Chapter 22

1508 Words
“Coba cicip ini! Gimana rasanya udah pas, belum? Atau ada yang kurang.” Ucapnya. “Emm, ini enak banget. Udah pas.” “Okay, sekarang kita tuangkan di wadahnya dan taruh di atas meja.” Ucapnya. Kini semua sudah tertata rapih di atas meja. “Lo mau kerja?” tanyanya padaku, dengan cepat aku mengangguk. “Kalau gitu, ayok kita mandi dulu.” Ajaknya. “Ini gak bisa makan dulu?” tanyaku dengan nada sedikit kecewa. “Mandi dulu lah, gadis.” “Okay.” Aku berjalan melangkah mengekorinya. Sesampainya di kamar dia menawari aku untuk mandi bersama namun aku menolak. “Mandi aja sendiri, nanti aku belakangan.” Ucapku. Jingyi mandi dan tak lama dia telah selesai mandi, gantian sekarang giliran aku yang mandi, aku mandi membersihkan tubuhku lalu setelah selesai aku keluar kamar mandi dan langsung salin, ternyata Jingyi sudah keluar kamar mungkin dia sudah selesai salin dan bersolek pikirku. Aku berjalan menuju meja rias dan memoleskan make up tipis ke wajahku. Saat aku sedang bersolek, Jingyi kembali masuk ke dalam kamar. “Mau pake baju apa, ambil aja di lemari ya.” Ucapnya membuka lemari. Aku langsung berdiri dan menghampirinya. Aku memilih beberapa pakaian dan aku coba, setelah menentukan pilihan aku akan mengenakan pakaian apa, pakaian itupun aku pakai lalu kami keluar kamar untuk sarapan. Masakan keluarga Jingyi benar-benar lezat. Aku sangat menikmatinya, dan aku juga di suruh bawa bekal oleh ibu Jingyi dan dengan senang hati aku membawa bontot. Setelah sarapan dan menyiapkan bontot selesai, kami siap-siap akan pergi bekerja, aku dan Jingyi bersama namun berbeda kendaraan karena kami ke arah yang berlawanan. *** Menempuh perjalanan beberapa saat akhirnya aku telah sampai di depan gedung butikku, Butik Zatulini. Aku memarkirkan si putih di tempat biasa aku parkir setelahnya, masuk ke dalam butik yang langsung di sapa oleh ketiga karyawatiku dengan kompak, ala drama korean gitu. Aku di buat terkejut dengan tingkah ketiga karyawatiku itu. “Selamat pagi, boss.” Ucap mereka kompak di depan pintu berbaris dan menunduk. “Pa, gi.” Sahutku ragu-ragu. “Kalian kenapa?” tanyaku. “Gak biasanya.” Lanjutku yang masih syok. “Kami beberapa hari ini belajar ala-ala yang ada di drama korea gitu loh, boss.” Jawab Amy yang di angguki oleh Mira dan Tika. “Ada saja.” Ucapku yang acuh dan berjalan akan masuk keruanganku. “Boss, tunggu.” Ucap Tika yang bergegas menghampiri aku. “Ada apa?” “Kemarin, ada banyak pelanggan yang dateng dan pulang dengan tangan kosong. Kami sudah mencoba untuk menghubungi boss tapi gak bisa.” “Ya udahlah, mau gimana lagi, biarin aja. Nanti mereka dateng lagi.” “Ya, boss.” Dan aku masuk ke dalam ruangan ku, siap tempur dengan pekerjaan yang ku tinggal kemarin dan menghubungi beberapa costumer yang pending kemarin. Aku kembali membuka tabloidku dan membuka sebuah buku di meja kerjaku, ternyata hari ini aku akan memulainya dengan membuat kebaya pernikahan. Semua sudah rapih aku kerjakan dan kini aku tinggal memberi payet-payet cantik pada kebaya itu. aku memanggil Amy untuk membantuku, memberi payet pada kebayak itu agar terlihat mewah dan semakin berkelas. “Amy.” Panggilku. “Ya, boss.” Amy langsung mendekatiku yang berdiri di ambang pintu ruangan ku. “Sibuk gak?” “Enggak, boss.” “Bantuin!” Titahku. “Siap.” Ucapnya dan masuk mengikuti ku dari belakang. “Ngapain?” tanyaku, menoleh ke arahnya. “Mau bantuin boss.” Ucapnya. “Oh iya. Sini bantuin aku kasih payet di kebaya ini, ya.” “Okay siap.” Kini Amy sekarang membantu ku memberi payet pada kebaya itu. Kini kebaya itu mulai terlihat cantik. Tiba waktunya makan siang. “Bawa bontot?” tanyaku. “Bawa.” “Ambil, kita makan disini aja.” Titahku. “Siap.” Ucapnya. Amy mengambil bontotnya dan akan makan siang dengan ku di ruang kerjaku itu. Ya, aku memiliki tiga orang Pegawai, masing-masing memiliki tugasnya sesuai skill mereka, Amy di bagian produksi, karena dia juga pernah mengambil kursus jahit, sedangkan Mira dan Tika di bagian kasir dan pemasaran. “Amy.” “Ya.” “Lo mau makan di dalem?” “Ya, lagi ada kerja, harus bantuin boss.” “Okay.” Amy kembali masuk keruangan ku. Aku menyuruhnya untuk duduk di sofa depanku, dan kami menyantap makan siang kami bersama, aku dan Amy bertukar menu. Saling mencicipi. “Boss.” “Ya.” “Desain baju pengantin ini cantik loh, ini memang permintaan pengantinnya atau terima beres, boss?” “Terima beres.” “Wah, berati ini hasil dari ke pusingan boss?” “Ya.” “Wah, boss. Hebat sekali ya. Aku sangat beruntung memiliki boss seperti mba Raline. Luar biasa sekali, otak boss berlian sekali.” “Makasih pujiannya.” “Boss, berati boleh dong nanti saat aku nikahan, boss desain baju pengantinku.” “Boleh-boleh, sesuai bajet lah.” Ucapku. “Ya, jangan mahal-mahal boss sama anak buah sendiri.” “Ya, kita rundingkan lagi nanti. Memang sudah ada calonnya?” “Belum boss.” Ucap Amy dengan senyumnya yang gak ngenakin. Pingin di tampol rasanya. “Cari dulu pasangannya.” “Yah, dikira gampang cari pasangan udah kaya cari tempe di warung.” “Ya, usahalah.” “Siap boss, doakan saja, mudah-mudahan secepatnya, Tuhan kasih aku jodoh, ‘kan biar bisa pakai kebaya hasil desain, boss. Yang cantik ya boss, buatnya nanti.” Ucapnya sambil tertawa. “Aku udah bilang, sesuai bajet jangan minta lebih deh. Gak kasian liat otakku yang di buat mikir terus setiap hari?” “Ya, resiko boss.” “Busyet ini bocah, sopan amat yak. Lo gak kasian sama boss mu ini, nanti botak bagai mana ‘kan gak cantik lagi.” “Ya, boss. Tenang aja. Jangan galak-galak napa. Mudah-mudahan Amy dapat calon yang kaya, kan bisa pesen kebaya sama boss, ya kalau gak sih. Mentok, mentok sewa di salon kecil, haha.” “Ini bocah, emang dasar ya. Buat jengkel aja deh.” Gumamku dengan tatapan datar, sedangkan dia malah tertawa dengan senangnya. Setelah selesai makan siang dan istirahat sejenak, kami kembali bekerja, menyelesaikan kebaya yang akan di ambil besok itu oleh sang calon pengantin. Aku dan ketiga karyawatiku bersiap akan pulang, hari ini. Karena sudah jam lima, itu artinya waktu kami menutup butik dan bersiap untuk pulang. Setelah selesai merapihkan semuanya, aku pulang lebih dahulu, karena yang mengunci butik tugasnya mereka, aku menyerahkan kuncinya sama mereka. Aku sudah ada di dalam mobil cantikku dan menyalakan mesinnya, dari dalam tas yang selalu aku bawa, terdengar sebuah suara yang menandakan ada sebuah pesan masuk. Segera aku mengambilnya dari dalam tas, dan memeriksa siapakah yang menghubungi ku. Manik mataku tertuju pada sebuah nomer baru artinya ini nomer baru yang memberiku pesan, apakah dia salah satu customerku? Tentu saja bukan, karena ini adalah nomer pribadiku. Namun karena aku malas, main ponsel dan aku ingin cepat-cepat sampai apartemen jadi, pesan itu aku abaikan. Jujur saja aku malas untuk membalas pesan jika tidak jelas seperti itu, meskipun dia adalah adikku. Aku kembali fokus untuk menyetir dan kini aku telah menepikan kendaraan ku untuk memasuki sebuah gedung, ya gedung yang memberiku rasa nyaman selama di Jakarta ini. Tempat yang menjadi tujuanku untuk melepas lelah, dan selalu agar cepat sampai gedung itu,  apartemen. Setelah memarkirkan si putih keren dan cantikku aku berjalan dengan semangat, masuk ke lift berjalan di lorong hingga akhirnya kini aku telah sampai di depan pintu apartemenku. Begitu pintu terbuka aku langsung masuk dan menutupnya kembali. Aku berjalan menuju dapur, menaruh tas selempangku di atas meja, aku membuka kulkas berniat akan membuat makanan, saat pintu kulkas terbuka, manik mata coklat terangku tertuju pada sebuah kotak, aku membukanya, ahh aku baru ingat ternyata kerang sayur seafood dari papa masih utuh di dalam kotak ini, aku menatapnya dengan sendu, ternyata beku di dalam prizer. Aku memutar-mutar kotak itu tak lepas dari pandanganku, aku mengecek seluruh bagian dari kotak seafood itu. Aku sendiri bingung kenapa aku mengeceknya sampai seperti itu, memutar-mutarnya lama sambil menatapnya seolah mencari sesuatu dengan penasaran, padahal ya begitu saja, kotak makanan yang di dalamnya terdapat seafood yang sudah beku. Tiba-tiba aku yang kembali tersadar, kini menaruhnya di sebuah mangkuk dan aku masukkan ke microwave hingga panas kembali, setelah itu aku taruh di atas meja dan aku cicipi rasanya, aku pikir masih nikmat tetapi harus di beri bumbu lagi, karena tadi dari beku, jadi airnya bertambah. “Uh, sayang lah. Ini sayur, papaku yang buat dengan tangannya yang lebar dan besar itu. Kenapa aku bisa lupa? Ck, ck, uh sayangnya.” Rancauku sambil mengelus-elus mangkuk sayur itu. Aku merasa punya ide untuk sayur seafood itu, hasil ide yang aku pikirkan adalah aku harus membuat bumbu dan memasak seafood itu kembali. Setelah selesai aku taruh di atas meja, akhirnya aku bisa menyantapnya, untung tidak basi karena di masukkan ke dalam kulkas.  Aku terdiam sejenak menatap uap yang mengepul di atas masakanku, dan aku mendengar suara nada ponselku berbunyi itu artinya ada yang menelfon ku, segera aku ambil ponselku dan melihat siapa yang telepon aku, eh ternyata dia. Langsung aku angkat telepon darinya, dan berjalan menuju kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD