Chapter 29

1501 Words
Setelah siap-siap kini aku dan bunda sudah rapih kembali, aku dan bunda langsung masuk ke dalam mobil. Melajukan mobilku menuju resto, untuk makan siang ku dan bunda. Setelah sampai di depan resto italia itu, tidak perlu aba-aba lagi aku langsung memarkirkan si putih dan menyusul bunda yang masuk terlebih dahulu ke dalam resto italia itu. Resto yang cukup mewah dan bisa di bilang kelas atas. Ketika aku sudah masuk ke dalam resto, aku melihat bunda sedang terduduk sendiri di bangku dan sibuk dengan gawai miliknya, aku berjalan menghampiri bunda dengan senyum cerah ku. Saat aku hampir sampai di depan bunda, tiba-tiba aku melihat Barack yang juga menghampiri meja bunda bersama dengan seorang gadis cantik, tunggu! Itu gadis yang bersama Barack saat di panti. Mungkinkah? Hais, sudahlah. “Assalamualaikum, bunda.” “Walaikumsalam, Barack. Putra bunda tersayang, sini duduk.” “Makasih bunda.” Saat aku akan mulai melangkah kembali karena sempat terdiam, aku berjalan mendekati bunda. Aku mengembangkan senyumku, senyum termanis milikku bukan senyum pahit, ini mau ketemu mantan loh, buat dia sedikit menyesal, eh, yang putusin kan aku. Hihi.. Bunda menegur ku terlebih dahulu sebelum langkahku terayun. “Eh, Raline. Sini sayang, kenapa diam saja di situ. Sini duduk di samping bunda.” Ucap bunda yang menyediakan tempat untukku dan aku masih dengan senyumku langsung duduk di samping bunda tanpa melihat kedua orang yang ada di sekitar ku dan bunda. “Eh, oya. Raline, kenalkan ini teman Barack, namanya siapa?” ucap mama dan memperkenalkan aku pada teman Barack itu. “Putri, bunda.” “Oh ya, Putri. Ah, tante saja biar keliatan lebih muda sedikit.” “I, ya tante.” Ucap Putri ragu-ragu dan melihat Barack yang hanya menunduk, kemudian Putri kembali melihat bunda Elvina dan aku bergantian. “Oya, ini Raline. Cantik 'kan? Dia sudah seperti anak tante loh, Put.” “Iya, tante.” “Ya, selain cantik dia juga baik dewasa, pengertian dan pehatian sama pacarnya dulu, tapi sekarang masih jomblo, setelah putus dari pacarnya dia mutusin untuk fokus sama kariernya, terbukti loh sekarang dia sukses, desainer hebat. Oya, kalau mau buat baju atau beli baju bisa banget, sama Raline aja, ya. Oya nama butiknya itu, Butik Zatulini.” Celoteh bunda dan Putri hanya mengangguk-angguk aku hanya terdiam menunduk dan Barack juga hanya fokus pada gawai di genggamannya tengah asik main game, meskipun mungkin telinganya mendengar apa yang bunda Elvina ucapkan. Aku mengangkat kepalaku dan menatap kedua orang yang ada di depanku itu. hah! Membosankan, terasa canggung juga. Tapi tidak apa, jika ini yang terbaik. Toh, Barack juga sudah ada yang mencintai dia, hanya saja dia perlu membuka hati dan menerima Putri. Aku rasa Putri juga perempuan baik, namun kelihatannya sedikit posesif, tapi itu bagus buat Barack agar dia selalu ada yang perhatian kepadanya. “Eh, Barack ayo dong ngomong, biasanya kamu bawel loh. Kok hari ini diem aja sih.” Pancing bunda, dan aku dengan tampang cuek malah menatap Barack, Barack yang baru saja di ajak bicara oleh bunda itu langsung mengangkat kepalanya dan menaruh gawai yang selalu ia genggam sedari tadi, Barack tersenyum. “Ya, bunda sayang.” Ucap Barack dengan senyum manisnya itu sambil meletakkan gawai miliknya di atas meja kemudian menatap bundanya. “Bunda mau gimana?” tanya Barack kemudian tatapannya beralih denganku, kemudian sesaat tatapan kami terkunci, sepersekian detik dan menit kami sama-sama mengalihkan pandangan dan aku sempat melihat ke arah Putri yang wajahnya sudah di tekuk itu, kemudian aku menunduk dan memainkan gawaiku, terlihat Barack salah tingkah. “Oh, jadi ini? Pacar yang Barack maksud sudah punya pacar?” tanya bunda tiba-tiba membuat aku terdiam dan menatap mereka. “Bunda.” Lirih barack. “Kenapa?” tanya bunda. “Nyesel, gak mau bunda jodohkan?” lanjut bunda bertanya, dan aku beralih menatap bunda. “Kenapa bunda gak bilang?” tanya Barack pelan. “Bilang? Bilang apa? Kamu udah gak mau memperbaiki hubungan itu lagi 'kan?” “Enggak gitu bunda, bunda gak bilang yang sebenarnya, kalau bunda bilang, ini semua gak akan terjadi.” “Oh, jadi sekarang kamu nyalahin bunda?” “Enggak gitu bunda. Ya udah, sekarang mau bunda apa?” “Mau bunda?” “Ya.” Mereka berdua terus bercakap yang hanya mereka berdua yang mengerti, entah apa yang sedang mereka bicarakan. “Non sei il migliore per Raline. (Kamu memang bukan yang terbaik buat Raline.)” Ucap bunda dengan bahasa italia. “Bunda, se hai detto dall’inizio, se fossi stata onesta fin dall’inizio che volevi farmi corrispondere con lui, forse non avrei chiesto aiuto a questa donna fingendo di essere il mio ragazzo. (Bunda, seandainya bunda bilang dari awal, jujur dari awal bunda mau menjodohkan aku kembali dengan dia, mungkin aku tidak akan meminta bantuan perempuan ini untuk pura-pura jadi pacarku.)” “Kamu menyalahkan bunda, hilang mood makan bunda sekarang.” “Bunda.” Lirihku, dan bunda menghela nafas lelah. Aku lihat wajah Barack yang tertekuk, dan bunda yang terlihat tidak mau mengalah, aku memang tidak mengerti bahasa mereka, tapi aku mendengar namaku di sebut, aku menghela napas, beberapa saat kemudian seorang pelayan datang melayani kami dan kami makan makan siang bersama, masih sesekali aku dan Barack curi pandang, dan ia tampak memang jauh berbeda dari dia yang dulu, aku rasa Barack semakin dewasa, dan aku kembali melanjutkan makan siang ku dengan acuh, bunda juga sama seperti tidak ada masalah apapun yang baru saja terjadi, bunda tampak bersemangat dengan makan siangnya, sedangkan Putri dia juga sesekali curi pandang dengan ku dan Barack juga bunda. Setelah selesai makan siang itu, aku pamit pada bunda untuk ke toilet sebentar dan setelah pamit aku langsung beranjak pergi meninggalkan meja itu menuju toilet. Biasanya nih, ya. Kalau di film-film kan, pas ceweknya pamit ke toilet di samperin nih sama si cowok, kira-kira kalau aku di samperin gak ya, ah mau tau nih, wkwkwk Setelah sampai di toilet aku memeriksa wajah dan penampilanku, “Wah bunda. Meski mantanku adalah anak bunda, bunda tetep aja, buat aku terlihat cantik dulu baru ketemukan aku sama anak bunda, hah.” Gumamku, Aku mengembangkan senyumku, menatap pantulan diriku di depan cermin. Pov Barack Aku mengendarai mobil hitam milikku, menuju resto italia yang bundaku maksud, bunda mengajak ku untuk makan siang bersama seorang perempuan yang akan bundaku jodohkan padaku. Bunda, aku tidak mengerti jalan pikiran bunda saat ini. Kenapa bunda ingin sekali menjodohkan ku, aku masih muda, tidak perlu terburu-buru, lagi pula apa yang bunda katakan memang benar adanya, sejujurnya sampai sekarang aku belum bisa move on dari Raline. Meskipun saat itu Raline prank aku, tapi hatiku benar-benar hancur dia prank aku berhari-hari hingga membuat aku khilaf dan melakukan suatu kesalahan yang fatal bagi Raline, sejujurnya saat Raline kembali lagi denganku, aku merasa senang tapi ada rasa takut jika aku benar-benar akan kehilangan Raline lagi dan ternyata aku benar-benar kehilangan Raline. Aku juga tidak bisa lupa dengan apa yang sudah aku lakukan, di tambah lagi wanita itu selalu mengganggu hari-hariku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena memang begitulah adanya. Terakhir kali aku bertemu dengan Raline saat kami ada di panti setahun yang lalu, sejak saat itu aku tidak pernah lagi melihat dia, di samping itu juga aku mulai sibuk dengan kegiatan baruku, menekuni usaha fotografer. Aku sangat senang karena akhirnya aku bisa wujudkan salah satu mimpiku untuk membuka usaha fotografer. Ya, mungkin saat ini Raline sudah bahagia dengan pilihannya itu, dan mungkin sudah memiliki pacar baru. Raline, apa kabar? Aku merindukan kamu, sekarang. Aku pikir, setelah hubungan kita berakhir dan aku tidak melihat kamu lagi, aku akan benar-benar bisa melupakan kamu, nyatanya aku salah. Karena aku masih sering terbayang dan memimpikan kamu, Raline. Memikirkan Raline, pikiranku menjadi berkelana luas, hah. Sebelum bertemu bunda di resto dengan perempuan yang akan bunda jodohkan denganku itu, aku terlebih dahulu menjemput Putri Dania Nugroho, dia temanku. Dia gadis cantik dan baik tapi aku rasa dia memiliki sifat cemburuan dan juga bar-bar. Kami kenal kurang lebih satu tahunan. Jadi aku berniat meminta bantuan pada Putri untuk pura-pura menjadi pacarku, dari pada aku pusing dengan bunda yang mencoba untuk menjodohkan aku. Lihatlah dia sekarang tampil cantik, tapi bagiku tetap lebih cantik Raline ku yang tiada duanya. Bunda, bunda, aku saja belum bisa melupakan Raline dari ingatanku, tapi Bunda sudah mau main jodoh-jodohkan aku saja. Tidak bunda aku tidak mau, tolong bunda jangan memaksakan perasaanku. Aku menghentikan kendaraan ku tepat di depan Putri dan dia tersenyum juga langsung masuk, duduk manis di bangku penumpang sampingku. “Halo, cantik.” “Hai.” “Ciee, cantik banget hari ini.” “Biasanya gak cantik, nih?” “Cantik kok.” Aku dan dia, aku rasa biasa becanda seperti itu. Akhirnya aku kembali melajukan mobilku ke tempat tujuan, resto italia. "Bunda kamu, seperti apa sih orangnya?" tanya Putri padaku, yang membuat aku sempat terdiam, dia membuatku berfikir jika di memang akan pergi bertemu dengan ibu dari pacarnya. "Ya, kayak gitu. Dia baik kok, kamu tenang aja dia gak akan Jambak rambut kamu. Aku pasti belain kamu kalau Bunda marah atau gak terima kamu." ucapku, berusaha menenangkan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD