Chapter 50

1519 Words
Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang king size yang dulu selalu aku tempati itu, aku menggeser-geser layar ponsel pintarku, dan aku sendiri bingung harus berbuat apa, aku hanya menggeser-geser layarnya dan keluar masuk menu, karena dengan keasikan ku yang tidak berfaedah itu aku tidak menyadari kedatangan Fina yang kini terdiam di sampingku menatap layar ponsel milikku, pada kenyataannya Fina dari tadi mengekori aku. Fina yang terdiam dengan tatapan datarnya itu menatap layar ponselku membuatku sangat terkejut ketika aku akan berbalik dan menoleh ke arahnya. “Astaghfirulloh, Fina.” Pekikku dengan nyaring, Fina juga ikut terkejut dan menatapku dengan mengangkat kedua alisnya. “Ada apa, kak?” tanya Fina yang tengah terkejut itu. “Kamu ngapain?” tanyaku yang mengatur nafasku yang tak beraturan. “Disini dari tadi, aku bingung liat kakak, cuman keluar masuk menu.” Ucapnya dengan polos. “Terus kenapa bingung?” tanyaku. “Tadi kata kak Raline, mau menghubungi pegawai kakak di Jakarta.” Ucapnya lagi, aku menghela nafas. “Tapi aku juga bingung, kenapa kakak cuman ke luar masuk menu?” lanjutnya dengan polos. “Karena aku lagi menyusun kata-kata, supaya terlihat lebih berwibawa di hadapan bawahanku.” Jawabku membuat alasan dengan ku akhiri menelan saliva. ‘Anak ini, hampir saja membuat ku jantungan.’ Batinku protes dengan sikap adikku ini. “Iya sih, kak. Itu harus biar kita keliatan hebat kan? dan mereka segan dengan kita.” Ucapnya menyetujui alasanku. “Ya.” Sahutku meringis. “Kamu mau tidur dimana malam ini?” tanyaku. “kalau aku tidur sama kakak, boleh?” tanyanya dengan mengembangkan senyumnya itu. “Boleh saja.” “Tapi?” “Tapi, apa?” tanyaku. “Ihh kakak, aku pikir kakak bolehin aku tidur sama kakak karena ada tapinya alias syaratnya gitu, jadi aku nunggu kakak ngucapin syaratnya itu.” jelasnya dan aku menghela nafas lelah dan menunjukkan tampang datarku. “Tidak ada syarat, kalau mau tidur-tidur aja.” Ucapku dan berbalik membelakanginya. Sesaat kemudian aku kembali berbalik menghadapnya, benar saja ternyata dia sudah kembali mengintip layar ponselku. “Ada apa?” tanyaku. “Pengen jadi perempuan hebat seperti kakak.” Ucapnya dengan mantap. “Jangan, gak enak.” Ucapku. “kenapa, kak?” “Jadi perempuan yang lebih baik aja dek dari kakak, huh! Kamu pikir enak seperti kakak? Yang kamu liat apa?” “Semua ke inginan kakak tercapai, dan kakak sukses di usia yang masih muda.” “Ya, Allah maha baik selalu beri kemudahan, tapi enggak masalah dunia percintaan kakak.” Ucapku semakin lirih. “Memang kenapa kak?” “Kamu mau tau ceritanya?” “Ya.” “Hm, kakak ingin sekali cerita ke kamu tapi tunggu sampai usia kamu 18 tahun seenggaknya 16 tahun.” Ucapku, dan ia menghela nafas. “Kenapa?” protesnya menuntut jawaban. “Karena, kakak gak mau kamu tahu tentang lawan jenis saat usiamu masih belum 16 atau 18 tahun. “Kak, aku sudah puber dan aku sudah menstruasi.” “Ya, kakak tahu.” “Terus?” “Oke, kamu mau tahu?” tanyaku yang tah seharusnya bertanya itu. “Ya.” “Kakak, bertemu dengan seorang pemuda yang kakak sayangi dan menumpahkan segala harapan padanya, tapi pada akhirnya kakak terluka, lalu kakak kembali bertemu dengan seorang yang kakak sayang dan kakak terluka kembali, dan sekarang kini kakak bertemu seseorang yang sangat kakak yakini bahwa dia adalah jodohku, akan tetapi kakak terluka lagi, dia menghilang.” “Kak Raline berbelit.” Ketusnya. “Kenapa?” “Gak jelas cerita kakak.” “Ya, kakak kan sudah bilang, kamu gak akan ngarti.” “Ihh kakak kok nyepelein sih?” “Nyepelein apa?” “Nyepelein aku.” “Kan emang kenyataan.” Ucapku tersenyum melihat raut wajahnya yang masam. “Enggak, aku tuh bilang kakak ceritanya gak jelas, orang itu kalau cerita yang jelas kak, bilang aku ketemu Setyo dan akhirnya dia ninggalin aku nikah gitu, ceritain sampai selesai.” Ucapnya ngegas dan aku tak tahan menahan tawaku, akhirnya pecah juga. “Kakak.” “Ya?” “Fina bukan mau ceramahin, kak Raline yang lebih segalanya dari Fina. Tapi, Fina cuman mau bilang, bahwa Allah tidak suka kita berpacaran, akan lebih baik jika menikah, dan lagi kakak berharap pada manusia itu salah, itu sebabnya karena Allah sayang sama kakak jadi Allah ingin kakak lebih berharap pada Allah dan Allah patahkan hati kakak agar kakak tidak berpacaran itu gak baik yang ada hanya akan membuat DOSA.” Jelasnya penuh penekanan pada kata dosa. “Sampai sini kakak paham?” lanjutnya bertanya dengan penuh penegasan. “Hah! Ya, itulah sebabnya kakak harap juga kamu jauh lebih baik dari kakak, dek.” Ucapku. Ya, adikku yang satu ini, gadis kecilku yang cantik, memiliki tubuh yang bagus dan tinggi bak model, parasnya juga cantik, dia senang bergaul dengan anak-anak santri, dia memang berbeda aku saja iri dengannya tapi juga senang memiliki adik seperti dia, di usianya yang masih labil ini dia tidak salah bergaul, dia sangat senang mengenakan hijab, meski dia telah mengenakan hijab akan tetapi tubuhnya yang indah itu semakin terlihat anggun, kepolosan dan ke cantikan wajahnya meski tanpa riasan itu memancarkan aura positif dan cerah di wajahnya. Sudah beberapa bulan ini sejak dia berhijab dia terlihat semakin anggun dan terlihat cantik, semoga kelak kamu bisa tetap menjaga hijabmu, dek. Maaf kakak belum bisa seperti kamu saat ini, dan nantikan juga Novel dari kisah Fina “Love with Hidden Action”. *** Disisi lain masih dalam bangunan yang sama, mama Ivana berjalan menghampiri Fari, Yanuar juga Tama. Mama berjalan dengan membawa sebuah nampan yang berisi tiga gelas kopi dan sepiring kue. Mama menaruh itu di atas meja, lalu mempersilahkan Yanuar dan Tamu untuk menyantap hidangan di atas meja itu. “Ayo, nak Yanuar dan Tama, di minum dulu dan ini ada kuenya teman minum kopi.” “Ya makasih, tante. Tidak usah repot-repot begini.” “Tidak apa, kata papanya Fari papa kamu dan papa Fari ini kenal dekat sedari kecil loh.” “Ya, tante.” “Ya, tante banyak berharap sama kamu sekarang, supaya Fari bisa seperti kamu.” Ucap mama yang membuat manik mata Fari menatap nyalang ke arah mama dan Yanuar. “Ah, maksud tante, tante ingin Fari benar-benar bisa berteman dan belajar banyak dengan kamu.” Tambah mama lagi. “Tante tengan saja, papa bilang bahwa keluarga om Hamka sudah di anggap saudara sendiri.” “Syukurlah jika begitu.” Ucap mama tersenyum ramah dan Fari kembali fokus pada gawainya. “Oya, nak Yanuar akan minap disini?” tanya mama. “Ah, enggak tante. Saat ini aku menjalankan dua tugas dari negara dan dari papa, ini sama-sama berat. Jadi aku pikir lain kali saja, saat semuanya sudah selesai, baru kita akan memper erat tali silaturahmi kita sebagai keluarga.” “Ya, kamu benar, sekarang pasti kamu sangat repot ya, karena harus memiliki laporan mengenai ini semua.” “Ya, tante, karena tante sudah menyetujui kesepakatan kita ini, maka aku akan mengundurkan diri dari kasus ini dan yang akan menanganinya adalah Tama rekanku.” “Lalu? Bagaimana dengan kamu?” “Aku yang akan membantu om Hamka menemukan bukti bahwa om Hamka tidak bersalah, ini hanya sebuah tuduhan dari seseorang di balik layar.” “Ya, benar nak Yanuar, mudah-mudahan ini semua berjalan dengan lancar dan kasus ini segera selesai.” “Ya tante, papa ingin sekali berkunjung ke mari tapi ini bukan saat yang tepat, jadi mungkin papa akan kembali ke kota ini saat kasus ini terpecahkan dan urusan papa disana juga selesai.” “Ya, nak. Tidak apa. Mudah-mudahan ini selesai secepatnya.” Setelah berbincang-bincang dan minuman yang ada di gelas Yanuar dan rekannya habis, kedua anggota kepolisian itu pamit pulang, karena harus menyampaikan laporan juga pada atasan mereka. *** Keesokan paginya, aku terbangun dengan membuka mataku perlahan dan pandangan ku pertama kali membuka mata adalah lelangitan kamarku, kamar yang dulu sebelum kuliah hingga kerja selalu aku tempati. Aku merasa tubuhku sangat berat seperti ada yang menindihnya tapi aku sendiri bingung apa yang membuat tubuhku terasa sangat berat dan jika ada yang menindih tubuhku siapa? Perlahan manik mataku, menelusuri ke arah tubuhku, ternyata ada sebuah tubuh yang kini memelukku dengan erat menganggap bahwa tubuhku ini adalah sebuah guling, ya dia adalah Fina. Aku menggesertubuhnya agar menjauh dari tubuhku, akan tetapi sia-sia saat ini dia memelukku semakin erat saja, aku menghela nafas pasrah, terdiam beberapa saat, kemudian aku menggapai guling didekat kami dan perlahan membuka pelukan Fina padaku dan mendekatkan guling itu padanya, hingga akhirnya aku terlepas juga dari pelukan erat adikku itu. Aku memijakkan telapak kakiku ke atas lantai, dan mulai melangkah ke arah kamar mandi, setelah ke kamar mandi aku berjalan melangkah ke arah pintu kamar akan bergegas menuju dapur, akan tetapi sebelum menggapai knock pintu manik mataku menangkap sebuah jam beker di atas nakas, mataku membulat sempurna saat melihat ke arah jam beker itu ternyata sudah pukul 9 pagi, segera aku menggapai knock pintu kamar dan keluar kamar. Aku mencari keberadaan mama, pikirku pasti mama sudah bangun, dan tempat pertama kali yang aku datangi adalah dapur. aku berfikir mungkin mama sedang memasak di dapur, jadi dengan cepat aku melangkahkan kakiku menuju dapur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD