Chapter 46

1505 Words
Setelah selesai mandi dan berpakaian rapih aku menghubungi Nike, sahabatku itu. setelah melakukan beberapa kali panggilan belum juga ada yang akan menjawab panggilanku, aku berdecak kesal ini sudah pukul 10 pagi, apakah mereka belum bangun? Tidak ingin menyerah aku juga harus segera kembali ke apartemenku, dengan berjalan meninggalkan kamar yang ku tinggali berjalan dalam hotel itu menuju jalan keluar, aku sudah tak menemukan keluarga baik dari Nike maupun dari Jianzi lagi, karena meraka sudah kembali ke kediaman masing-masing tadi pagi sebelum kami terbangun. Sambil mencoba menghubungi Nike, akhirnya aku telah sampai di garasi dan masuk kedalam mobilku sembil menyalakan mesin, aku terus menghubunginya, biar saja aku mengganggu waktu istirahat mereka, lagi pula ini sudah tak pantas untuk tidur di atas kasur bukan? pukul 10 lewat sudah saat ini. “Emmm, ganggu aja lo ya.” Ucap suara di sebrang, aku cekikikan mendengarnya. “Jangan bilang lo masih tidur ya.” “Ada apa?” “Aku pulang sekarang, ini udah di bawah mau otw.” “Ya udah, makasih ya. Ati-ati di jalan sayangku.” “Ya, awas lo salah paham laki lo nanti, jangan panggil-panggil orang sembarangan lagi udah nikah lo, kalau salah pahamkan bisa berabe.” “Ya, ini laki gua baru keluar dari kamar mandi, seksi banget.” “Bang*at lo. Gak usah pamer ya.” Ucapku aku mendengar galak tawa dari sebrang. “Aku gak pamer cuman mau kasih tahu aja kok.” “Gak peduli, udah aku cuman pamit mau pulang itu aja, udah bye.” Ucapku langsung memutuskan panggilan secara sepihak dan melemparkan ponsel pintarku ke bangku penumpang samping kemudi, aku menghela nafas panjang dan mulai melajukan mobilku menuju apartemen yang aku tinggali selama ini. *** Beberapa saat mengemudi akhirnya aku telah sampai di garasi apartemenku saat ini. Sebelum keluar tak lupa ku ambil tas dan mengambil kembali ponsel pintar yang aku lempar di atas bangku samping kemudi itu, dan segera keluar dari dalam mobil kesayangan ku itu. Berjalan menuju lobby apartemen dan melihat layar ponselku itu begitu banyak panggilan dan ada beberapa pesan dari sahabat kecilku itu, Eriko Rumi. Aku menghentikan langkahku tepat di depan pintu lift, menunggu hingga pintu lift itu terbuka. Aku mengecek pesan apa yang Rumi kirimkan padaku, hingga banyak panggilan tak terjawab darinya. Eriko Rumi: Raline? Raline, kau tidak pulang minggu ini? Aku mengembangkan senyumku menatap layar ponselku itu, ‘Ada apa, Rumi menghubungiku dan bertanya apa aku tidak pulang kerumah, mungkin dia ingin nebeng denganku.’ Batinku. Ting Setelah pintu lift itu berbunyi dan terbuka segera aku masuk kedalam dan akan siap untuk naik ke lantai atas. Ternyata di dalam lift sudah ada Rumi yang juga akan keluar tapi urung karena melihatku, aku menaikan sebelah alisku melihat wajahnya yang terkejut dengan tampang bodohnya itu, aku mengembangkan senyumku dan menarik hidung mancungnya itu, barulah dia tersadar dan mengaduh. “Kenapa bengong?” tanyaku, dan aku lihat ia melipat kedua tangannya di d**a, ia melirik ke arahku. “Gak apa. Kamu gak pulang?” “Enggak, aku capek banget mau istirahat dulu minggu ini, dan aku baru pulang dari acara pesta Nike.” Jawabku acuh tak acuh dia hanya melirikku dalam diam. “Aku juga baru kembali dari rumah di Tanggerang.” “Dan langsung kesini?” tanyaku menatapnya dan ia hanya kembali menatapku dengan tatapan datarnya. Ting Akhirnya pintu lift itu tebuka, segera aku dan Rumi keluar kami berjalan menuju pintu kamar apartemen yang sudah ku tempati bertahun-tahun itu. Bib Pintu apartemenku terbuka juga, aku melongos masuk lebih dulu dari Rumi menuju kamarku, aku melempar tas dan juga ponselku diatas kasur segera aku hempaskan tubuhku diatas kasur king size milikku itu. Aku menghela nafas panjang dan tidur terlentang menghadap lelangitan kamarku, memejamkan mataku masih dengan wajah yang tersenyum senang. Beberapa saat kemudian, aku membuka mataku yang terpejam, rasanya aku mulai mengantuk lagi. Aku tidak menyadari sejak kapan seorang pria manis bersandar di pintu dengan melipat kedua tangannya, posisi yang benar-benar membuatku terkejut, Rumi menatapku dari ambang pintu kamarku itu. Bukan apa, tapi tatapan sendu Rumi ke arahku membuatku mengernyit bingung, apa yang pria manis itu pikirkan kenapa dia menatapku seperti itu, segera aku mengangkat tubuhku agar terduduk di atas ranjangku. Rumi menghela nafas panjang dan beranjak dari daun pintu itu. “Huft, ayo makan siang dulu, biar kuat dan sehat terus.” Ucap Rumi berjalan meninggalkan aku menuju dapur. Aku hanya bisa menatapnya, dan beranjak mengikuti Rumi di dapur. “Emang kamu udah masak?” cicitku, dari belakang mengikuti langkah Rumi yang sudah memasuki dapur itu. “Emangnya aku ikan mas yang bisa menyulap bahan mentah jadi makanan lezat yang sudah tersaji di atas meja?” “Ya kali aja.” Cicitku pelan dia berbalik dan menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan. “Maksudku, aku pikir kamu udah masak dari tadi.” Lanjutku dengan senyum di wajahku. “Hah! Bahan yang ada di lemari pendinginmu ini, cuman ada sedikit ikan dana sedikit kangkung. Perempuan pelit, sedikit banget isi kulkasnya.” “Hey, bukan pelit karena cuman ada sedikit bahan makanan di sana, tapi aku memang belum belanja mingguan.” Cerocosku, dia hanya acuh tak acuh dan mulai mengambil bahan yang ada untuk dia olah menjadi makanan lezat untuk santapan siang ini.  Beberapa menit berlalu kini sudah tersaji makanan lezat itu dengan uap yang mengepul di sekitarnya, sangat menggugah selera, wangi masakannya luar biasa sangat menggoda jangan tanya soal rasa dia ahlinya, koki andalan resto number one di Jakarta.  Kami sama-sama duduk di bangku meja makan itu dengan tenang saling berhadapan, sesekali kami akan curi tatap, aku juga merasa heran biasanya jika di antara kami seperti ini ada sesuatu yang terjadi yang dia tahu tapi aku belum tahu, tapi aku tidak akan pernah mengorek apa itu, karena jika dia tidak menceritakannya dengan sendiri maka tidak akan pernah bisa kita membujuknya untuk bercerita banyak, aku hanya terdiam berharap dia bercerita padaku, tapi sampai berakhirnya makan siang itu pun tidak juga ada pembahasan apapun, selama makan siang berlangsung dia hanya mengajukan beberapa pertanyaan saja padaku. “Semalem tidur jam brapa?” “Lupa, kurang lebih pukul 11.” “Bangun jam brapa?” “sekitar jam 10.” “Pantes aja bangun kesiangan, kemaren pasti capek banget ya?” “Lumayan sih.” “Masih capek?” “Lumayan, enggak terlalu juga.” “Kalau capek, nanti biar aku sendiri aja ke supermarket depan untuk isi lemari pendingin kamu.” “Kamu mau ke supermarket?” “Ya.” “Aku ikut, gak capek kok. Kita ke supermarketnya barengan aja ya.” “Beneran gak capek?” “Ya, gak capek kok.” “Oke, selesai makan, kita ke supermarket.” “Oke, master chef Rumi.” Ucapku, mengembangkan senyumku, ia juga ikut tersenyum. ‘Senyum yang manis.’ Batinku. Kami menyelesaikan makan siang kami dan setelah Rumi mencuci piring bekas kami makan, kami langsung pergi ke supermarket untuk membeli bahan kebutuhan ku selama seminggu, karena aku seminggu sekali untuk membeli bahan makanan. Berjalan beriringan, jika orang lain melihat mereka akan menduga kami adalah sepasang kekasih, tapinyatanya meski kadang kami akan bergandeng tangan kami juga masih seperti kekanakan seperti berbeda keinginan dan saling berdebat, begitulah jika kita sedang bersama orang yang kita anggap dekat atau saudara kita akan menunjukkan sifat alamiah kita tanpa canggung, berbeda jika kita kenal dengan orang baru, orang akan mengira kita dewasa dan profesional. Sesampainya di supermarket kami membeli berbagai bahan makanan, dia juga ikut memilihkan beberapa bahan makanan. Setelah selesai memilih beberapa bahan makanan yang di butuhkan, tidak lupa juga membeli bumbu masakan, setelah selesai memilih dan membayarnya di kasir kami kembali ke apartemen sudah sore dan hampir maghrib, padahal jarak dari sepermarket ke gedung apartemen yang aku tinggali itu sangat dekat, tapi kami baru sampai gedung apartemen sore, tentusaja begitu karena tadi sebelum belanja bahan makanan kami, pergi ke lantau atas terlebih dahulu yang terdapat berbagai mainan, kami bermain beberapa permainan disana, sangat menyenangkan. “Raline, aku langsung pulang ya.” “Langsung pulang? Sebentar lagi maghrib loh.” “Ya, tapi aku mau pulang sekarang. Kamu jaga diri baik-baik ya. Kalau ada apa-apa telefon aku, jangan sungkan. Oke!” “Okee, terima kasih Rumi untuk hari ini, kamu juga jaga diri baik-baik.” Setelah itu Rumi meninggalkan apartemenku, saat ini tinggallah aku sendirian disini, jika sendiri memang benar-benar membosankan ya. Aku tiba-tiba jadi teringat CukVen. ‘Lagi apa? Dia dimana sekarang? Kenapa gak bilang mau pergi, kamu gosting aku kayak gini.’ Batinku berperang. Aku masuk ke dalam kamarku dan membuka ponsel pintarku, melihat chat terakhir kami beberapa bulan yang lalu, aku benar-benar merindukan sosok itu, dia yang selalu ada dan meluangkan waktu untukku. Membiarkan aku bertingkah adanya saling nyaman satu sama lain dan dia juga akan menjadi pendengar setia ku, mendengarkan segala keluh kesahku dan dia juga kadang selain menjadi motivatorku dia selalu menjadi seseorang yang mengendalikan apa yang harus dan tak harus aku lakukan, aku merasa bahagia karena pada akhirnya ada yang peduli padaku seperti dia akan tetapi sudah beberapa bulan ini dia menghilang tanpa kabar, aku ingin menghubunginya tapi melalui apa, aku bisa melakukan itu? Hiks.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD