Chapter 19

1553 Words
Ia kembali duduk di tempatnya semula dan meletakkan piringnya di hadapan kami berdua. “Ayo, makan. Aku bawain ikan, nih.” Ucapnya. “Ya, makasih. Buat kamu aja.” Tolakku dengan halus, bagaimana tidak dia hanya membawa sebuah piring dengan satu ekor ikan, apa salah jika aku berpikir bahwa dia hanya menawari aku untuk sekedar basa basi saja? Tapi aku salah. “Aku bawa ini, untuk kita berdua loh, kalau kamu gak mau makan, ya udah aku juga gak mau makan.” “Kok gitu, sih. Ya di makan aja lah.” “Kita berdua, apa harus aku suapin? Aku suapin kamu ya.” Ucapnya yang langsung mengambil daging ikan dan siap akan menyuapkannya padaku. “Ya udah, kita makan bareng-bareng, nanti aku suapin sendiri.” “Beneran? Kita gak mau suapan nih? Padahal lebih enak kita bisa suapan loh.” Ucapnya yang berhasil lagi dia membuatku tersipu. Kami sangat menikmati, segala hal yang kami lakukan disana, suasana yang sangat menyenangkan bagiku. Setelah selesai acara, kami di pantai aku dan Jingyi pamit pulang karena hari sudah semakin sore. *** Disini aku memutuskan untuk menginap di rumah Jingyi. Besok aku akan berangkat kerja dari rumah Jingyi saja, aku belum mau pulang aku masih betah di rumah Jingyi. Seperti biasa, disini kami lebih banyak menghabiskan waktu di kamar setelah bosan nonton Tv dan mainan alat make up, kami masih saja seperti anak kecil, suka melakukan segala sesuatu yang menurut kami asik, seperti mainan alat make up, untuk merias diri dengan alasan belajar make up tapi sebenarnya karena untuk mengusir rasa bosan saja, wkwkwk Jika kami masih kecil mungkin akan mainan boneka, tapi karena kami sudah dewasa jadi kami mainan alat make up kemudian selfie-selfie, yang hasil terbagusnya akan kami upload di aku media sosial. Disini kami sekarang di dalam kamar dan bercerita banyak hal, tentang apa yang kami lalui dan dari topik satu ke topik yang lainnya, mulai dari makanan sampai ke kisah asmara. Uwuu..Hiks.. “Jadi, sekarang lo udah putus sama Barack itu?” “Ya.” “Kalau menurut aku sih, lo harus ngikutin kata hati lo aja.” “Itu gak ngasih solusi, Jingyi.” Keluhku, aku dengar ia malah tertawa. “Lo yakin, mau putus sama dia?” “Gue udah putus sama dia, bukan mau putus.” “Ya, itu maksud gua.” “Kenapa? Lo gak yakin?” “Ya, gua ingat aja, momen-momen lo sama dia dulu kaya mana.” “Jangan buat gue inget lagi, hiks..” “Sabar ya.” “Hiks, tuh kan kamu, buat aku mewek nih.. huaaa” “Ya, maaf.” Entah kenapa mengingat itu semua membuat air mataku berlinang, tanpa aku inginkan pun ia tetap menerobos keluar, sungguh menjengkelkan. Akan tetapi mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menangis tatapi air mata ini tetap keluar jadi apa boleh buat, ku jadikan saja sebagai bahan leluconku dengan Jingyi. “Huaaaa.. Jingyi, boleh ambilkan aku tissue?” “Gak mau, ambil sendiri.” “Huaaa kamu jahat sekali, aku menangis juga kan karena kamu.” “Bodo amat. Itukan emosi lo sendiri, lagi pula wajar kali, lo begitu. Gua sih gak mau lo jadi depresi, karena masalah lo sama Barack. Lo juga manusia biasa, Raline.” “Lo jangan buat kata-kata yang bisa buat hati gua tersentuh lagi dong.” “Gua sengaja kali. Biar lo tambah bombai.” Lirih Jingyi. “Teman gak ada akhlak, bukan nenangin, tapi malah tambah di buat nangis.” Keluhku dan aku dengar dia cikikikan, aku mengerucutkan bibirku. Ini salah satu bentuk pertemanan kami, saling meledek juga membully tapi kami tetap saling menyayangi dan peduli. “Raline, gua serius kali ini.” Ucap Jingyi tiba-tiba, aku menoleh ke arahnya. “Soal apa?” tanyaku yang juga penasaran. “Lo yakin bisa putus dari dia?” “Kenapa lo kayak gak yakin gitu, gue kan emang udah putus dari dia.” “Ya masalahnya, banyak momen lo berdua, suka duka, terus selain itu orang tua dia juga sama lo udah dekat banget, gitu kan. Lo gak menyayangkan semua ini? Ya, kalau lo putus artinya lo harus siap mulai yang baru dan dari awal lagi, dan lo yakin bisa nemuin orang tua kayak mamanya Barack ke elo.” “Maksudnya? Lo yang gak rela kalau gue putus sama dia?” “Bukan gitu, maksud gua itu.” “Ya, si sangat disayangkan, sebenarnya aku sangat menyayangkan ini semua, Jingyi. Tapi, gak mungkinkan kalau gue bakal nyiksa batin gue. Gue udah pernah mencoba buka hati gue lagi dan memaafkan dia. Tapi kenyataanya apa? Terulang lagi, dan gue gak mau kayak gitu terusan. Lo pasti paham gimana perasaan gue, Jingyi. Sebagai sesama wanita lo juga harus suport gue dong. Gue sama orang tuanya juga baik-baik aja kok, gue juga anggap orang tua dia, udah kayak orang tua kandung gue, gue ke Barack juga baik-baik aja, yang berubah hubungan gue sama Barack, mungkin gue sama Barack gak bisa bersama, gue gak apa, selagi itu yang terbaik.” “Raline.” Ucap Jingyi menghela nafas. “Ya, kalau itu udah keputusan lo, gua harap gak ada penyesalan nantinya. Semoga lo bisa nemuin kebahagiaan lo sendiri begitu juga sama Barack.” “Aaaamiin.” “Ya udah kita tidur, ini udah tengah malam loh.” Ucap Jingyi, aku mengangguk, kemudian kami sama-sama memejamkan mata. Setelah beberapa saat aku mendengar suara nafas Jingyi yang teratur menandakan ia sudah tertidur, lalu aku membuka mataku dan air mataku berlinang dengan sendirinya, aku mengingat Barack dan momen kami dulu saat masih kuliah. Dia mengambil pendidikan yang berbeda jurusan denganku dan kampus yang berbeda, meski begitu kami akan selalu meluangkan waktu kami untuk bertemu, dan membahas banyak hal. Flashback on.. Siang itu, cuaca sangat cerah, dua orang berbeda jenis kelamin mengendarai kendaraan roda dua, mereka terlihat bahagia. Ketika kita telah menggenggam sesuatu yang membuat kita nyaman dan menyakinkan itu adalah sumber kebahagiaan kita, tentu saja tidak akan pernah kita lepaskan. Ke dua orang itu memarkirkan kendaraan mereka di halaman parkir sebuah gedung dan keduanya berjalan beriringan saling menggenggam tangan dengan erat, senyum cerah selalu terbit di wajah mereka, diiringi celotehan mereka yang tampak semangat. “Sayang, hari ini aku akan meneraktir kamu dengan puas, katakan saja padaku apa yang kau mau pasti akan aku turuti.” “Benarkah itu?” “Tentu saja.” “Jika begitu aku ingin makan yang banyak hari ini.” “Tapi kau bukan babi yang rakus kan?” “Bukanlah sayang, kamu tega deh, ngatain aku babi yang rakus.” “Enggak sayang, siapa yang ngatain kamu babi yang rakus? Aku hanya bertanya.” Aku Barack. “Hanya sedikit menyinggung, biar uang jajan aku gak langsung habis.” Lanjutnya lirih, yang masih terdengar di telinga Raline. “Apa?” “Enggak sayang. Kamu Cantik, kamu baik.” “Gombal.” Ya kedua orang itu adalah Raline dan Barack semasa mereka masih kuliah, kedua orang itu berjalan di sebuah mall besar di kota itu. Barack baru saja mendapat kiriman, hari ini ia berniat akan meneraktir pacarnya. “Sayang, hari ini aku gak terlalu lapar, tadi sudah makan sebelum berangkat, tapi aku pingin nonton saja hari ini.” Ucap Raline yang menghentikan langkahnya di depan ruang bioskop. “Nonton? Okay, kita nonton saja.” Barack menyetujui permintaan Raline itu. “Makasih, sayang.” Ucap Raline yang tersenyum senang pada pacarnya itu, Barack. “Sayang tunggu sini ya. Aku beli tiket, pop croun dan minuman.” “Okay sayang.” Kedua orang itu, Barack dan aku setelah masuk waktunya, kami berdua masuk keruangan yang minim pencahayaan itu dan dengan nyaman menonton film dan menikmati setiap adegannya, hingga film itu selesai, setelah selesai kami memutuskan kembali pulang kerumah. Flashback off.. Aku juga mengingat saat Barack pusing mencari buka yang akan ia gunakan untuk skripsinya, kami mencari kesana kemari, dari perpustakaan kampus, kota hingga daerah dan toko buku satu ke yang lainnya, namun tidak juga menemukan buku yang barack cari. Flashback on.. “Kenapa kosong, kak?” tanya Barack terlihat wajahnya yang kini berubah jadi suram karena lelah mencari tak juga ia temukan. “Maaf, kak. Edisi itu sangat terbatas di sini dan itu sudah ada yang beli. Jadi sementara masih kosong.” Jelas karyawan itu, dan Barack berdecak kesal. “Sayang, udah jangan terlalu di pusingin. Kita cari ke perpustakaan Daerah dulu, ya.” Ucapku menggapai lengan Barack, berusaha menenagkan Barack dan ia mengangguk patuh. Aku dan Barack pergi ke perpustakaan daerah, dan akhirnya menemukan buku itu, pas sekali saat itu ada orang yang baru saja mengembalikan buku yang Barack cari. “Sayang, beruntunglah kita kesini tepat waktu, jadi belum ada orang lain yang akan meminjamnya juga ‘kan.” “Ya, makasih sayang udah mau nemenin aku terus.” “Ya, semangat berjuang untuk masa depan kita, semangat.” Ucapku, Barack juga tersenyum cerah. “Terima kasih selalu menyemangati aku, tanpa rasa lelah, selama 2 tahun ini.” Ucap Barack sambil mengenakan helm kepada ku, yang membuat aku tersentuh. “Sayang, besok weekand.” “Ya, kenapa sayang?” “Kamu, ada acara atau akan mengerjakan skripsimu?” tanyaku saat kami di atas motor akan pulang karena hari sudah mulai gelap. “Tidak ada acara, aku akan menyicil skripsiku sayang, biar cepat lulus.” Ucap Barack. Aku tersenyum memeluknya semakin erat dan menyenderkan kepalaku di punggung Barack yang proporsional itu. “Aku temani.” Finalku. Flshback off..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD