyak hal padaku tentang Barack, awalnya aku sangat kesal dan tidak ingin mendengarkan cerita Noe tentang Barack itu, tapi semakin lama membuatku terdiam dan untung saja aku masih bisa menahan air mataku, agar tidak terjatuh di depan Noe dan kakaknya itu, aku akan merasa sangat malu sekali. Saat Noe bercerita sungguh sebenarnya aku sangat merindukan Barack, ingin sekali memeluknya, tetapi aku kembali mengingat kejadian di apartemennya, kejadian real di depan mataku, Barack akan berkilah seperti apa, tidak akan bisa lagi. Aku berfikir mungkin ini jalan takdir kami dalam kehidupan ini, tidak harus bersama. Karena aku, sangat murka dan tidak bisa menerima perselingkuhan. Kini tangisku pecah di meja makan itu aku semakin terisak dan rasanya ingin berteriak dengan kencang, aku bagaikan anak kecil yang menangis meraung karena keinginannya tidak bisa ia dapatkan. “Barack, jadilah orang yang lebih baik lagi, maka aku akan tenang dan tidak akan merasa bersalah padamu. Jangan semakin kacau, apa yang harus aku jelaskan pada bundamu nanti. Kamu lelaki yang cerdas juga tampan. Pasti banyak wanita yang menyukai kamu dan rela ngantri menjadi kekasihmu.” Rancauku. Aku memang benar-benar bodoh, mengapa aku yang harus meminta maaf dan merasa bersalah terhadap Barack?! Flashback on.. “Barack, semakin hari semakin kacau.” Ucap Noe yang masih menggema di telingaku. “Dia biasanya tidak akan berani mengambil cuti kerja tapi kemarin dia mengambil cuti dan touring dengan teman-teman yang lain. Dia ikut yang pergi ke luar pulau, memakan banyak waktu.” “Dan lagi di hari sebelumnya dia mendapat teguran dari atasannya. Tapi dia sangat acuh dan santai, menanggapi teguran dari atasan.” “Aku juga berusaha menegurnya tapi dia hanya acuh dan mengabaikan teguranku. Pasalnya, Barack sekarang lebih sering menghabiskan waktu bersama geng berutal dari teman-temannya yang dulu. Suka minum dan pakai. Aku hanya takut dia juga akan terbawa.” Celoteh Noe dan aku hanya terdiam. “Apa kamu tidak bisa memaafkannya?” tanya Noe yang tiba-tiba membuat aku bingung harus menjawab apa. Aku telah memaafkannya tapi bukan berarti kami akan kembali, bukan? Sejujurnya juga aku terluka tapi ini bukan kesalahanku ini tergantung bagaimana dirinya sendiri, bukan karena aku. Flasback off.. Aku beranjak mencuci wajahku di wastafel dekat pantry di dapur kemudian beranjak menuju kamar, aku mengganti pakaian ku dan merebahkan tubuhku yang terasa lelah di atas ranjang king size ku yang terasa nyaman itu. Tanpa terasa kantuk datang menyerang, aku tidak menyadari sejak kapan mulai hilang kesadaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD