Chapter 20

1533 Words
Aku dan Barack, pasti tidak hanya aku dan Barack saja yang memiliki kisah serupa atau bahkan mungkin ada kisah yang lebih menyakitkan dari yang aku rasakan. Mungkin sebagian orang akan mengatakan “Ini belum ada apa-apanya di bandingkan kisa kami.” Aku bersyukur langkahku belum terlalu jauh. Flashback on.. Weekand seperti kemarin, hari ini Barack akan mengerjakan skripsinya di apartemennya, hari ini aku datang menemani Barack. Sangat pagi sekali aku sudah masuk ke apartemen Barack, menyelinap sedangkan pemilik apartemen masih tertidur pulas di atas ranjang king size miliknya itu. Aku membereskan apartemen miliknya, dan membuatkan sarapan, kesukaannya. Pagi sekali aku sudah memegang sapu dan membersihkan lantai, lalu mengepelnya, setelah membersihkan lantai selasai aku mulai membuka lemari pendingin yang ada di apatment Barack, ternyata masih kosong. Untung saja aku sudah jaga-jaga dan sempat mampir ke pasar membeli sayur dan ayam. Aku menyiapkan bahan-bahannya dan siap berkutat di depan pantry itu, aku memulai aksiku di pagi hari, menyiapkan sarapan untuk Barack. Setelah beberapa saat akhirnya semua sarapan yang aku siapkan untuk Barack kini sudah tersaji cantik di atas meja makan. Aku tersenyum bangga, saat Barack terbangun nanti sudah ada sarapan di atas meja. Setelah semua sarapan sudah siap aku mencuci bekas ku memasak di wastafel, tanpa aku ketahui ternyata Barack sudah ada di belakangku dan memelukku dari belakang, aku terkejut juga tersenyum mendengar suara Barack, entah kenapa membuat ku merasa senang. “Istriku, Bundanya anak-anak, sepagi ini sudah menyiapkan sarapan, calon mantu idaman.” Ucapnya dengan suara khas bangun tidur. “Ihh, masih bau iler, sana cuci muka dulu lepas tu minum air putih, dan kita sarapan.” Ucapku, Barack tersenyum dan mencuci wajahnya di wastafel. “Pakai sabun sayang.” “Ya, nanti. Selesai sarapan sekalian mandi.” Ucapnya yang kini berjalan ke arah meja makan dan duduk di sana. Kami menikmati sarapan dengan khitmat. Ya, aku terbiasa seperti ini, datang ke apartemen Barack untuk menyiapkan kebutuhan Barack, sebangai bentuk dan cara ku menyemangati Barack. Aku sangat senang melakukan hal-hal ini. Karena aku merasa nyaman bersama Barack dia juga tidak macam-macam selama bersamaku dan tidak menyakiti hatiku, aku sangat senang. Hingga kami membangun sebuah komitmen untuk masa depan kami nantinya. Kami percaya satu sama lain, Barack pria sederhana, setia, cekatan, pintar dan pekerja keras. Tentu saja aku bangga menjadi seseorang yang penting baginya. Setelah selesai sarapan, Barack bergegas mandi dan aku mengambil baju kotor Barack yang belum sempat ia cuci, dan aku mencuci bajunya itu. Setelahnya, aku kembali ke kamar Barack, dan membereskan kamarnya yang tidak terlalu berantakan karena Barack juga sebenarnya sangat menyukai kebersihan jadi dia juga bisa di bilang anti kotor dan barang-barang yang ada di apartemennya juga tertata rapih. Aku membereskan peralatan kuliahnya, seperti merapihkan buku-buku untuk mengumpulkan materi skripsinya. Sepertinya tadi malam Barack membuka buku-bukunya, kemungkinan dia tidur larut. Karena, Barack bangun siang, biasanya dia selalu bangun pagi. Saat aku tengah fokus merapihkan buku-buku Barack, ternyata Barack sudah selesai mandi ia melilitkan handuk di pinggangnya memperlihatkan tubuh sempurnanya itu. “Sayang, lain kali pakai kimononya ya, jangan telanjang d**a begitu.” “Ya, sayang. Memang kenapa sih, kalau begini, gak papa juga kan.” “Sayang, nanti kalau aku hilaf giman, ‘kan gak enak di aku, kamunya mah ia kesenengan.” “Kok begitu, sayang? Bukannya yang ada kamunya juga yang kesenengan ya?” “Enak aja, kalau aku hamil gimana?” “Ya, kita nikah. Mang kita ngapain kok kamu bisa hamil kan kita gak ngapa-ngapain.” “Auk ah gelap.” Ucapku yang kembali fokus merapihkan buku-buku Barack. Barack masuk ke dalam walk in closet dan mengganti pakaian kemudian tak lama dia kembali keluar dengan mengenakan pakaian santai, ia terlihat rapih dan semakin tampan. Masya allah, Barack Bahtiar pacarku yang tampan juga pintar. “Sayang.” Panggil Barack, aku menoleh ke arahnya. “Ngerjain skripsinya di kamar aja ya.” Bisiknya yang kini duduk di sampingku, ia membenamkan wajah tampannya di ceruk leherku dan menghisap dalam-dalam aroma tubuhku, ‘Untung saja aku sudah mandi.’ Batinku. “Jangan di kamar dong di ruang Tv saja, lebih nyaman. Nanti kalau disini, bisa-bisa hilaf.” “Gak apa ya. Sama pacar sendiri.” Ucapnya dengan memelukku erat. “Jangan gini dong, sayang.” “Kenapa?” “Lulus dulu sayang, kita buat komitmen gimana?” “Okay, seperti apa?” “Kok seperti apa si, sayang.” “Ya udah, mau sayangnya gimana?” “Aku mau, kita fokus kuliah, lulus, setelah itu kerja setahun atau dua tahun baru kita nikah gimana?” “Okay, berati kita fokus lulus kuliah dan karir dua tahun, ya.” Final Barack dan aku mengangguk senang. Kami berpelukan, setelahnya aku membantu Barack membawa buku-bukunya ke ruang Tv, seperti sebelumnya Barack hari ini akan mengerjakan sekripsinya dan minggu depan sudah mulai bimbingan setelah dua kali bimbingan pengajuan judul akhirnya dia dapat ACC dari dosen pembimbingnya. Sepanjang hari aku menemaninya, menggarap sekripsinya. Saat waktu makan siang aku akan memasakannya, menu favorite Barack menu Italia. Hingga Barack merasa bosan dan lelah dengan kegiatannya itu. Menjelang sore, Barack menghentikan aktifitasnya, kami istirahat dan rebahan di ruang Tv itu hingga kami tertidur dengan sendirinya. Flashback off.. Mengingat semua hal itu, air mataku terus mengalir meski aku tidak menginginkan hal itu. mungkin inilah suasana hati yang tidak bisa di bohongi. Tiba-tiba aku kembali teringat akan momenku dengan Barack, saat itu adalah menjelang hari ulang tahun Barack. Aku masih ingat betul kejadian saat itu, setelah wisuda, Barack tengah sakit demam, karena saat itu aku prank dia, mengatakan aku bosan dengannya dan aku ingin putus. Semua untuk kejutan di hari ulang tahunnya, tapi sungguh aku tidak menyukai hal prank, cukup ini pertama dan terakhir bagiku. Flashback on.. Aku terduduk di bangku taman tempat biasa kami bersantai dan meminum secangkir kopi atau jus, aku selalu terlihat kesal dan marah padanya, apa yang ia lakukan selalu salah di mataku. Sempat merasa aku tidak sanggup untuk prank dia terlalu jauh. “Sayang, mau minum apa?” tanya Barack dengan lembut. “Minuman biasanya?” lanjutnya. “Terserah.” Satu kata itu keluar dari mulutku dengan acuh tak acuh, aku tetap fokus pada gawai yang aku genggam. Kemudian Barack memesankan minuman dan makanan ringan, menemani santai malam kami. Hingga tak lama kemudian makanan dan minuman kami telah sampai. Aku menatap apa yang dia pesan, uh itu jus kesukaan aku, buah naga dan kentang goreng sedangkan Barack memesan kopi panas. “Ihh.. kok pesen itu lagi sih, gimana sih. Kamu itu gak ngerti ya yang aku mau.” Ucapku mendengus, melipat kedua tanganku dan membuang pandangan. “Sayang kamu kenapa sih, beberapa hari ini? Kayaknya jutek banget deh sama aku.” “Barack, sepertinya kita udah gak cocok lagi.” Bagai petir di malam hari mungkin baginya. “Sayang, kamu lagi halangan ya?” tanya Barack dengan cengirnya, sungguh aku tidak berani untuk menatapnya, jadi aku hanya membuang mukaku. Barack mencoba menggapai wajahku dengan tangannya agar aku menatap ke arahnya, sunggu aku tidak sanggup jadi aku dengan nada kesal merengek pura-pura nangis. “Aku bosan sama kamu, aku jenuh. Kita putus dulu Barack.” Ucapku lirih dan terisak. Kalimat yang aku lontarkan membuat suasana menjadi canggung antara aku dan Barack, ia terdiam beberapa saat. Hingga dia kembali bersuara. “Sayang, kamu sakit? Kamu ada masalah? Bilang sama aku, biar kita sama-sama pecahkan masalahnya.” Ucapnya menggenggam kedua tanganku, entah sejak kapan dia sudah berjongkok di depanku dengan menggenggam kedua tanganku, ‘Untung saja, malam dan cahaya yang remang-remang.’ Batinku. “Gak ada masalah, aku pikir kita harus putus sementara kita break dulu.” Ucapku. “Sayang kamu masih ingatkan, bagaimana kita saat kamu selalu dampingin aku buat sekripsi?” “Aku ingat semuanya.” “Terus?” “Keputusan ku gak berubah, aku mohon sama kamu Barack, hargai keputusan ku, walaupun di paksakan semuanya gak akan baik.” Ucapku, Perlahan Barack melepaskan genggaman tangannya. Saat Barack melakukan hal itu sungguh ada rasa kecewa dan perasaan ada yang hilang saat itu juga aku terdiam dan kami sama-sama terdiam. Sampai beberapa saat lamanya tidak ada di antara kami yang akan memulai berbicara kembali, dan aku memberanikan diri untuk kembali membuka suara. “Aku mau pulang.” Ucapku yang mulai berdiri akan meninggalkan tempat itu. barack juga langsung berdiri. “Ayo, aku antar pulang.” Suara berat Barack membuat hatiku teriris. Tanpa penolakan aku mengikuti langkah kaki Barack menuju moge kesayangan pria itu. sebelum benar-benar menaiki kendaraan itu ia memakaikan aku helm dan bertanya satu hal. “Apakah keputusan kamu itu tidak bisa di batalkan?” tanya Barack pelan, aku langsung menggeleng dengan cepat. Barack menunduk dan bersiap di atas mogenya dan aku naik ke atas motornya itu. “Walaupun kita sudah putus, kita tetap berteman ‘kan?” tanya Barack, aku mengangguk, di atas motor Barack itu aku meneteskan air mata, ingin rasanya aku memeluk Barack tapi tidak, belum bisa aku lakukan untuk sekarang. Barack melajukan kendaraan itu, memecah jalan raya kota Jakarta dan mengantarkan aku sampai masuk ke gedung apartemen tempat ku tinggal. Sebelum benar-benar masuk aku berbalik, hanya untuk memastikan, apakah Barack sudah pergi? Ternyata belum, dia melambaikan tangan dengan senyumnya kemudian pergi dengan mengendarai mogenya itu. Jantungku berdetak tak beraturan. Cepat-cepat aku masuk ke apartemenku dan merebahkan tubuhku di atas ranjang king size milikku. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD