Chapter 47

1519 Words
Seminggu sudah berlalu sejak pernikahan Nike, seminggu berlalu juga sejak kedatangan Rumi, besok adalah weekand sudah lama aku tidak pulang ke rumah setiap weekand, aku beencana besok hari sabtu seperti biasa aku ingin sekali pulang ke rumah mama dan papa yang ada di Tanggerang. Aku membereskan ruanganku hingga terlihat rapih, dengan semangat aku mengambil tas jinjing milikku dan mengambil kontak mobilku, aku ingin segera sampai ke apartemen dan berendam yang lama, rasanya sudah sangat gerah sekali. Buru-buru aku keluar dari ruanganku, dan keluar dari butik menuju mobilku yang telah terparkir rapih di halaman depan butikku. Aku membuka pintu mobilku dan segera masuk kedalam mobilku itu dan melajukannya menuju gedung apartemenku. Aku memarkirkan si putih di garasi gedung dan segera masuk ke dalam gedung dengan langkah pasti, entah apa yang aku pikirkan saat ini, tapi ada rasa senang juga panas dingin rasanya aku merindukan mama dan papa di Tanggerang akan tetapi, rasa gelisah lebih kuat dari rasa bahagiaku akan berjumpa dengan mereka. Aku masuk kedalam lift saat pintu lift apartemenku terbuka, aku tersenyum miris sendiri memikirkan kegelisahan ku yang tidak pasti, untunglah saat ini aku sendiri tidak ada yang melihat kelakuan anehku ini. Hingga akhirnya pintu lift itu terbuka aku berjalan pasti menuju pintu apartemenku, hingga langkah kakiku berhenti tepat di depan pintu apartemenku itu. Aku menggapai knock pintu dan memutarnya hingga pintu itu terbuka, aku melongos masuk kedalam apartemen dan menutup kembali pintunya. *** Aku menutup pintu apartemenku kembali dengan senyum cerah aku berjalan menyusuri koridor hingga sampai di depan pintu lift, segera aku masuk kedalam lift yang akan membawaku ke lobby dan aku berjalan menuju garasi, aku berniat akan mengendarai kendaraan kesayanganku itu, si putih mobil modifikasi milikku yang sangat keren ini. Ya, sesuai niatku kemarin bahwa hari ini, hari sabtu aku akan pulang ke rumah mama dan papa di Tanggerang. Saat ini aku sudah masuk ke dalam mobilku, dan sudah menyalakan mesin, duduk dengan nyaman disini, aku memastikan kendaraan yang akan aku gunakan itu dalam kondisi baik-baik saja. Setelah semua memang dalam kondisi baik-baik saja, dan mesin juga sudah aku panaskan, aku pikir kendaraan ini juga memang dalam keadaan baik-baik saja. Jadi segera aku melajukan si putih dengan ke cepatan sedang, berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya kota Jakarta menuju Tanggerang itu.  Wajah yang biasa aku tunjukkan selama ini dari aku kecil hingga sekarang, ceria dan ramah, aku terus tersenyum tak henti karena akhirnya aku akan pulang kerumah dan bertemu mama dan papa juga ke dua adikku itu, bersenandung kecil sambil mengemudi dengan semangat. Setelah beberapa saat mengemudi akhirnya aku sampai di rumah yang di tempati leh mama dan papaku itu, senyum cerah dan rasa senangku kini berubah perlahan menghilang dari wajahku perlahan senyum cerahku berubah berganti sebuah kerutan di dahiku yang samar kini semakin dalam, aku bingung kenapa ada mobil polisi di depan rumahku dan ada beberapa polisi disana, aku masuk ke garasi dan memarkirkan si putih disana. Dalam mobil aku menoleh ke arah polisi yang ada disana, mereka tampak fokus dan memperhatikan aku dan ada juga yang mulai bergerak ke arahku, kemudian aku langsung membuka pintu mobilku segera keluar dari dalam mobil modif kesayangan ku itu. “Halo nona, pasti anda putri tertua dari Mr. Hamka Rafic?” “Ya.” “Tebakan saya memang selalu tepat, silahkan masuk dulu nona.” “Thank you, ini rumah saya kenapa anda yang seolah adalah tuan rumahnya?!” sarkasku dan langsung melongos masuk meninggalkan polisi itu berdiri di tempatnya bagai patung. “Amazing, benar-benar menarik.” Gumam polisi itu pelan yang masih terdengar di telingaku. Aku masuk ke dalam rumah dan di sana aku menemukan mama tengah terduduk di  pinggir kolam seorang diri. Aku duduk di samping mama, dan mama langsung menoleh ke arahku saat merasakan ke hadiranku. “Mama, kenapa duduk sendiri disini?” “Raline?” gumam mama dan kami saling tatap beberapa saat. “Kamu pulang sayang? Kenapa gak kasih tahu mama kalau kamu akan pulang?” “Mama, biasanya kan Raline juga gini ma. Gak harus telfon dulu kan.” “Ah, ya. Mama lupa, sebenarnya gak apa, jika kamu tidak mengabari mama dulu kalau mau pulang.” “Mama, ada apa?” “Apa?” tanya mama balik, dan kami kembali saling tatap. “Mama, papa dimana?” “Papa?” “Ya.” “Ah.. papa..” “Kak Raline?” terdengar sebuah suara memanggil namaku dari arah belakang kami, aku menoleh ke sumber suara dan melihat Fina adikku disana. “Kak, Fina kangen.” Ucapnya berlari memelukku sambil menangis. “Hei, anak cerewet, kamu kenapa? Gak biasanya seperti ini saat aku pulang ke rumah.” “Kangen papa, kak. Huuaaa.. hiks..” ucapnya di sela isak tangisnya. “Memang papa di mana?” tanyaku yang semakin bingung di tambah lagi ada banyak polisi di halaman depan rumah, pikiranku kini melayang ada apa ini? Ada apa sebenarnya? Aku malihat mama duduk terdiam di sampingku dengan bulir bening berjatuhan dmembasahi pipinya, dan Fina yang kini sudah menangis tersedu-sedu, sedangkan aku yang kebingungan dengan situasi ini menoleh ke arah Fari yang tangannya menggenggam sebuah ponsel terlihat sangat fokus, hingga akhirnya dia menyadari tatapan tajamku ke arahnya, dia langsung mengalihkan fokusnya padaku. “Papa kena kasus tuduhan yang berasal dari salah satu geng musuh papa, papa gak ngelakuin hal itu sama sekali. Menurut temen-teman papa, ada mata-mata dari anak buah musuh papa itu yang masuk ke geng papa sampai akhirnya papa terkena tuduhan itu yang gak papa lakuin. Tapi, papa lagi cari bukti kok kak, sebelum papa dapat bukti itu papa gak akan pulang, itu yang papa ucapin ke aku.” “Siapa musuh papa itu?” “Itu musuh yang berasal dari luar negeri dan kerja sama dengan perusahaan di daerah, sepertinya musuh papa yang pernah mengalami kerugian besar karena papa yang buat orang itu mengalami kerugian yang besar itu kak.” “Kerugian apa? Kalau ngomong yang jelas.” “Orang itu mafia yang banyak bisnis tentang transaksi barang terlarang, kak. Ngerti gak?” “Breng*ek!!” “Karena aku percaya papa, kak. Papa gak sejahat itu walaupun dia memiliki geng mafia juga, tapi aliran mereka putih, bukan memberontak.” “Bagaimana bisa, mafia memiliki aliran putih, mafia tetap saja penjahat juga.” Ucapku tersenyum sinis. “Kak!!” bentak Fari. “Mereka cuman kejam sama musuh mereka aja sesama mafia atau geng lain yang melakukan kekejaman, tapi kalau sama rakyat biasa mereka malah suka membantu, kak.” Jelas Fari menatap tajam ke arahku. “Fari, cukuupp!” pekik mama yang membuat aku dan Fari terdiam terkejut, dan Fina telah terisak-isak. “Tolong jangan ribut lagi! Kalian ini buat kepala mama semakin terasa pusing saja, tau gak sih?!” keluh mama dan pergi berlalu meninggalkan kami di halaman belakang tepi kolam renang itu. “Tolong kak percaya papa, dukung papa. Doakan papa agar cepat menemukan bukti, bahwa papa tidak bersalah, biar masalah ini cepat selesai.” Ucap adikku itu dan aku tetap di tempat yangsama seperti sebelumnya dengan pandangan pada lanti halaman belakang rumah papa dan mama itu. “Aku ngerti, bukan berati aku gak percaya sama papa, tapi aku cuman ingin papa itu berhenti dari kegiatan papa yang seperti itu, padahal papa tahu itu tidak baik, sangat merugikan keluarga. Kenapa tidak normal saja? Yang lurus-lurus saja, apa hebatnya?” rancauku. “Papa punya jalannya, kak. Papa pilih ini dia bisa membantu yang tertindas.” “Tapi dia tidak berfikir ini berdampak buruk untuk keluarga.” “Maafkan saja papa, kak. Semoga papa selalu di lindungi oleh sang khalik.” “Ya, kita cuman bisa bantu doa sekarang, seandainya aku lelaki, aku akan berusaha untuk membantu papa, aku akan cari cara agar papa bisa cepat menemukan bukti itu dan cepat terbebaskan.” “Maaf kak, aku belum ngerti untuk bantu papa, harus bagaimana aku..” “Sudahlah.” Potongku dan berlalu jalan menghampiri Fina dan menuntunnya masuk ke dalam rumah, meninggalkan Fari yang masih disana seorang diri. *** Aku menatap lelangitan dalam ruangan itu, ruangan yang sudah jarang seekali aku tempati, seminggu sekalipun sudah tidak pasti, aku merasakan berat ditubuhku ternyata ada 2 lengan yang sedang merangkulku, siapa lagi mereka berdua adalah Mama dan Fina, menoleh ke arah mereka yang masih terlelap itu, aku melihat mereka yang tampak tertidur lelap itu ada sebuah perasaan sedih yang menelusuk ke ulu hati aku meringis dan memejamkan mata, mereka begitu rapuh, tidak! Aku tidak boleh lemah, jika aku lemah juga kasihan papa yang sedang berjuang untuk sebuah pembuktian, pasti sekarang juga mereka sangat sulit untuk bergerak bebas, akubat tuduhan itu, aku menghapus bulir bening yang terjatuh begitu saja, sebelum mama dan Fina terbangun dan melihat. Ternyata setelah membawa Fina ke kamarku dan mencoba untuk menenangkan Fina, kami tertidur mama juga tiba-tiba ikut tertidur di samping kami, dan kini hari sudah sore, Perlahan aku melepas pelukan mereka, dan menurunkan kakiku ke lantai, aku berjalan keluar kamarku, dan berjalan menuju meja makan dan menuangkan air putih kedalam gelas lalu meneguknya hingga habis. Aku mendengar ada suara Fari dengan seseorang dari halaman luar, aku tergerak berjalam ke arah sumber suara itu perlahan, dan melihat ke sekeliling halaman, tidak terlalu banyak polisi seperti saat aku sampai tadi pagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD