Eps5: Curhat Bersama Nike

1584 Words
Setelah menyelesaikan sarapan, aku beranjak mencuci piring kotor di pantry. Tapi, tiba-tiba my memory terbuka kembali. Barack suka mengganggu diriku saat sedang mencuci piring, dia yang suka membantuku membilas piring dengan cara memelukku dari belakang, pandai sekali dia mencari kesempatan untuk terlihat romantis. Ahh s**t! Mengingat itu kembali aku tersenyum kecut, segera aku selesaikan cucian piringku dan mengambil keranjang kotor, memasukkan pakaian yang kotor ke dalam mesin cuci. Setelah itu aku menyapu dan mengepel, hingga semua terlihat rapih, aku kembali membilas dan mengeringkan pakaian lalu aku menjemurnya di balkon apartment. Aku merasa hening dan sepi. Aku berpikir, ‘akan kemana hari ini?’ Ahh.. tidak, tidak, aku masih malas kemana-mana jadi aku memutuskan untuk tetap di apartment. Jika aku tidak berubah pikiran. Seperti biasa, aku menyalakan Tv agar terdengar suara berisik dan ramai, jadi aku tidak terlalu merasa sepi, sebenarnya teman-temanku mengajak diriku untuk jalan-jalan tapi aku menolak dengan alasan pekerjaan yang menumpuk sekarang. Tapi aku berkata jujur pekerjaan ini memang masih menumpuk, meski sebenarnya aku mengerjakan pekerjaan ini jika ingin saja untuk saat ini. Sudah satu jam aku duduk di depan layar besar ini menikmati serial favoritku “Massa and the bear”. Sambil bersenandung kecil aku melangkah menuju balkon mengambil pakaian yang sudah kering dan menyetrika pakaian ku, lalu ku masukkan ke dalam walk in closet di kamar. Setelah itu aku duduk kembali di sofa warna merah ini kini aku tekuk kedua lututku menatap layar besar di depanku, aku mainkan benda persegi panjang mengarah layar menganti-ganti acara di layar besar itu. Kedua kaki aku turunkan dan melangkah menuju lemari pendingin mengambil minuman dan makanan yang ada di sana, lalu aku taruh di meja dan terduduk kembali di sofa merah dengan bersila sambil memakan kue menatap layar besar itu sampai aku mulai merasa bosan. Aku melangkah menghampiri pantry, terdiam lama, kemudian berbalik menatap jam dinding yang terus bergerak tanpa lelah, sudah waktunya menyiapkan makan siang. Aku melangkah menuju lemari pendingin menatap apa saja yang bisa aku masak untuk siang ini. Saat membuka dan menatap isi lemari pendingin itu aku terdiam cukup lama, mengingat kembali saat masih dengan Barack biasanya aku akan menyiapkan makanan favorite Barack, makanan khas Italia. Makan siang bersama dan bercerita banyak hal, tertawa bercanda, ahh s**t! Kenapa aku harus mengingat itu kembali?! Aku ingin mewek saja rasanya, aku menutup kembali lemari pendingin itu dengan rasa kesal. Melangkah pasti aku menuju kamar, menyiapkan pakaian yang akan aku kenakan dari walk in closet dan lalu aku meletakkan di atas ranjang. Aku melangkah menuju kamar kecil dan membersihkan tubuhku. Ck, gadis lain akan mandi pagi buta dan aku baru mau mandi saat akan berencana keluar rumah, jorok sekali!? Selesai membersihkan tubuhku, aku mengenakan kimono handuk melangkah menuju meja rias. Kiniku buka lilitan handuk di rambut coklat sebahu milikku itu, lalu gosok-gosok sejenak dan aku biarkan handukku menggantung di pundakku, aku mengambil vitamin rambut dan hair dryer dan meletakkan kembali hair dryer setelah rambutku mulai mengering. Aku mengenakan make up tipis di wajahku. Setelah merasa rapih, aku melepas kimono yang sedari tadi aku kenakan untuk membalut tubuhku, untuk mengenakan dress mint. Hari ini aku berencana akan makan di luar saja dengan teman semasa kuliahku dulu, Nike Faradila. Dia ini sama Nol dengan diriku alias konyol, tidak, tidak, orang-orang mengatakan kami polos, culun, ahh hanya kami saja yang peka dan saling memanggil, nol. Aku mengambil kardigan lalu tas selempang dan mengenakan satu persatu, aku melangkah keluar kamar dan mematikan layar besar di ruangan itu. Melangkah menuju pintu keluar apartment, memakai dengan cepat sepatu sandal dan mengunci pintu apartment yang telah lama aku tempati. Aku melangkahkan kakiku melewati lorong dan masuk ke dalam lift. Denting pintu lift berbunyi dan terbuka, aku keluar menuju halaman parkir. Sekarang aku sudah di gerbang keluar bersama si putih modif teman perjalanan yang selalu setia menemaiku untuk sampai ke tempat tujuan, kini aku sudah melaju dengan kecepatan sedang, akan meninggalkan bangunan megah itu menuju tempat yang telah kami janjikan untuk bertemu kangen dengan teman kuliahku itu, Nike Faradila. *** 30 menit perjalanan, disini aku sekarang memarkirkan si putih yang telah ku modif menjadi mobil canggih. Hm! gini lah aku, entah suka dunia permodifan atau karena tidak mampu beli yang sport jadi aku memodifikasi mobil vios menjadi mobil sport, dengan pintu depan terangkat njengking ke depan, wkwkw! Ahh s**t, jadi teringat Barack dia juga senang memodifikasi kendaraan, menjadi sedemikian rupa elegan. Ah! Sudah jangan di ingat terus. Setelah pintu mobilku terbuka, aku keluar dari mobilku dan membiarkan pintunya tertutup kembali. Aku hendak berbalik akan tetapi tiba-tiba mataku menjadi gelap, mendadak aku tidak dapat melihat apa pun lagi sekarang. Aku bingung, jelas ini siang bolong matahari masih terasa menyengat kulitku. Gemuruh jantungku terdengar tak beraturan. ‘Ada apa ini? Kenapa gelap sekali? Ada apa dengan mataku?’ batinku bertanya dengan cemas, nafasku tercekat. Tidak, tidak, aku bukan khawatir atau cemas dengan penglihatan mataku yang tiba-tiba menjadi gelap, akan tetapi siapa yang menutup mataku dari belakang ini? Apa dia ingin menculik ku? Ahh, siapa yang akan menculikku, aku banyak makan, suka makan ini dan itu. Setelah kesadaran diriku mulai kembali, aku mencoba melepas tangan seseorang itu, tetapi dia tidak melepaskan. Ahh.. ini si Nol, Nike Faradila. Aku tersenyum membiarkan dia tetap menutup mataku. “Nike, kau merindukan aku?” tanyaku padanya, kudengar dia cengengesan dan melepas tangannya. “Tentu saja.” Ucapnya. “Jika benar begitu peluk aku.” Tuturku. “I Miss You so much, Raline!” ucapnya merentangkan tangan dan memelukku. “Miss you too... Nike!” aku pun membalas pelukannya. Lama kami saling berpelukan kami sama-sama terdiam cukup lama. “Jadi, kita ke sini hanya untuk seperti ini saja?” tanyaku. “Oh... Nol, aku lapar, ingin makan siang. Lepaskan pelukanmu! Sekarang aku merasa sesak sekali.” Lanjutku merengek agar Nike melepas pelukannya. “Tidak. Ingin tetap seperti ini dulu.” Ucap Nike tidak berniat melepas pelukannya. “Oh... ayolah Nol. Aku merasa ada di dalam botol dan di tutup rapat, sekarang.” Rancu diriku. “Kenapa begitu?” tanyanya masa bodoh. “Sesak.” Ucapku singkat dengan ekspresi mewek di wajahku. Kiniku dengar Nike cekikikan sambil melepas pelukannya. “Ayo, kita masuk!” titahnya. Aku mengangguk cepat. Aku sudah sangat lapar sekarang. Kami melangkah beriringan masuk ke dalam restoran itu. Kami mengambil ruang VIP bukan apa selain kami terbiasa diruang VIP juga untuk saat ini agar lebih privasi saja, mungkin bisa jadi bocor hari ini kami akan cerita banyak hal di resto ini. Kami memiliki banyak kesamaan mungkin karena lama bersahabat atau kami cocok bersahabat karena banyak kesamaan, ah entahlah semua mengalir begitu saja. Seorang pria tampan mengenakan seragam itu menghampiri kami dengan buku dan pena di tangannya. “Permisi, pesan apa?” tanya pria tampan berseragam baju khas Jepang itu tersenyum ramah. Ya, dia seorang waiters. Kami ada di resto makanan khas Jepang, tempat favorite kami untuk makan. “Seperti biasa.” Tuturku. Nike mengangguk “Iya” ke arah waiters itu. “Jadi pesan shabu-shabu seafood, sushi dua porsi dan takoyaki dua porsi.” Ucap waiters itu, kami mengangguk bersamaan menatap waiters itu. “Minumnya seperti biasa juga?” lanjutnya bertanya dengan senyum terbit di wajahnya. Kami masih mengangguk sambil menatapnya. Heii.. senyum apa itu di wajahnya? Malu-malukah? Kenapa terlihat ada rona merah di wajah tampannya? Atau dia pakai blush on? Oh tidak, tadi saja wajahnya tidak semerah itu, ataukah dia tengah menahan tawa? Ahh, sudahlah kenapa harus bahas rona merah yang muncul di wajah waiters tampan itu?! Mungkin karena dia melihat ekspresi kami yang terlihat konyol, seperti anak kecil yang patuh dan selalu bilang iya saat orang tuanya bicara. “Nol, lo tau gak sih?” ucap Nike padaku. “Enggak.” Spontan aku menjawab. “Ck. Kalau enggak, ya denger dulu. Dede mau curhat nih.” Titah Nike padaku. “Oke. Dede gemes.” Responku sambil meledeknya dengan suara manjaku. “What?!” pekik Nike. “Sorry.” Aku nyengir padanya, dua jariku angkat di udara mengucapkan maaf. “Ahh... sudahlah.” Ucap Nike, aku mengangguk. Ya, kami menganggap sebutan Dede gemes untuk orang yang sudah dewasa itu seperti perempuan simpanan atau pela*ur, tapi tidak jika untuk anak kecil. Itu sebabnya aku dan Nike akan bereaksi emosi jika di panggil sebagai Dede gemes. “Tentang apa sih?” tanyaku penasaran. “Lo belum hapus aplikasi perjodohan?” tanya Nike padaku mendekatkan wajahnya pada wajahku. “Belum.” Aku menggeleng pelan, sambil menatapnya. “Lihat.” Ucap Nike mengambil cepat ponselku yang tergeletak di atas meja. “Ck. Jangan membalas pesan yang aneh-aneh, Nol.” Ucapku memperingati. “Eh! Tenang saja. Serahkan semua padaku.” Ucap Nike padaku. Aku menghela napas pasrah. “Jadi, hanya karena ingin memainkan aplikasi itu?” tanyaku pelan mengintip layar ponsel, yang tengah asik Nike memainkan aplikasi itu. Kami bersi tatap sejenak kemudian dia kembali memainkan aplikasi itu dan terlihat masa bodoh. Tak lama kemudian datang seorang waiters mengantarkan pesanan kami. Tapi kenapa waiters ini berbeda bukan abang tampan tadi. “Loh, babang tampan tadi mana, mas?” tanyaku pada waiters itu. “Oh, Bang Evan? Dia lagi ada jatah di lantai 2, cik.” Jawab waiters itu. “Oalah. Kenapa gak di sini saja, mas?” nah itu pertanyaan menyebalkan dari sahabatku muncul lagi, tanpa menoleh terus fokus mengetik sesuatu pada gawai yang di genggamnya. “Eh? Ya, tadi tukar sama saya. Karena saya ada perlu di lantai dasar jadi kami tukar tempat, cik.” Tutur waiters itu jujur. Aku dan Nike ber-oh-ria, waiters itu menunjukkan senyum termanisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD