Eps4: Tidak mungkin langsung melupakan Barack

1507 Words
Aku terdiam menatap Noe dengan tatapan datar. Aku lihat Noe masih salah tingkah. Kemudian aku palingkan pandangan menatap Barack yang masih dengan wajah memelas itu. Aku melangkah lagi akan pergi dari apartemennya. Namun selalu saja sia-sia. Lihat sekarang Barack menarik diriku ke kamarnya, aku memberontak namun sia-sia saja, sekarang dia sudah mengunci kamarnya itu berdiri menatapku dari depan pintu kamarnya. Aku menatapnya tajam dan melangkah cepat menuju pintu ingin membuka kuncinya. Tetap saja apa yang aku lakukan sia-sia, sekarang kunci itu sudah ada di saku celananya. “Barack!” Lantangku. “Sayang,” ucapnya lembut mencoba menggenggam tanganku yang selalu saja aku tepis. “Aku mohon.” Imbuhnya. “Kau hanya buang-buang waktu, seperti ini. Percuma Barack. Kau tidak akan mengembalikan hubungan kita seperti semula. Kau sudah menorehkan tinta hitam. Kau melakukan apa yang tidak aku suka. Sekarang biarkan aku pergi.” Pintaku merancau agar dia membiarkan aku pergi. “Tidak! Tidak sayang, kau milikku Raline. Kita akan terus bersama.” Ucapnya terus mencoba memeluk diriku, aku memberontak dalam dekapannya itu. “Lepaskan!” Geramku mulai lelah. “Tidak,” ucapnya final. “Aku mencintai dirimu, sangat mencintai kamu, Raline. Kau lupa impian kita. Biar aku ingatkan kembali, kita akan membangun keluarga kecil yang sangat bahagia, sayang.” aku terdiam cukup lama dia terus memelukku dan merancau. “Jangan biarkan aku membencimu, Barack.” Ucapku lirih. “Tidak sayang, tidak akan lagi, aku tidak akan mengulanginya. Kau tahu aku sangat mencintai kamu, Raline.” Ucapnya terus merancau. “Dengan sikapmu yang seperti ini, Jangan biarkan aku muak dan terus membenci kamu.” Ucapku lirih penuh penekanan. Sepertinya Barack mulai tersadar dengan apa yang aku sampaikan. Dia mengendurkan pelukannya dan menatapku lekat dengan mata sayu miliknya. Aku tidak akan menatap mata itu yang selalu membuat aku jatuh cinta. Sekarang ‘pun aku masih sangat mencintai Barack. Tapi apa yang dia lakukan di belakangku, tidak bisa aku maafkan. Biarlah aku egois, tidak mau mengalah untuk perasaan kami. Itu semua, karena aku tidak ingin disakiti, disini aku berjuang untuk perasaan diriku. “Maafkan aku, Raline.” Ucap Barack lirih menundukkan kepalanya. Sekarang dia terduduk dibibir ranjang setelah menggumamkan kata maaf padaku, kami sama-sama terdiam cukup lama. Aku mengingat kembali saat-saat momen bersama dengan Barack. Begitu banyak kisah yang kami lalui bersama. Aku tak kuasa menahan air mataku yang terus mendesak ingin keluar dan mengalir dipipi putih kemerahan ini. Ya, aku kembali terisak. Aku ikut terduduk dibibir ranjang disamping Barack yang masih menunduk itu. “Aku juga...” ucapku terjeda menahan sesak dan mengusap air mataku yang terus-terusan mengalir. “Aku minta maaf, Barack... hiks, aku tidak bisa membuat mu merasa senang, Mungkin... hiks, jika kita menikah, aku... tidak bisa membuat dirimu bahagia dan puas...” Ucapku terisak, sekarang Barack menatapku lekat dengan mata yang berkaca-kaca. “Tidak... tidak sayang, jangan seperti itu.” Lirih Barack menatapku dan mengusap lembut pipiku yang sudah di banjiri air mata ini. “Aku mencintai kamu, sangat. Tolong maafkan aku. Aku khilaf, sayang.” Ucapnya terus memohon, sekarang dia sudah di depanku bertumpu dengan kedua lututnya memegang lembut kedua tanganku dan terus menciumnya. Aku masih terdiam menahan isak tangis yang telah menjebol pertahanan. “Aku khilaf, aku menolak wanita itu, sayang. Tapi dia terus menggodaku. Aku tidak berdaya. Aku lelaki normal. Tolong maafkan aku. Aku berjanji tidak akan mengulanginya. Maafkan aku sayang.” Akunya padaku. “Tidak bisa, Barack.” Ucapku lirih hampir berbisik dengan air mata yang berjatuhan mengalir melewati pipi kemerahan. Aku lihat Barack menggeleng cepat yang masih menggenggam tanganku erat dengan bergetar. “Aku mohon Raline, maafkan aku.” Ucapnya menunduk sambil menciumi kedua tanganku. Aku terdiam, Barack masih menunduk. Aku merasa tanganku menjadi dingin dan basah. “Ini memang salahku. Aku telah membukakan pintu dan mempersilahkan wanita itu masuk. Aku pikir dia hanya ingin curhat sama sepertiku, karena saat ini tidak ada tempat untuk curhat, sayang. Maaf, maaf...” alasan clasiknya. Barack masih terus merancau dan menggumamkan kata maaf padaku. “Biarkan aku pergi. Sekali ini, hargai keputusan diriku seperti saat dulu, aku selalu menghargai keputusan yang selalu ingin kau ambil, Barack. Karena sekarang...” ucapku terjeda untuk menarik napas dan memejamkan mata sejenak. “Apapun yang akan kau lakukan, akan terlihat sia-sia di mataku. Jangan biarkan aku semakin membenci dirimu, lepaskan aku. Biarkan aku pergi!” Lanjutku tegas, melepaskan genggaman Barack dan berdiri sambil membersihkan sisa air mataku yang kini mengering meski masih terasa sesak, aku melangkah pasti menuju pintu kamar yang masih terkunci. Aku terdiam, berbalik melirik Barack yang masih menunduk bertumpu dengan kedua lututnya. Uhh! Apakah tidak sakit kedua lututnya itu, pikirku. Perlahan Barack berdiri dengan masih tertunduk, dia berbalik menghampiri aku di pintu dan mengeluarkan kunci dari sakunya, lalu membuka pintu kamarnya perlahan. “Maafkan aku.” Gumamnya hampir berbisik tanpa melirikku. Aku meliriknya sekilas dan bergegas pergi meninggalkan Barack dan Noe di apartemennya. Gadis yang terduduk bersila di atas sofa merah mengenakan piyama putih itu, mengambil benda persegi panjang di atas meja dan menekan salah satu tombolnya ke arah layar besar dan layar di depannya itu mati, di letakkan lagi benda persegi panjang itu di atas meja. Aku beranjak dari duduk. Melangkah gontai menuju kamar, akan tetapi berhenti tepat di depan pintu dan berbelok ke ruangan di sebelah kamar, kini aku duduk di kursi yang terdapat meja di depannya. Tangan dengan jari seksiku mulai membuka sebuah benda berwarna hitam yang terlipat di atas meja ini. Aku mencari ide baru dan refrensi Fashion yang akan aku kerjakan selanjutnya, waktuku sepanjang hari kini terus aku habiskan untuk menggambar dan menghasilkan sebuah karya baru begitu seterusnya sampai pikiran beku dan bosan, aku lipat kembali benda ini. Dering ponsel, mengalihkan pandangan pada benda pipih itu. Segera aku mengambil ponsel di atas meja yang menyita perhatian diriku. Pandangan dari benda lebar terlipat ini beralih ke benda pipih di atas meja. Lama terdiam menatapnya dan tanganku tergerak menggambil sebuah benda pipih berwarna hitam. Aku menatap benda pipih di tanganku, kemudian membuka sebuah aplikasi bergambar telepon warna hijau. Ada sebuah pesan di sana... Pukul 07:00 wib. “Pagi cuk. Lagi apa nih? Udah sarapan belum?” Pukul 07:30 wib. “Ven berangkat kerja dulu ya.” Pukul 11:45 wib. “Cuk makan siang dulu.” Pukul 16:40 wib. “Cuk... Lagi ngapain? Ven bentar lagi pulang kerja.” Pukul 17:00 wib. “Ven siap-siap mau pulang dulu ya.” Pukul 17:30 wib. “Ven udah sampai sekarang ucuk. Cuk..." Baru saja "Cuk...” Terdengar helaan napas pendek, aku meletakkan kembali benda pipih itu di atas meja. Sudut bibirku terangkat, senyum tipis terbit di wajahku yang lama tertekuk. ‘Ck. Dia cerewet sekali! Kalau dia berbicara langsung seperti itu apa dia tidak lelah?’ Batinku. Aku berjalan kembali masuk ke dalam kamar disamping ruang kerjaku dan menghempaskan tubuhku di atas ranjang king size ini. Menutup mataku perlahan tak menunggu waktu lama, aku terlelap. *** Sang surya mencoba menerobos dari celah gorden di apartment itu. Bulu mata tipis dan lentik itu mulai bergerak perlahan dan menampakkan manik coklat terang. Terdiam cukup lama, menyibak selimut kemudian menurunkan kedua kaki ke lantai membuka gorden dan menggeser pintu, merentangkan tangan senyum pagi terbit di wajah gadis itu. Aku berjalan dan sedikit menggerak-gerakkan tubuhku tak menentu, entah gerakan apa yang penting bergerak-gerak. Aku tersenyum sumringah dengan mata berbinar-binar melihat sunrise seperti melihat coklat, uh! Aku suka sekali. Ini rutinitas pagiku, aku sangat bahagia melihat sunrise itu. Sambil bersenandung kecil aku menatap sunrise, tapi keningku bertaut aku merasa sedikit kurang nyaman, tapi aku sendiri bingung. Apa yang membuatku kurang nyaman seperti ini? Aku terus berfikir. Ahh, s**t! Aku ingin masuk kamar kecil sekarang, segera aku berlari menuju kamar kecil di dalam kamarku ini, tanpa sempat menutup pintu, tak apa toh aku sendiri yang ada di apartment ini, aku terduduk melepas segala resah itu. Ck, setiap orang bangun tidur mesti kesini dulu sedangkan aku memilih bergerak tak menentu di balkon sambil menatap sunrise. Setelah selesai, aku beranjak menuju pantry aku berkutat menyiapkan sarapan pagiku seorang diri. Aku buat saja menunya nasi goreng lagi. Ahh... orang bilang nasi goreng spesial pake telor. Ini juga spesial pake telor ceplok dua, yang orang-orang biasa menyebutnya telor mata sapi, lalu aku tuang s**u ke dalam gelas. Ck, orang-orang makan nasi goreng terasa nikmat jika dengan segelas teh hangat. Ahh... aku tidak, aku pilih s**u saja teman menyantap nasi goreng buatanku ini, biar terlihat berbeda. Aku menikmati sarapanku dengan khidmat, aku menatap bangku depanku yang kosong. Ya! Biasanya juga memang seperti inikan? Kosong. Tapi, aku memikirkan hal lain, ini sudah dua minggu aku mengakhiri hubungan dengan Barack Bakhtiar. Biasanya, jika aku masih menjalin hubungan dengan Barack kami akan meluangkan waktu bersama bercanda dan bercerita banyak hal dengannya. Huft. Apa yang aku pikirkan? Terus saja memikirkan tentang Barack, tapi tidak mungkin juga 'kan jika aku akan langsung melupakan lelaki itu. Maafkan aku, tidak bisa bersama kamu, aku juga hanya manusia biasa, aku tidak ingin merasa disakiti! Semoga suatu saat kamu dapat menemukan seseorang yang benar-benar mencintai kamu, lebih baik dari aku dan kamu juga akan selalu menjaga dia, baik hati juga perasaan perempuan itu kelak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD