Chapter 59

1577 Words
Aku belum menyuapi mulutku dengan nasi karena aku masih menunggu Rumi, aku melihat Rumi berjalan menuju kitchen dan menenteng sebuah piring ia berjalan menuju meja makan di apartemennya. Ia menaruh piring itu di atas meja, lalu berjalan lagi menuju lemari pendingin. “Kau meminum air es, Rumi?” “Ya, melihat cuaca di luar rasanya aku ingin minum air es.” “Apa kau terbiasa meminum air es?” “Tidak juga, tapi karena hari ini cuacanya sangat cerah jadi aku memutuskan untuk meminum air es saja, dan aku akan makan di balkon.” “Oh, Oke, terserah kau saja, bagai mana enaknya menurut mu.” “Ya lah.” Setelah mengambil taperwere yang berisi air dingin itu Rumi kembali ke meja makan, dan menuangkan nasi ke dalam piringnya, setelah itu ia membuka tempat sayur mengambil dan menaruhnya ke dalam piring miliknya itu. “Kau sayur apa, Rumi?” “Ayam teriyaki dan rebus brokoli.” “Oke, kamu mau kemana?” tanyaku melihat Rumi yang menaruh taperwere yang berisi air dingin itu dalam gapitannya dan dan mengambil piring yang berisi nasi itu, ia berjalan meninggalkan meja makan. “Bukan kah tadi aku sudah bilang? Aku akan makan siang di balkon.” “Ohh, ya iya, ya sudah senyamannya kamu saja.” “Ya dong. Kau belum memakan nasi yang sejak tadi sudah ada di dalam piringmu?” “Aku menunggumu.” “Baiklah, karena kau sangat setia kawan, jadi aku sangat bangga padamu.” “Harus bangga karena aku sangat cantik, baik hati, ramah tamah, dan rajin menabung.” “Hahhah..” suara tawa renyah milik Rumi terdengar di telingaku, aku tersenyum melihatnya sebahagia itu. “Kenapa tertawa? Ada yang lucu?” “Tidak, ahh, sangat lucu, hahah..” “Ck, sudah cukup lah.” Aku lihat Rumi menaruh piring  dan taperwere itu dengan hati-hati, kini giliran ku yang tertawa, mendengar suara tawaku sontak saja membuat Rumi menoleh ke arah layar ponselnya yang menempakkan wajahku. “Ada apa?” “Kenapa kau, repot sekali?” “Maksudnya?” “Seharusnya kau taruh saja dulu, ponselmu di atas meja, kemudian mengambil taperwere dan menaruh piring juga taperwere mu itu di atas meja, baru kau benarkan posisi ponselmu.” “Ya juga sih, tapi gak apa kok. Kalau ada yang susah kenapa cari yang mudah, hahaha..” “Ohh, dasar.” “Ya sudah, ayo kita makan.” “Ya.” Aku dan Rumi menyantap makan siang kami masihng-masing dengan bersama-sama, sambil mengobrol banyak hal dan berbagai macam topik pembicaraan. “Raline.” Panggil Rumi padaku. “Ya.” “Om Hamka apa kabar?” “Katanya, dia baik-baik saja.” “Kau sangat merindukannya?” “Aku sangat merindukannya, merindukan ke harmonisan keluarga ini, seperti sebelumnya.” “Bersabarlah, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya, jadi jika kita sedang di beri cobaan itu artinya Tuhan sedang menguji kita dan ingin kita berusaha, dia tahu kita kuat dan bisa melaluinya.” “Terima kasih Rumi.” “Ya. Mudah-mudahan Om Hamka cepat menemukan bukti dan terbebas dari tuduhan itu.” “Ya, mudah-mudahan, aaamiin.” Kami sama-sama terdiam dan tidak ada yang akan memulai pembicaraan lagi, aku menatap Rumi yang tampak sedang menatap gedung-gedung tinggi di depannya setelah meneguk minuman di taperwere miliknya, sedikit senyum tipisnya merekah di wajahnya, ia meletakkan kembali taperwere itu di atas meja. “Kau sudah kenyang makan siang?” tanyaku. “Sudah, bagaimana kau? Tak ingin nambah? Biasanya kau menambah, kaukan rakus.” “Sembarangan deh, enggaklah.” “Oya?” “Ya.” “Baiklah, sekarang kau akan lanjut memasak atau kita akan bercerita saja?” “Aku ingin kita bercerita saja dulu, untuk masaknya, nanti sore saja, agar saat makan malam masih nikmat, tidak harus di panaskan dulu.” “Baiklah, sekarang kita akan bercerita tentang apa?” “Bagaimana jika kita mengenang masa kecil kita dulu?” “Baiklah, tidak masalah. Memang kau masih ingat.” “Sedikit, kau? Jangan bilang lupa.” “Bagaimana jika benar adanya, bahwa aku lupa.” “Alasan kau saja lupa, tidak asik. Skip nih.” “Hahaaa, baiklah. Kita akan bercerita tentang apa yang kita ingat saja.” “Hm.” “Tentang apa?” “Saat kita masih SMP?” “Apa yang mengesankan?” “Sangat mengesankan saat itu, aku benar-benar kecewa, karena ada Dina, teman sekelasku yang mendekati mu kemudia kalian pulang berdua dan meninggalkan aku sendiri.” “Ahh, saat itu saat aku pulang berdua dengannya hanya satu kali, disaat mengikuti ekstrakurikuler, pramuka.” “Ya, kalian jahat sekali.” “Saat itu, dia mengatakan, di sana tinggal dia sendiri dan hari hampir malam sedangkan dia perempuan melewati jalan yang sepi dengan mengontel sepeda, jadi aku pikir lebih baik dia pulang denganku dan menitipka sepedanya.” “Kau percaya ucapannya. Dia hanya ingin mendekatimu, tapi meninggalkan aku, aku sangat kecewa saat itu.” “Maaf.” “Buat apa lagi, itu sudah berapa tahun yang lalu.” “Ngomong-ngomong gimana kabar dia sekarang?” “Mana aku tahu.” “Ya, aku mulai ingat dulu dia mencoba mendekati aku sebelum kejadian itu dan setelah kejadian itu, aku mendengar cerita dari tante Ivana bahwa saat itu kamu pulang sendiri dan sampai rumah malam dan kamu sempat sakit beberapa hari. Dan akupergi menemui dia untuk menenyakan hal itu tapi dia berkilah, aku pikir yang berbohong dia tante Ivana mengatakan kebenarannya.” “Memang mama mengatakan apa? Aku baru tahu jika mama menemui mu.” “Tante tidak menemuiku, saat itu aku yang pergi bermain kerumah mu.” “Mama bilang apa?” “Tante bilang, bahwa dia mengatakan hal ini padamu. ‘Dina akan mendekati ku dan mengatakan jangan bilang jika kau masih ada di sekalah saat itu. karena Dina sudah tahu pasti jika kau masih di sekolah, aku akan sangat marah.’ Untung aku tahu dari tante saat itu, dan aku langsung menemuinya, mulai dari situ aku menghindari dia.” “Bukan karena kau merasa bersalah padaku kan?” “Raline, dia memanfaatkan kamu sekaligus menyakitimu untuk mendekati ku. Aku tidak suka jika ada yang seperti itu pada sahabatku.” Jelasnya, aku hanya menghela nafas. “Ngomong-ngomong,  aku juga pernah didekati teman kelasmu karena dia suka padamu?” “Oya? Siapa?” “Almi.” “Hah, ya dia. Dulu memang menembakku ingin aku sebagai pacarnya, tapi  aku cuekin.” “Hahha, Al pantang menyerah, sering sekali ia berkali-kali bertanya padaku tentang apa kesukaanmu, apa saja yang kau sukai dan lainsebagainya.” “Ya. Bagaimana saat ini dia bisa berhenti mendekatimu?” “Aku menolak cintanya.” “Kenapa kau tolak?” “Aku ingat papa.” “Ah, ya kau benar, bahkan Om Hamka menitipkan mu padaku.” “Ya.” “Dengar-dengar, teman dekat Al dulu sedang mendekatimu saat ini?” “Ya, Abiyan Baline.” “Hm, salah satu dokter magang disitu?” “Ya, benar.” “Lalu kau tidak berniat meresponnya?” “Tidak.” “Kenapa?” “Hatiku benar-benar tidak bisa menerimanya.” “Dia baik, mungkin sudah berubah sekarang, tidak sebaji*gan dulu.” “Hahahha, aku tidak peduli, sudah berubah atau belum, tapi yang harus di tegaskan hatiku tidak bisa di paksakan.” “Bailah perlahan, pelan-pelan saja.” “Entahlah.” “Eh, ngomong-ngomong sekarang sudah pukul berapa?” “Ah, ya kau benar Rumi. Saat ini sudah pukul 4 sore.” “Oke, mau lanjut masak?” “Ya, aku akan mengolah udang untuk Fari.” “Oke Siapkan dulu bahannya.” “Baiklah, baiklah. Sekarang buat udang asam manis, pertama ambil dulu udangnya dari lemari pendingin. Tapi sebelumnya aku akan meletakkan ponselku di tempat biasa.” Ucapku dan kemudian berjalan menuju lemari pendingin. “Barapa banyak udang yang akan kau masak, Raline?” “Aku pikir, 500g saja.” “Ya sudah, itu sudah banyak jika hanya untuk Fari.” “Tapi biasanya, Yanuar akan ikut pulang bersamanya.” “Ya, sedanglah, Fari juga sangat penggila udang pasti habis kok.” “Ya, mudah-mudahan sayur ini akan terasa enak walaupun tanpa aku cicipi.” “Ya.” “Lalu apa lagi nih yang di butuhkan?” “Sama seperti gurame tadi siang.” “Bawang bombay?” “Ya, 1buah jeruk nipis dan 1buah bawang bombay.” “Oke, lalu..” “2 batang daun bawang dan 5 sendok makan margarin, jangan lupa Air bersih secukupnya.” “Pakai margarin?” “Ya.” “Okay, baiklah, hanya ini saja bahannya?” “Ya, jika sudah semua sekarang, bumbunya yang disiapkan.” “Apa saja?” “3 sendok makan kecap manis.” “Ya.” “3 sendok makan saus tomat.” “Ya.” “2 sendok saus sambal.” “1 sendok teh lada bubuk.” “Sudah.” “1 sendok teh gula pasir.” “Ya.” “1 sendok teh kaldu instan.” “Apa itu, terserah kau ingin pakai kaldu apa.” “Oke, Rayco saja.” “Ya, tidak apa.” “Selanjutnya?” “Garam jangan lupa secukupnya saja.” “Oke. Apakah sudah bumbunya, hanya ini saja bukan?” “Ya, sekarang tinggal siapkan langkah mengolahnya.” “Oke, bos.” “Ya, memang lah aku bos.” “Hal pertama yang harus lo lakuin, Potong kepala dan ekor udang, lalu cuci sampai bersih.” “Siap.” “Pintar.” “Memang lah aku pintar.” Ucapku sambil berlenggak lenggok menuju wastafel dan membersihkan udang disana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD