Chapter 41

1512 Words
“Put, aku keluar dulu sebentar.” Ucap pria tampan itu dan perempuan di sampingnya itu mengangguk dengan senyumnya yang manis. Berjalan pasti meninggalkan perempuan yang ada di sampingnya, keluar dari ruangan itu, pria itu menutup pintu dan netra coklatnya menjelajahi seluruh penjuru yang ada di ruangan tempat dimana ia berada saat ini. Manik mataku masih memerhatikan betul sosok pria itu dari layar di depanku. Kini ia berjalan mendekati kedua orang pegawai yang ada di sana, Tika dan Mira. Tampaknya pria itu mengajak mereka berbincang entah apa yang sedang mereka bicarakan, akan tetapi manik mata pria itu selalu mengarah ke sebuah pintu ruangan, aku tahu betul pandangan pria itu tidak bisa lepas dari pintu ruangan yang aku tempati saat ini, apakah dia tahu bahwa aku ada disini saat ini? Peduli apa aku? Ku palingkan pandanganku ke arah lain dari layar itu dengan melipat tangan di antara d*da dan perutku. Ting Aku mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja, ada sebuah pesan masuk ternyata dari Tika, benar saja dia mengatakan bahwa Barack ingin bertemu dengan ku. Tika: Bos, mas Barack tahu bos ada di dalam, karena mobil bos juga masih terparkir di luar. Me: Kenapa kamu gak bilang, kalau aku naik taxi online? Tika: Ya, bos. Aku kembali menatap layar yang ada di depan ku masih menampakkan sosok pria itu yang tengah berjalan mendekati pintu ruangan ku. Namun, aku lihat usaha Tika yang menghalangi pria itu juga tak gentar dengan caranya yang selalu mencari topik pembahasan lain disela-sela membuat pria itu agar percaya padanya. Aku menarik sebelah sudut bibirku yang tersenyum miris mengawasi mereka. “Dasar, pria keras kepala.” Gumam Ku. Disaat Barack dan Tika berdiri di depan pintu ruangan ku, Putri dan Amy keluar dari ruangan dan Putri melihat tangan Barack yang menggapai knock pintu ruangan ku, aku bernafas lega karena Barack urung untuk memaksa masuk ke dalam ruangan ku. "Mas?" "Put?" Baik Barack maupun perempuan itu saling tatap, dan aku bernafas lega karena Barack urung untuk memaksa masuk ke dalam ruangan ku. "Sudah selesai?" tanya Barack pada calon istrinya itu, agak canggung dan saat calon istrinya itu akan buka suara manik hitam perempuan cantik itu tidak sengaja menangkap beberapa pigura yang terpampang di dinding dekat pintu ruangan ku itu, tepat di tempat mereka berdiri saat ini. Aku dapat melihat keterkejutan di mata dan sikap perempuan cantik itu, aku rasa perempuan cantik itu benar-benar tidak tahu jika butik ini adalah milikku. Kini ia tengah menatap calon suaminya yang terlihat salah tingkah dan apa yang dia lakukan sekarang. Tidak ada percakapan antara mereka hanya saling tatap, Tika dan Amy juga hanya saling tatap mungkin menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya, putri perempuan cantik itu mengalihkan pandangannya dari calon suaminya dan menatap Tika juga Amy dengan ekspresi wajah yang sudah berubah dari sebelumnya hangat. "Ya udah kalau sudah selesai, ayo kita pulang sekarang." ajak Barack yang langsung berjalan keluar butik Putri mengekori dari belakang dengan tangan yang terlipat di dadanya. Aku tersenyum kecut melihat dua sejoli itu, keluar dari gedung butikku. setelah memastikan dua sejoli itu sudah meninggalkan gedung butikku, aku membuang napas panjang, menyenderkan tubuh dan kepalaku di kursi kerja, aku ingin menemukan ketenangan dengan memejamkan mataku, merilekskan pikiran dan perasaan ku. "Barack Bahtiar, apa kau bahagia dengan keputusan mu, apa kau benar-benar sudah siap untuk berumah tangga dengan wanita lain? apa kau benar-benar sudah melupakan aku?" gumam ku dengan mata yang masih terpejam, seketika itu juga aku tersadar dan langsung membuka mataku lebar-lebar. "Apa yang aku pikirkan?" Aku membuka gawai ku yang bergetar itu. "Ven?" Aku tersenyum sumringah menatap nama yang terdapat di ponselku. "Ya, Halo?" "Ucukkuuuuu.." terdengar suara berat dari seberang, tak kuasa aku menahan senyum dan rasa bahagiaku mendengar suara pria satu ini, dia pria yang mampu mengubah suasana hatiku dengan begitu cepat. "Ven.." "Sayang.." *** Kami selalu saling berhubungan dengan menggunakan alat komunikasi, aku berharap suatu saat bisa bertemu dengan lelaki ini. Dia masuk dalam hidup ku ketika aku membutuhkan seseorang yang selalu ada, terima kasih Ven, selama hampir 2 tahun ini kamu selalu ada untuk ku, menemani hari-hariku tanpa Barack, hari ini adalah pernikahan Barack dan Putri, aku sudah bisa ikhlas, meski saat pemesanan gaun di butikku kami sama sekali tidak pernah bertemu, tapi saat hari penting mereka apa aku masih bisa mengelak, tidak. Aku akan datang di acara spesial mereka meskipun hanya sebentar saja. Saat ini aku tengah berdiri di depan cermin dalam kamar apartemen ku, tengah mengenakan sebuah dress hasil tanganku sendiri, yang berwarna putih dan merah, tadinya aku ingin mengenakan dress berwarna hitam akan tetapi urung, karena aku takut pakaian yang akan aku kenakan menjadi pusat perhatian dari teman-teman, bisa-bisa aku di katakan belum bisa move on, tidak. aku akan mengenakan dress berwarna putih kombinasi merah saja lebih cantik saat aku pakai. Aku mencoba tersenyum didepan cermin, tidak buruk juga aku akan selalu menunjukkan senyum ku pada semua orang meski hatiku mungkin.. ah sudahlah, sekarang aku akan mengambil tas tanganku dan siap untuk berangkat ke pesta pernikahan Barack dan Putri di salah satu gedung yang ada di Jakarta ini. Tak Tak Aku menghentikan langkahku tepat didepan sosok pria tinggi dan gagah itu, yang tengah berdiri di depan jendela ruang tamu ku, pria itu berbalik dan mengembangkan senyumnya yang sangat manis itu. "Are you ready?" "Yes." ucapku ikut tersenyum. "Ayo." Kami keluar dari apartemen yang aku tempati, berjalan menuju pintu lift yang akan membawa kami menuju kendaraan miliknya yang telah ia parkir kan di garasi gedung tinggi ini. Ya, pria tampan di sampingku saat ini adalah Eriko Rumi, sahabatku sekaligus sudah seperti kerabat ku. Rumi menepikan kendaraannya di sebuah gedung mewah dan memarkirkan mobilnya itu di garasi gedung hotel yang cukup terkenal di kota ini, Jakarta. setelah mobil Rumi terparkir, aku dan Rumi keluar dari dalam mobil, sempat merasa gugup, akan tetapi tidak apa, aku bisa melewati ini dengan baik. Rumi yang melihatku sedikit kurang nyaman dia menghampiri aku dan tersenyum. "Are you Ok?" tanyanya padaku, aku mengangguk dengan sedikit senyum, ia menyuruh ku untuk menggandeng tangannya, tanpa ada bantahan dan penolakan aku langsung melakukan yang ia pinta itu. Kami masuk kedalam gedung mewah itu langsung menuju ballroom hotel, berjalan beriringan dengan tangan Rumi yang ku peluk dengan erat tanpa aku sadari dan aku merasa langkah kakiku semakin berat, tiba-tiba Rumi berhenti sebelum memasuki ballroom. "Ada apa?" tanya Rumi, dan aku menggunakan ekspresi wajah bingung dengan pertanyaan Rumi padaku. "Kenapa?" "Pegangan tangan mu semakin kencang." bisiknya yang refleks membuatku melepaskan pegangan tangan ku pada lengan Rumi, aku melihat ia tersenyum, oh kenapa dia memiliki senyum yang semanis itu (Tepok jidat dengan pikiran liar ku, dia sahabat sudah seperti kerabat ku.) Rumi paling bisa mengubah suasana hatiku, yang tadinya sangat gugup dan sekarang sudah mulai biasa saja, atau bahkan aku melupakan apa yang membuatku gugup. "Kamu sangat gugup, jika tidak sanggup untuk masuk kedalam jangan masuk, ayo kita ke taman hiburan saja." "Ost, aku tidak gugup dan aku baik-baik saja." kesal ku dengan manja dan jalan lebih dahulu darinya masuk ke dalam ballroom hotel, ternyata sudah banyak tamu yang hadir, aku dapat melihat bunda dan suaminya disana, tengah sibuk dan menjamu tamunya yang hadir di acara putranya itu. Tiba-tiba aku merasakan ada tepukan di pundak ku, aku tahu itu siapa, pastilah Rumi, dia selalu menjahili aku. "Rumi, jangan menggodaku disini. aku baik-baik saja apa matamu kurang jelas melihatnya, kalau begitu sepulang dari sini aku akan belikan kaca pembesar untukmu." Rancauku. aku tidak mendengar suara jahil pria ini tatapi tangan pria ini juga tidak melepaskan sentuhannya di pundak ku. Jadi rasa penasaran menyelimuti hati ku yang membuat ku merasa sedikit penasaran, ketika tubuhku telah berbalik, terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini, dia Noe tengah tersenyum menatapku, disampingnya ada seorang gadis cantik dan di belakang mereka adalah Rumi yang menunjukkan cengirnya, dengan cepat aku mengubah raut wajah ku. Dan berdeham untuk menetralisir keterkejutan ku, bukan apa masalahnya tadi aku sempat bergumam yang menyangka itu adalah tangan Rumi dan ternyata tangan Noe. "Noe?" gumamku Gadis cantik yang ada di samping Noe itu tersenyum manis, melihatku sedikit salah tingkah. "Mba Raline?" tanya gadis itu, Noe memasukkan tangannya yang menggantung di udara kedalam saku celananya. "Ya." jawabku singkat, memangnya aku harus SKSD(Sok kenal sok dekat) atau aku harus menjawab dengan panjang lebar? aku lihat gadis ini sangat ramah dan selalu tersenyum manis, sangat lemah lembut juga cantik, terlihat jauh lebih muda. sepertinya gadis ini masih kuliah di semester muda. "Mba Raline, sangat cantik dan dewasa. pantas mas Barack sangat mencintai mba Raline, sayang sekali mba Raline tidak jadi saudaraku. seandainya yang sekarang duduk disana adalah mba Raline pasti semua akan terlihat bahagia, dan mas Barack juga.." "Ah? kamu saudara Barack?" "Ya, mba. Aku adik sepupu mas Barack dan pacar dari mas Noe." jawab gadis cantik di depanku ini dengan tersenyum malu-malu. aku memang pandai mengalihkan topik, malas rasanya membahas tentang dia sekarang yang ada pikiranku akan traveling jauh lagi, jangan buat suasana hatiku menjadi rumit kembali. "Jangan sia-siakan dia gadis yang baik." ucapku menepuk lengan Noe dia tersenyum. "Paling pandai." gumamnya pelan hampir tak terdengar, aku ikut tersenyum dan menghampiri Rumi yang sudah duduk di bangku dekat kami berdiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD