1

1337 Words
"Kau harus membantu ku Nyonya Alicia! Aku tidak ingin bekerja di rumah bordil itu! Kau harus berbicara pada ibu ku." Kata Anne frustasi.  Nyonya Alicia memandang Anne dengan tatapan sedih. Jika bisa ia juga tidak ingin gadis di hadapannya ini untuk bekerja di rumah bordil itu.  Tapi ia tidak punya kuasa apapun untuk menentang Patricia, Ibu Anne. Dia hanyalah wanita tua yang secara kebetulan menjadi tetangga mereka. Nyonya Alicia mendesah dan mendekat pada Anne, lalu duduk di hadapan gadis itu, "My Dear...Jika bisa aku juga tidak ingin kau pergi ke sana. Tapi aku hanya lah wanita tua, Sayang...."  Anne menggeram kecil lalu menatap Nyonya Alicia dengan tatapan memohon, "Apa kau tidak bisa mencobanya? Kumohon...."  Wanita yang seringkali di panggil wanita tua oleh dirinya dan tetangga yang lain itu tampak berpikir keras. Wajahnya yang sudah penuh akan kerutan usia, semakin bertambah kerutan di wajahnya saat sedang berpikir.  Ia menguatkan pegangan di mantelnya yang terlihat sangat nyaman di mata Anne.  Bagi Anne, sosok Nyonya Alicia bukan hanya tetangga mereka. Melainkan juga pengganti ibu untuk Anne.  Anne bukan wanita muda tanpa ibu. Hanya saja ibunya bekerja sebagai penjajak tubuh di sebuah rumah bordil. Itu salah satu yang menyebabkan hubungan dengan ibunya tidak harmonis. Dan masalah kedua adalah, Pacar baru ibunya itu selalu saja melihat Anne dengan tatapan yang menjijikan. Membuat Anne semakin tidak betah untuk berada di sekitar ibunya.  Bahkan Anne yakin, jika dirinya juga hanya anak dari hasil dari pekerjaannya. Jika bisa memilih, Anne lebih memilih untuk hidup seorang diri. Jauh dari Distrik Merah itu. Bahkan jauh dari ibunya pun ia rela. Hanya saja. Selain ia tidak memiliki pekerjaan. Ia tidak yakin untuk keluar begitu saja tanpa persiapan apapun. Anne memandang Nyonya Alicia penuh harap. Setiap melihat Nyonya Alicia, Anne selalu berandai. Andai saja ia terlahir sebagai putri dari Nyonya Alicia. Dirinya tidak akan sengsara seperti ini. Nyonya Alicia menatap Anne, "Apa kau tidak punya kekasih untuk menikah? Setidaknya kurasa ibu mu tidak akan memaksa mu jika kau menikah." Anne memutar bola matanya.  Ia berjalan menuju kaca besar yang terdapat di ruangan keluraga rumah Nyonya Alicia. Kaca yang memperlihatkan jalanan yang ada di depan rumah. Anne menarik nafasnya. "Pria yang mendekati ku hanya ingin bercinta dengan ku. Hanya menginginkan tubuhku. Karena mereka tahu, aku putri dari seorang p*****r. Dan mereka mengharapkan aku memberi tubuh ku pada pria-pria menjijikan itu." Nyonya Alicia mengangkat gelas yang ada di depannya dan menyesap tehnya yang sudah mulai dingin. Ia menaruh kembali cangkir itu dengan hati-hati. "Aku benar-benar tidak tahu, Sayang. Oh, aku mempunyai kenalan yang bekerja di Theater Royal Hall. Aku bisa memintanya untuk memberikan pekerjaan untuk mu." Mata Anne berbinar senang mendengar itu, Anne mengangguk antusias. Nyonya Alicia tersenyum, menikmati sisa tehnya yang tersisa. *** Anne melewati jalan sempit di salah satu sudut Lambeth District yang sudah sangat di hafalnya. Pub-Pub yang penuh orang mabuk menjijikan, juga bau tidak enak dari sungai di dekat sini. Anne terus melangkahkan kakinya dengan cepat, berharap untuk segera sampai di rumahnya. Memang rumahnya bukanlah rumah penuh kehangatan tetapi setidaknya, ia bisa sejenak berlindung di dalamnya. Seorang pria tua botak dan gemuk menghampiri Anne. Tangannya memegang botol bir. Wajahnya yang mengerikan semakin menjijikan dengan mata merah khas orang mabuk.  "Ohhh! Anne! Anne ku yang cantik! Mengapa kau terburu-buru, Sayang. Mari kita nikmati malam ini bersama." Kekehan terdengar dari pria mabuk itu. Anne tidak memperdulikan perkataan pria itu. Ia terus berjalan melewatinya. Tepat sebelum belokan terakhir untuk sampai kerumahnya, pria botak itu menarik lengan Anne kasar. Hingga membuat Anne menjerit kecil.  Pria itu mencengkram pergelangan tangan Anne kuat, hingga Anne merasa seakan-akan tangannya bisa saja patah. Pria itu menatap Anne marah.  "Tidak usah kau jual mahal jalang! Kau hanya salah satu p*****r murahan. Sama seperti ibu mu! Jadi jangan melawan dan turuti keinginan ku!" Anne tertawa miring, lalu meludah tepat di wajah pria mabuk itu. "Aku bukan ibu ku! LEPASKAN TANGAN KU!" Teriak Anne sambil berusaha menendang pria di hadapannya. Pria itu langsung murka seketika. Di eratkannya sekuat tenaga lengan Anne. Menyeret Anne paksa. Anne yang mulai panik berusaha untuk berontak sekuat tenaga. Ia juga berusaha untuk berteriak, namun entah kenapa jalanan begitu sepi hari ini. Sehingga tidak ada yang mendengar jeritan Anne. Sekali lagi Anne menjerit sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mau membantunya. "Apa-apa ini?!" Teriak seseorang di depan mereka. Pria botak yang menyeret Anne menolehkan kepalannya ke asal suara.  Seseorang itu semakin menampakan dirinya. Dan di tengah remang lampu, terlihat sosok pria tampan. Pria itu lebih tinggi dari pria botak yang masih menggenggam lengan Anne. Kulitnya putih bersih, mata indahnya terbingkai kacamata yang membuat wajah pria itu kian mempesona. Bajunya pun bukan lah baju biasa, melainkan baju mewah. Bisa di pastikan jika pria di hadapan mereka adalah Seorang bangsawan atau bisa jadi seseorang yang penting dari Kerajaan. Pria botak itu mendecak kan lidahnya, "Bukan urusan mu. Pergi lah, Bocah sial!" Pria itu tidak gentar sama sekali. Ia mendakati Anne dan pria botak itu.  Tatapannya jatuh pada Anne. Ia berdeham dan menaikan kacamatanya yang sesekali jatuh di hidungnya. "Nona. Apa anda mengenal pria ini?" Tanya Pria itu pada Anne. Anne segera menggeleng cepat. "Aku tidak mengenalnya. Aku mohon tolong aku!" Pinta Anne memohon. Tatapan pria tampan itu kembali pada pria botak di hadapannya, "Kau dengar Tuan? Tolong lepaskan tangan anda dari Nona ini." "Dia hanya p*****r murahan!" Pria itu menarik nafasnya dan sekali lagi membetulkan letak kacamatanya, "Mau dia p*****r atau bukan. Anda tidak punya hak untuk memaksanya. Jadi, sebelum anda saya laporkan. Lepaskan tangan gadis itu." Katanya sambil menatap lekat pria botak itu. Aura mengintimidasi seakan-akan keluar dari seluruh tubuhnya. Pria mabuk itu berdecak, melepaskan tangan Anne dan berlalu. Pria itu menatap Anne yang tengah memegang pergelangan tangannya. Ia mendekat pada Anne, menyentuh pergelangan tangan Anne perlahan dan memperhatikannya dengan seksama, "Sepertinya akan membengkak. Setelah sampai di rumah sebaiknya kau langsung mengompresnya."  Pria itu menolehkan kepalanya pada Anne sambil tersenyum.  "Sebaiknya Kita segera pergi dari sini. Mari, Aku antar."  Anne yang tidak bisa lepas dari mata berwarna emas milik pria itu hanya bisa menganggukkan kepalanya sambil mengucapkan terima kasih. Anne menatap pria di sampingnya, lalu menatap kereta kuda di hadapannya. "Maaf, sepertinya saya pulang sendiri saja. Saya tidak ingin mengotori kereta kuda anda." Pria itu memandang Anne sekilas lalu tertawa. "Jangan pedulikan. Naik lah. Aku akan mengantar mu sampai rumah. Tenang saja." Anne mengangguk dan untuk pertama kalinya Anne menaiki kereta kuda yang bisa di bilang mewah ini. Tidak ada percakapan selama perjalanan berlangsung. Dan Anne merutuki itu. "Nah, kita sudah sampai." ujar pria itu begitu mereka sampai di depan rumah Anne. Anne menatap pria di hadapannya sekali lagi, "Terima kasih sudah menolongku. Dan terima kasih untuk tumpangannya." Pria itu mengangguk sambil tersenyum. Lalu Anne turun dari kereta kuda itu, dan membiarkan kereta kuda itu pergi dan semakin menjauh darinya. Anne memutar tubuhnya ke hadapan rumah di depannya. Ia lalu menghela nafas lalu tersenyum miris.  "Seharusnya tadi aku meminta pria itu membawa ku saja." Anne kembali menghembuskan nafasnya lalu berjalan pelan menuju pintu rumahnya.  "Bertahan lah Anne. Ingat Nyonya Alicia akan mencoba memberi mu pekerjaan. Setelah membuka pintu ini, kau langsung tidur dan beristirahat." Ucapnya menyemangati dirinya sendiri.  *** "Dari mana kau?" Pertanyaan sambutan dari ibunya itu menganggetkan Anne.  Ku pikir dia sudah pergi. "Aku baru mengunjungi Nonya Alicia." jawab Anne tak acuh.  Patricia menyelipkan sebatang pipa tembakau di mulutnya, lalu menyalakan batang korek api dan membakar ujungnya.  Wanita itu menghisap dalam-dalam dan menghembuskan asap itu perlahan.  "Lagi-lagi kau mengunjungi wanita tua itu. Lebih baik waktu mu di gunakan untuk menyiapkan 'Tubuh' mu, karena sebentar lagi kau akan bekerja di The Heaven." "Aku tidak mau." Patricia menoleh cepat ke arah Anne. "Apa kau bilang?" Anne menghadap ibunya dengan wajah marah. "Aku tidak ingin bekerja di sana! Aku tida sudi menyerahkan tubuhku pada pria-pria b******n yang menjijikkan itu!" Brakk! Patricia menggebrak meja dan berjalan cepat menghampiri Anne. Di cengkramannya pipi Anne kuat.  "Tidak ada kata tidak mau. Kau pikir dari mana semua uang yang kau gunakan untuk makan selama ini." Patricia mendorong pipi Anne keras. Wanita itu lalu pergi dari sana, meninggalkan Anne seorang diri.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD