3. Strategy

2120 Words
Adelard meneguk minuman soda yang beberapa menit lalu dihidangkan oleh Ian. Suara para anggota Geng Orion di dalam markas yang saling bersautan membuat Adelard sedikit jengkel. Sesekali ia melihat sekitar karena penasaran dengan apa yang membuat mereka berteriak dan tertawa cukup kencang. "Kayaknya gue salah kalo mau nemuin kalian disini," jujur Adelard. Seperti sudah paham, Galen langsung beranjak dari tempat duduknya dan meneriaki anggotanya untuk pergi keluar meninggalkan para pentolan dan kakaknya itu. "Gimana?" tanya Galen. Adelard tertawa kecil, "Keren, ya. Anak kecil bisa merintahin orang banyak kayak gitu. Ngeri juga ketua geng," sindir Adelard dengan menekan dua kata terakhirnya. Galen hanya melirik, kakaknya ini cukup menyebalkan. Dia tak banyak bicara, tapi sekali bicara ia bisa mengeluarkan kata-kata yang menjengkelkan. "Mending sekarang lo jelasin kenapa lo dateng kesini?" "Lo tau, kan, kalo selama dua tahun ini kita udah berusaha buat cari jalan dan ngasih keadilan buat Mama? Tapi sampai saat ini kita belum bisa dapet jawabannya, makanya gue tiba-tiba kepikiran ngajak kalian semua buat nyari keberadaan pelakunya. Gimana?" Keempat pentolan Geng Orion itu saling bertatapan. "Lo yakin? Bukannya lo nggak percaya sama orang luar? Apalagi lo nggak suka sama Orion." "Ini bukan lagi masalah gue enggak suka sama kalian, tapi sekarang gue udah tau soal kalian." "Tau kalo kita ini anak baik-baik, Bang? Nah, percaya kan sekarang," ledek Ian. Ia langsung mendapat cubitan keras di perutnya dari Finn. "Aw, Finn. Gila, sakit!" Setelah mendapat cubitan dari Finn, kini Ian harus mendapat tatapan tajam dari Adelard. "Hehe, becanda doang, Bang. Peace." "Itu artinya lo percaya sekarang?" tanya Galen. "Iya, sorry selama ini gue udah natap kalian sebelah mata. Gue harap kalian bisa maafin gue dan mau nerima tawaran gue. Tenang aja, gue orangnya tau balas budi." "Gue rasa tanpa kita tanya dulu ke Galen, dia bakal setuju karena ini juga demi Tante Mila. Kita bakal bantu kalian tanpa minta apapun," jawab Finn tegas. Ia melihat ke arah Galen yang tersenyum simpul tanda setuju. Eric mengangguk setuju, "Bener, Kak. Orion itu keluarga buat kita, buat lo juga. Santai aja." "Thanks, ya. Gal, dan lo semua. Tetep kasih hal positif ke orang banyak." Adelard mendorong kursi ke belakang dengan kakinya lalu beranjak meninggalkan Markas Orion. *** Kicauan burung, tanaman hijau, serta udara sejuk di sebuah taman selalu menjadi teman bagi Harun. Pria paruh baya itu terduduk lemas di kursi roda akibat stroke yang dideritanya sejak dua tahun silam. Bi Arum selalu mengajak Harun pergi ke taman yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Hal ini ia lakukan sesuai dengan perintah Anak-Anak Arsenio agar Harun tidak merasa jenuh jika berada di rumah seharian. Harun, yang tadinya adalah sosok pria yang gagah dan kuasa, kini hanyalah seorang yang lemah tak berdaya serta tak dapat berbuat apa-apa.. Dua tahun lalu, setelah kepergian Mila Andriani, istrinya yang telah ia duakan, menyisakan kesedihan mendalam serta penyesalan yang tiada habis. Kini membuat perasaan Harun hancur dan berakhir dengan dirinya yang harus jatuh sakit. Kini Harun menyesal, ia tahu ini semua adalah teguran untuknya. Menduakan seorang istri yang sangat baik hati dan penyabar dengan seorang wanita yang tak sengaja ia temui ketika sedang bekerja di luar kota. Ia sadar bahwa istrinya adalah wanita yang sempurna dari paras dan hatinya. Mila bagaikan malaikat yang dikirim oleh Tuhan untuknya. Malaikat yang telah memberinya tiga orang anak laki-laki yang tampan dan cerdas. Disisi dirinya yang tak dapat berbicara akibat stroke, ada bayangan dan pikiran berkecamuk yang mempertanyakan apakah alasan dirinya untuk berselingkuh. Hingga akhirnya ia sadar bahwa selingkuhannya hanya ingin menguras harta miliknya, ditambah ia yang harus kehilangan seorang istri yang sangat setia menemaninya. Apakah kehilangan adalah satu-satunya alasan Harun untuk menyesal? "Tuan, sekarang kita pulang, ya? Udah mulai terik mataharinya," tawar Bi Arum. Harun berusaha untuk menggerakkan bibirnya untuk menjawab, tapi ini adalah hal sia-sia yang selalu ia lakukan. Bi Arum segera mendorong kursi roda milik Harun untuk pergi meninggalkan taman. Sesampainya di rumah, Bi Arum merasa keheranan karena melihat kondisi rumah yang terlihat sangat bersih. Padahal Bi Arum belum menyentuh pekerjaan rumah sama sekali. Terakhir ia hanya memasak dan setelahnya ia mengajak Harun pergi ke taman. Masih tak percaya, Bi Arum segera berhenti mendorong kursi roda Harun dan bergegas pergi ke ruang olahraga pribadi milik Galen untuk memeriksa apakah alat-alat tinju milik Galen juga tertata rapi. Benar saja, semua alat-alat di sana sudah berjejer rapi pada tempatnya. Handwrap serta headband milik Galen juga sudah hilang dari keranjang cucian kotor. "Loh, kok udah bersih aja? Perlengkapan Den Galen juga nggak ada? Tumben Den Galen rajin banget," monolognya. Merasa ada yang tidak beres, Bi Arum segera menghampiri Harun untuk membawanya ke kamar. "Tuan, saya pergi beres-beres rumah dulu, ya. Satu jam lagi waktunya Tuan minum obat, sekarang Tuan istirahat dulu." Dengan langkah kaki memburu, Bi Arum segera pergi ke dapur untuk memeriksa keadaan rumah. Tentunya ia juga akan memeriksa tempat cucian kotor ataupun mesin cuci untuk memastikan handwrap dan headband milik Galen ada disana. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia menyadari ada seorang gadis berambut hitam sebahu yang tengah memunggunginya. Tepat di depan wastafel, sepertinya gadis itu tengah melakukan sesuatu. "Non, eh, ini Non yang di kamar tadi? Ngapain disini atuh, Non?" Bi Arum memegang pundak gadis itu, membuat empunya menoleh seketika. Dengan rasa takut, Bi Arum segera merampas sebuah cangkir penuh busa yang tengah di genggam oleh Jehan. "Non, please, atuh. Jangan nyuci piring, entar Den Delard marah," pintanya memelas. "Kok marah, Bi? Justru kalo aku enggak ngerjain pekerjaan rumah, dia bakal marah." "Maksudnya, Non?" Jehan mengambil cangkir yang ada di tangan Bi Arum, "Gini, Bi, aku kan juga asisten rumah tangga di rumah ini. Jadi, aku juga harus beresin rumah sama kayak Bibi, kan? Satu lagi, jangan panggil aku 'Non', panggil aja Jehan." "Loh, jadi Non Gelis ini bukan pacarnya Den Delard?" Bi Arum meraba pipi Jehan dengan tangannya yang dipenuhi busa, "enggak percaya Bibi, mah." Jehan tertawa kecil, "Bukan, Bi. Mulai sekarang aku jadi asisten rumah tangga di rumah ini, nemenin Bibi. Oh iya, panggil Jehan aja, ya." "Serius ini? Aduh, enggak bakal percaya Bibi, mah. Manggilnya Neng Jehan aja, ya. Mana ini si Neng cantik banget." Jehan hanya mengangguk disertai senyum manisnya, lalu ia kembali melanjutkan aktivitasnya mencuci piring diikuti Bi Arum yang mengelap meja disebelahnya. "Eh, Neng Jehan tadi beresin ruang olahraga nya Den Galen, ya?" tanya Bi Arum yang tiba-tiba teringat dengan hal itu, pasalnya ruangan itu dan semua perlengkapan disana adalah barang kesayangan milik Galen. Tak sembarangan orang bisa masuk ke sana, termasuk untuk membersihkannya. "Yang ruangan sebelah kanan itu, kan? Udah aku beresin kok." "Emm, anu, handwrap sama headband nya juga di cuci, Neng?" "Oh, udah aku buang, Bi. Soalnya udah kusut banget," jawab Jehan santai. "Hah, serius ini? Aduh, Neng, itu barang kesayangannya Den Galen." Bi Arum menepuk dahinya kasar sambil menampilkan raut wajah sedih sekaligus gelisah. Jehan pun turut kaget karena ulahnya. Ia pikir barang-barang seperti itu bukanlah hal yang istimewa. Apalagi dengan harga yang tak seberapa, tentunya Galen bisa membelinya lagi. "Barang kesayangan, Bi?" "Iya, sebetulnya yang bisa masuk ke ruang olahraga Den Galen itu cuma Bibi. Den Galen nggak suka kalo ada orang lain masuk, takut ngotorin tempatnya. Tadi aja Bibi kaget kok bisa ruangannya udah bersih banget," jelas Bi Arum. Jehan mulai gelisah, ia tak sampai jauh untuk berpikir bahwa handwrap dan headband yang terlihat dekil akan sangat berharga bagi Galen. Ia menggigit bibir bawahnya, belum genap sehari ia menyandang status sebagai asisten rumah tangga, tapi ia sudah berulah. Lagi-lagi ia ditempatkan di posisi yang sulit. "Maafin aku, Bi. Terus ini gimana? Dia bakal marah nggak sama aku?" Bi Arum terdiam sambil menerka-nerka respon Galen jika mengetahui hal ini, padahal Bi Arum sudah paham kalau Galen akan marah besar. "Emm, nggak apa-apa, Neng. Nanti Bibi yang ngomong. Den Galen pasti gak akan marah," alibinya. Setelah mendengar alasan Bi Arum, Jehan menjadi lebih tenang. Kini mereka meninggalkan topik handwrap dan headband, pasalnya sebentar lagi Adelard dan Galen akan pulang sekolah dan sesegera mungkin mereka harus menyiapkan makanan. *** "Tumben udah pulang? Biasanya gue sama Delard doang yang nangkring di meja makan," tanya Galen pada Dareen yang sudah duduk manis di meja makan, membuat formasi lengkap Anak-Anak Harun. "Enggak sopan banget, sih, lo manggil nama doang?" protes Adelard. "Iya, deh, Kak Adelard." "Gue capek banget, kerjaan dan Naura sama-sama bikin gue pusing," keluh Dareen. "Makanya jangan bucin terus, kalo lo nyuruh kita sekolah yang bener, lo juga harus kerja yang bener, Kak. Iya nggak, Kak Delard?" Adelard menggelengkan kepalanya acuh, seperti biasa pembicaraan yang tak berbobot sangatlah tidak penting baginya. Dareen pun tak mau ambil pusing dengan olokan Galen, yang ia butuhkan sekarang adalah nasi hangat, sayur, dan lauk yang menggugah selera buatan Bi Arum. "Bi, cepetan udah laper, nih!" teriak Dareen seperti anak kecil yang sangat tak sabaran. "Bentar lagi, Den," balas Bi Arum sedikit berteriak. Tiba-tiba Jehan datang dengan dua piring lauk di tangannya, ia tampak canggung saat menghidangkan makanan di depan mereka. Jehan takut jika caranya melayani seorang majikan itu keliru, pasalnya ia sama sekali belum pernah melakukannya. Ada tatapan tak suka dari Dareen saat melihat Jehan karena ia belum benar-benar selesai menginterogasi gadis ituーlantaran Galen yang memaksanya untuk buru-buru berangkat. Setelah kepergian Mila, Dareen menjadi lebih hati-hati pada orang asing yang mencoba untuk dekat dengan keluarganya. "Dia beneran disini?" tanya Dareen tanpa memalingkan pandangannya dari Jehan, sedang Jehan hanya menunduk tak berani menatap balik Dareen atau yang lainnya. "Iya," singkat Adelard, "abis nyiapin makan, bikinin gue kopi. Taruh di kamar!" perintah Adelard pada Jehan. Jehan hanya mengangguk lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan. "Oh, iya, tadi gue ngajak anak Orion buat kerja sama nyari pelaku pembunuhan Mama," Adelard membuka topik pembicaraan. Mendengar pernyataan itu membuat langkah kaki Jehan terhenti, jantungnya juga seakan berhenti seketika. Apa yang baru saja ia dengar membuat air matanya jatuh tanpa sengaja. Rasa bersalah kembali menyelimuti hatinya. Sampai kapan ia harus berpura-pura seperti ini? Secepat kilat Jehan menyeka air yang keluar di sudut matanya. Ia tak ingin terlihat menangis di hadapan keluarga Arsenio ataupun Bi Arum sekalipun. Posisinya sekarang adalah sebagai asisten rumah tangga, artinya ia harus sigap dan tak bermalas-malas. Ia pun segera pergi ke dapur untuk membuatkan kopi. "Sejak kapan lo sekongkol sama anak bawang?" tanya Dareen disertai tatapan iseng kepada Galen. "Kenapa, sih, lo selalu ngeselin di meja makan? Bikin enggak napsu aja!" Galen beranjak dari tempat duduknya, tapi Adelard berhasil menahannya. "Jangan ngambek, entar lo laper. Kalo kelaperan dan sakit, Orion nggak punya ketua, dong?" bujuk Adelard yang jauh terdengar seperti ledekan. Adelard dan Dareen tertawa puas, mungkin hanya satu hal ini yang bisa membuat Adelard tertawa lepas. Karena biasanya ia lebih sering menampilkan ekspresi dingin. "Lo ini enggak banyak ngomong, tapi sekali ngomong selalu ngeselin. Kayaknya mulut lo cuma dipake buat ngehina orang doang," caci Galen, "sama nih kayak abang lo, sama-sama ngeselin." Kedua kakaknya itu tergelak puas, rasa lapar dan kantuk terasa hilang ketika mereka berhasil duduk bersama di meja makan seperti ini. Momen-momen yang akan selalu mereka rindukan, apalagi jika bersama Mila. Keakraban dan kehangatan dalam keluarga menjadi sirna ketika Mila pergi. Mungkin duduk bersama di meja makan adalah satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan untuk tetap menjalin kehangatan dalam keluarga. "Kopinya udah aku bikinin, kamar kamu sebelah mana?" Jehan menghampiri Adelard dengan secangkir kopi panas ditangannya. "Disana." Adelard menunjuk arah sebelah kiri. "Sebelahnya itu kamar Papa, jangan sampai salah." Jehan segera mengikuti interupsi Adelard. Pasalnya ia masih belum paham dengan keadaan rumah ini, ditambah ukuran rumah ini sangat luas bak istana kerajaan. "Jelasin, strategi kalian tadi gimana?" kini Dareen membuka pembicaraan itu kembali. "Gue belum nyusun, masih pengen ngobrolin sama lo enaknya gimana. Gue liat potensi Orion itu besar, karakter yang kuat dan anggota yang banyak udah jadi nilai plus buat kita. Kesempatan kita buat nyari tahu keberadaan pelakunya akan semakin besar, pasukan kita banyak," jelas Adelard. Jehan masih bisa mendengar jelas bagaimana penjelasan Adelard kepada Dareen. Orion terdengar sangat asing di telinganya, tapi ia yakin bahwa Orion adalah suatu kelompok tertentu, seperti kelompok mata-mata, mungkin? Pikirnya. Nyali Jehan semakin menciut. Ia takut jika dalam waktu dekat mereka akan mencurigainya. Ia belum siap dengan konsekuensi yang akan ia dapat, kembali hatinya remuk. Jehan segera pergi ke kamar Adelard. Ia menatap kamar yang persis berjejer disebelah kamar Adelard. Kamar yang katanya adalah milik Harun Arsenio, pria yang pernah menanggung biaya hidupnya, yang tak ia ketahui bagaimana keadaannya saat ini. Yang Jehan tahu saat ini Harun tengah terbaring sakit. Ingin rasanya ia berlari menghampiri Harun dan bersujud di hadapannya untuk memohon ampun. Ah, tidak. Sudah terlalu sering ia melamun dengan bayang-bayang kesalahan hingga membuat aktivitasnya terganggu. "Ah, kalo aku banyak ngelamun gini kopinya bisa dingin. Ayolah Jehan jangan lemah!" Ia segera mengakhiri pikiran negatifnya, buru-buru ia membuka kenop pintu kamar Adelard. "AKHHHH!!!" pekik Jehan membuat ketiga laki-laki yang tengah asik mengobrol itu terkejut. . . (Bersambung)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD