Chapter 48

1569 Words
Aku berjalan menghampiri mereka dan ternyata ada dua orang anggota kepolisian yang sedang berbicara dengan Fari di bangku halaman luar itu. “Saya paham, Fari. Tapi, saya dan rekan saya ini bersungguh-sungguh inggin membantu kamu dan keluarga ini, kamu bisa mempercaya saya, ayo kita sama-sama tuntaskan masalah Mr. Hamka Rafic, papa kamu ini.” “Maaf pak, apa bapak bisa bimbing saya menjadi seperti bapak?” “Saya sudah bilang, jangan panggil saya bapak, panggil saja saya mas Yanuar atau mas Malik, tapi saya biasa di panggil Mas Yanuar.” “Ya, mas Yanuar.” “Bagus, kita bisa berteman mulai sekarang, kamu harus rajin-rajin untuk jumpai saya, kalau ada waktu kamu bisa ikut saya latihan juga.” “Sekali lagi, terima kasih ya Mas.” “Ya.” ‘Apa?’ Aku tersenyum kecut mendengar obrolan mereka itu. ‘Apa dia serius? Apa dia bisa di percaya? Dia tidak sedang menjebak adikku yang masih terbilang polos itu kan?’ batinku bertanya-tanya. Jadi, hasil dari pembicaraan antara Fari dan kedua anggota itu, Fari anak berteman dengan mereka dan kedua anggota itu akan melatih Fari menjadi seorang lelaki sejati, juga yang bisa diandalkan. Tapi, kisah Fari tidak diceritakan di Novel ini ya. Karena, Buku 1 Aku Dilahirkan Untuk Siapa? “Renjana Sky” ini hanya tentang kisah cinta Raline Zatulini. Kisah Fari akan di rangkum di Novel selanjutnya “My i***t is the Bad Boy” buku ini belum louching, karena author harus menyelesaikan Renjana Sky terlebih dulu. Perlahan aku keluar dari balik tembok dan mendekati mereka. Serempak Fari dan kedua anggota itu menoleh ke arahku, aku mengangkat sebelah alisku dan seperkian detik kemudian aku tersenyum ramah pada ketiga pria yang kini ada di hadapanku itu. “Hai.” Sapaku, mereka juga tersenyum ramah terhadapku. “Hai, anda pasti nona tertua dari Tuan Hamka?” tanya seorang pria yang lebih muda dari pria yang ada di sebelahnya itu. “Ya. Saya Raline.” Sahutku tersenyum ramah mengulurkan tangan. “Saya Yanuar Malik dan ini rekan saya Rado Pratama.” Dan aku kembali berjabat tangan dengan Tama. “Jika saya tidak salah mendengar percakapan kalian tadi, apa benar kalian ingin membantu keluarga saya? Atau hanya alibi kalian untuk menangkap papa?” tanyaku blak-blakan aku tidak terlalu suka berbasa basi sekarang aku sedang lelah baik hati dan pikiran tapi juga lelah tenaga, entah apa yang telah aku lakukan tapi berpikir keras juga menguras tenaga. “Anda terlalu was-was nona Raline, saya suka.” Yanuar tersenyum menatapku aku hanya menatap datar mereka. “Karena posisi kita yang berbeda kita tidak sepihak.” “Ya, tapi orang tua saya juga mengenal Tuan Hamka, itu sebabnya saya akan membantu Tuan Hamka.” “Maksud anda?” “Tentu saja bukan tanpa sebab saya akan membantu, nona. Ini semua karena kedua orang tua saya, dan saya tidak berani untuk menolak.” “Siapa orang tua anda?” tanyaku yang penuh dengan rasa penasaran. Setelah aku bertanya pada Yanuar akhirnya dia menceritakan segalanya tentang kedua orang tuanya dan kedua orang tuaku. Aku rasa Yanuar tidak berbohong jadi aku pikir tidak ada salahnya jika aku biarkan saja mereka mencari bukti bahwa papa memang benar tidak  bersalah. Yanuar anggota kepolisian, di kota Tanggerang. Dia merupakan anak pertama dari keluarga Kazama Malik. Dia memiliki seorang adik perempuan yang sangat cantik, kedua orang tua Yanuar merupakan teman dekat papa dari zaman mereka masih kecil dulu hingga sekarang meski sudah jarang karena keluarga mereka telah pindah ke makasar, tetapi Yanuar anak pertama mereka pada akhirnya kembali ke kota Tanggerang karena tuntutan tugas. Dia yang akan merubah adikku yang polos dan lugu itu menjadi seorang yang benar-benar bisa di andalkan, dan nantikan kisah Fari dan adik Yanuar bertemu ya, di Novel “My i***t is the Bad Boy”. “Oke, kalian atur saja. Jika butuh bantuan atau ada apa-apa, hubungi aku atau mama Ivana.” “Siap, laksanakan.” Ucap Yanuar ala bawahan patuh pada komandan, dengan menunjukkan senyumnya yang merekah, menurutku manis juga. Setelahnya aku masuk ke dalam rumah, setelah berjalan melewati ruang tamu dan ruang makan, ternyata mama sedang minum air putih di sana mama terduduk di kursi meja makan. “Mama?” aku menghampiri mama dan duduk tepat di depan mama. “Ya, kau sudah bangun dari tadi?” “Ya, mama.” “Dimana Fari?” “Ada di depan, ma.” “Ngapain?” “Mengobrol dengan anggota yang tertinggal di halaman rumah kita, ma.” Ucapku, mama menghela nafas panjang. “Tertinggal? Seperti barang saja.” “Memang begitu kan, ma? Mereka sama seperti alat?” “Usst, mereka hanya menjalankan tugas negara. Memberantas orang seperti papa mu.” “Mama, menyalahkan papa?” “Tidak, itu sudah jalan yang papa mu ambil.” “Ma..” lirihku, mama hanya kembali menghela nafas. “Apa yang kurang dari hidupnya, Raline? Mama udah sering bilang ke papa kamu, berenti tinggalin ke biasaanya itu. Tapi, papa kamu cuman bilang Ya, iya. Kenyataannya apa? Seperti ini, lagi dan lagi, enggak ada kapoknya.” Oceh mama, aku menghampiri mama dan memeluk mama. “Mama, udah jangan terlalu di pikirin ma. Papa pasti bisa buktikan bahwa papa itu benar gak bersalah, ma.” “Ya, Raline. Mama selalu berusaha untuk terus percaya pada papa kamu itu, dan sekarang?!” “Sudahlah ma, jangan terlalu di pikirin.” “Ya, ya. Mau bagaimana, sekarang mama pusing papa kamu gak bisa ngertiin mama.” “Sudah ma sudah, kita percayakan saja pada bpapa, lagi pula diluar itu anak dari sahabat papa, dia janji mau bantu kita.” “Ya, dia berkali-kali juga bilang dan mencoba untuk meyakinkan mama. Tapi, memikirkan itu semua mmbuat kepala mama pusing. Sakit sekali rasanya hati mama seperti merasa di khianati, Raline.” “Mama berpikir terlalu panjang, ma. Percayakan saja pada papa, pada mereka.” “Ya. Mama selalu percaya Allah punya rencana yang indah untuk hambanya.” “Mama, istirahat dulu ma di kamar.” “Ya, mama mau kembali dulu ke kamar, kepala mama sakit lagi.” Mama kembali ke kamar dan sekarang tinggallah aku sendiri di ruang makan itu, aku memandang kosong halaman belakang rumah dari balik pintu kaca. Aku kembali menoleh ke arah ponselku dan tanganku tergerak mengambilnya, kemudian aku berdiri dan berjalan ke halaman belakang rumah. Aku membuka pintu kaca itu dan angin juga cahaya matahari langsung menyapa kulitku, aku berjalan dan terduduk di kursi malas dekat kolam renang itu, aku menggeser-geser layar ponselku, dan mendeal nomer seseorang disana, hingga beberapa saat kemudian terdengar suara. “Mohon maaf nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.” Aku menghela nafas, kemudian kembali ku deal nomer tersebut masih tetap sama, aku pikir memang sengaja tidak di aktifkan, jadi aku terdiam sejenak dan berfikir, kemudian membuka panggilan masuk yang ada di ponselku, setelah melihat-lihat dan berfikir sejenak aku langsung mendeal sebuah nomer baru yang beberapa kali pernah menghubungi ku. Tut tut Aku tersenyum mendengar suara bahwa panggilan itu tersambung, ada secercah harapan terbit di dalam pikiranku, tapi itu semua aku belum bisa mengekspresikan bahagiaku sebelum panggilan itu terjawab dan tahu siapa pemilik nomer itu. “Halo.” Terdengar suara berat di sebrang, semakin memunculkan senyum cerah di wajahku. “Papa.” “Ya, Raline. Sedang apa, nak? Kau sudah makan?” “Sudah pa, papa sudah makan?” “Ya, baru seleesai makan. Bagai mana kabarmu disana?” “Baik, pa. Papa bagaimana disana?” “Alhamdulillah baik.” “Pa?!” “Ya.” “Raline, gak mau basa-basi lagi pa.” “Ada apa?” “Papa ada dimana sekarang?” tanyaku pada papa, namun sekian lama aku menunggu sahutan namun tidak ada juga. “Pa?” “Ya, Raline.” “Papa, ada dimana?” “Kamu sekarang ada dimana?” “Ada dirumah, pa.” “Bagaimana keadaan mama dan adik-adik kamu?” “Mereka baik, pa. Hanya mama terlalu memikirkan papa.” “Maafkan papa, nak. Sekarang dimana mama kamu?” “Istirahat di kamar, pa.” “Ya sudah, biar mama mu istirahat dulu, kamu jaga mereka dulu ya, kamu bisakan tinggal dulu di rumah temni mama dan adik-adik kamu, sampai papa pulang.” “Apakah sudah ada gambaran papa, mengenai bukti yang papa cari?” “Belum, nak. Tapi ada sedikit petunjuk, dan teman-teman papa juga lagi berusaha unuk menelusurinya.” “Pa.” “Ya.” “Apa papa kenal dengan keluarga Kazama Malik?” “Kazama Malik?” “Ya.” “Ya, papa dulu pernah punya teman kecil hingga sama-sama menikah kami selalu akrab, hingga saat itu dia dan keluarga kecilnya pindah ke makasar, saat itu anaknya masih berumur 5 tahun saat kamu berusia 3 tahun, dan kamu juga kehilangan teman masa kecil jadi dirumah kadang kesepian. Eh, memang ada apa?” “Yanuar Malik.” “Bukankah itu nama, anaknya? Kenapa kamu bisa tahu nama itu? bukankah kamu sudah lupa tentang mereka?” “Ya, aku juga baru tahu. Dia salah satu anggota ke polisian papa, dan dia mengaku sebagai putra dari Kazama Malik. Dia juga mengatakan, bahwa dia akan membantu papa untuk mengumpulkan bukti bahwa papa tidak bersalah.” “Dimana dia?” “Ada di halaman depan sedang mengobrol dengan Fari.” “Oke, papa akan telefon Fari dulu.” “Ya, papa.” Tut Panggilan telefon itu berakhir, aku memenadang ponselku cukup lama, hingga akhirnya aku terlelap di tempat yang sama dimana terakhir kali aku memandangi ponselku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD