Chapter 40

1537 Words
Aku menjatuhkan tubuhku yang lelah di atas ranjang king size yang ada di apartemenku ini. Aku memejamkan mataku perlahan, berharap bisa tertidur dengan lelap malam ini, akan tetapi ditelinga ku masih terngiang dengan suara mama Elvina di telefon tadi siang. Flashback on.. Seorang gadis cantik tengah berkutat di sebuah ruangan yang luas dan besar itu sendirian, dia tengah mengerjakan sesuatu, melihat dari cara gadis itu melakukan kegiatannya, sepertinya gadis ini sudah biasa melakukan apa yang sedang ia kerjakan, terbukti dengan lincah dan lihai gadis itu membuat sebuah gaun indah dan benar-benar sangat cantik sekali gaun itu meski belum begitu sempurna. Drrrttttt Ponsel gadis cantik itu mengalihkan pandangan gadis itu, segera ia bangun dari tempat duduknya dan mengambil sebuah ponsel pintar di atas mejanya. “Bunda Elvina?” gumam gadis itu, ya dia adalah Raline. “Halo, bunda.” “Ya, halo. Raline sayang, bunda merindukan dirimu, apa kau juga merindukan bunda? “Sangat, bunda. Apa kabar?” “Alhamdulillah, bunda baik sayang. Bunda ingin curhat sangat butuh teman curhat. kau sedang apa? Apa bunda mengganggu mu hari ini?” “Tidak, bunda. Ada apa? Katakan saja, padaku.” “Benar bunda tidak mengganggu kamu, sayang?” “Ya, bunda. Ada apa?” “Hah! Bunda rasa ini tidak pantas bunda curhat tentang Barack padamu.” Ucapnya lirih setelah menghela nafas. Aku terdiam sejenak kemudian mencoba untuk tersenyum agar terlihat ramah di depan bundanya mantan ku itu. “Bunda jangan sungkan, bukankah kita sudah seperti kerabat? Aku sudah melupakan masa lalu.” “Ya, sekarang memang saatnya membuka lembaran baru.” Sahut bunda masih terdengar lirih. “Ada apa, bunda jangan membuat Raline penasaran.” “Ah, maaf sayang. Oke, bunda akan ceritakan padamu.” “Ya, dengan senang hari aku akan menjadi pendengar setia bunda.” Ucapku dan aku dengar lagi dan lagi, bunda menarik dan menghembuskan nafas panjang. Aku menantikan apa yang akan wanita paruh baya ini ceritakan padaku tentang anak laki-laki tunggalnya itu. penuh kesabaran mendengar suaranya yang semakin mengecil dan hampir tak terdengar di telinga itu aku mulai fokus menempelkan ponsel pintarku di telinga, menanti sebuah suara. “Raline.” “Ya, bunda.” “Raline pun sangat tahu, bunda juga sudah tua.” Ucapnya terjeda dan aku hanya diam. Aku dengar lagi dia menghela nafas. “Kakak Barack juga sudah menikah dan sekarang sedang hamil, sebentar lagi bunda akan di panggil nenek oleh cucu bunda.” “Raline.” Panggil bunda kembali. “Ya, bunda.” “Bunda masih berharap, jodoh Barack itu adalah kamu.” “Maafkan Raline dan Barack, bunda.” “Ya, bunda hanya berusaha untuk memahami kalian sebagai anak muda jaman sekarang. Bunda ikhlas Raline jika jodoh Barack bukan Raline tapi si Putri, gadis yang Barack bawa saat itu.” “Kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang memang bukan menjadi milik kita, bunda.” “Ya, sayang.” Aku mendengar suara lirih bunda yang hampir tak terdengar itu. “Mereka akan menikah, nak.” Ucap bunda yang hampir tak terdengar di telingaku, seketika itu juga aku terdiam dan aku merasa seluruh tubuhku bergetar hebar dan pecayalah apapun yang aku genggam saat ini akan lepas dari cekalanku, seperti ponsel yang ada di tanganku juga saat ini sudah tergeletak di atas sofa, untung saja aku sedang duduk di sofa. Air mataku meluruh terjun bebes begitu saja, seluruh tubuhku yang terasa lemas dan aku merasakan sangat sakit di ulu hatiku. ‘Mengapa sesakit ini, saat mendengar kabar tiba-tiba pria itu akan menikah. Bukankah aku yang memutuskan hubungan kami. Mengapa aku merasa dadaku sangat sesak saat ini.’ Batinku bertanya-tanya. “Halo? Halu? Nak, Raline kau masih disini?”suara benda terdengar di telingaku, mungkin tanpa aku sadari jariku menekan tombol lospeker, segera aku terburu-buru akan menggenggam kembali ponsel itu, akan tetapi terjatuh kembali dan aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan nafasku yang tercekat sedikit normal, aku berhasil kembali menggenggam ponsel pintar milikku itu. “Halo, bunda?” ucapku, namun sayang sekali rupanya aku telat, dan panggilan itu sudah berakhir, aku mengatur nafas dan memejamkan mataku, air mataku yang tadinya ingin menerjang ingin keluar, akhirnya meruntuhkan pertahanan ku, aku terisak di atas sofa menyenderkan tubuhku yang lemas, ada perasaan yang begitu sesak dan perih di ulu hatiku, hingga tanpa aku sadari aku mulai terlelap di ruang kerjaku itu. Karena lelah dan terlalu lemah keadaan tubuhku, membuatku tertidur lelap di atas sofa dalam ruangan ku itu, sudah satu jam lamanya aku tertidur, kini aku mengerjapkan mataku berlahan dan mengingat kembali apa yang terjadi padaku sebelumnya. Ya, aku menangisi hal yang telah aku sia-siakan dan mungkin memang benar bahwa Barack bukanlah jodohku, aku memijat kepalaku yang terasa pusing. Aku bangun perlahan dan menuju kamar kecil dalam ruangan ku dan mencuci wajahku, aku memandang wajahku di depan cermin, aku mencoba untuk tersenyum dan keluar kembali dari kamar kecil itu dan kembali fokus pada pekerjaanku hingga sore tanpa aku sadari sudah waktunya untuk pulang ketempat ternyaman untuk bermalas-malasan. Flashback off.. Aku kembali membuka mataku dan mendudukkan tubuhku di atas ranjang king size milikku itu. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku lalu membuangnya dengan kasar. ‘Aku pasti bisa.’ Batinku memantrai. “Tapi, aku masih penasaran tentang apa yang bunda beri tahukan padaku.” Gumamku pelan. Aku menoleh ke arah nakas dan beranjak untuk mengambil ponselku, aku mengecek isi ponselku apakah ada pesan dari bunda atau panggilan telefon. Setelah aku cek, ternyata benar memang ada pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari bunda Elvina. Aku menatap jam beker di atas nakas ternyata waktunya sudah tidak baik jika aku akan menelefon bunda saat menjelang tengah malam seperti ini, aku hanya mengirim bunda balasan pesan singkat saja. Aku menaruh kembali ponsel pintarku diatas nakas dan akhirnya aku bisa tertidur dengan lelap. *** Keesokan paginya aku melakukan aktifitas rutinku seperti biasa, dan setelah selesai dan siap aku langsung pergi ke butikku, sepertinya juga melupakan sesuatu yang aku tangisi kemarin. Ya, aku belum kembali mengingat tentang telefon dari bunda. Aku memulai hariku dengan ceria dan penuh semangat, aku mulai mengerjakan aktifitasku mengambar sebuah kebaya, sesuai pesanan klien. Drrrrttttt Ponselku mengalihkan fokusku, segera aku beranjak dan mengambil ponselku dari dalam tas jinjing milikku itu. ternyata ada panggilan tak terjawab dari bunda dan ada sebuah pesan singkat dari bunda. Bunda Elvina: Raline, sayang Barack dan calon istrinya akan memesan kebaya. Apakah kau ada di butik? Mungkin sebentar lagi mereka akan sampai. “Barack akan memesan gaun pengantin mereka disini? Kenapa harus disini?” gumamku protes dengan keluarga Barack itu. “Mereka keterlaluan! Baiklah, aku pandai berekting, kalaupun aku menjadi artis aku pasti sudah terkenal sampai ke ujung plosok dunia sekali pun, tapi bukannya mau sombong, aku hanya mau jadi desinger bukan aktris.” Rancauku. “Haduh, pasti sebentar lagi mereka akan tiba disini. Apa yang harus aku lakukan, ya? Apa aku berikan saja pada Amy? Ya, aku harus telefon Amy dulu.” Aku langsung menggapai ponselku dan menelfon bagian depan untuk mengantarkan mereka ke ruangan Amy, setelah menghubungi Tika, baru aku menghubungi Amy. Kira-kira anak itu sedang apa, ya? Apakah dia sedang mengajari yuniornya itu, Fero? Entahlah! Aku langsung mendeal telefon yang ada di ruangan Amy dan Fero. Ternyata benar saja, setelah aku mengecek layar cctv yang ada di ruanganku, aku melihat pria itu, Barack dan calon istrinya. Berjalan menuju Tika yang paham dan ingat intruksiku barusan, dia langsung menghampiri Barack dan perempuan itu. “Halo, selamat siang mas Barack.” “Siang, ehm.. yang punya butik ada?” “Mba Raline?” tanyaku, yang langsung di angguki oleh Barack. “Ah, maaf mas. Mba Raline lagi keluar ada pertemuan dengan klien, mas.” “Oh, begitu?” tanya Barack dengan nada kecewa, aku dapat melihat ekspresi pria itu dari layar monitor depanku saat ini. “Memang ada urusan apa, mas? Mau pesan kebaya, ya?” “Ya mba.” Ucap putri, prempuan ini calon istri Barack. “Ah, kalau begitu saa antar ke asisten mba Raline saja ya.” “Oke, boleh deh gak apa. Katanya sih disini bagus loh hasil kebayanya dan setelah saya kesini, ternyata memang benar adanya, hasil kebayanya bagus-bagus aku lihat di pajangan ini sangat bagus.” “Ya, tapi sayang sekali sudah menjadi pesanan orang, jika mau hanya bisa po.” “Ya, tapi tepat waktukan, mba?” “Tentu saja, butik zatulini konsisten kok, mba. Nah, sekarang sudah sampai, ayo masuk mba.” “Ya, terima kasih.” “Sama-sama.” Aku dapat melihat setelah Tika mengantarkan Barack dan calon istrinya keruangan Amy, Tika kembali ke tempatnya. Aku menghela nafas lega, aku merasa belum siap untuk bertemu dengannya kembali, kemarin saja aku masih meneteskan air mata setelah mendengar kabar tentang Barack yang akan menikah. Bagai mana jika bertemu hari ini aku tidak kuasa untuk menahan air mataku? Aku pasti akan merasa malu. menatap layar didepan ku dengan tatapan kosong, pikiran ku mulai berkelana, siapa yang me rekomendasikan mereka untuk membuat kebaya disini? mungkinkah bunda yang lakukan ini? apakah bunda sedang mengujiku untuk kali ini? kenapa pria itu manut saja dengan apa yang di inginkan oleh bundanya, apakah dia juga tidak tersiksa? atau dia memang benar-benar sudah move on dan ingin pamer padaku? dia ingin menunjukkan padaku bahwa dia sudah move on dan bisa hidup bahagia dengan perempuan lain? asal kau tahu, aku tidak peduli!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD