2. Decision

2069 Words
Hari semakin larut, tetapi Dareen masih terus berkutat dengan laptop didepannya. Matanya mulai memerah dan perih, kantuk pun turut datang menandakan bahwa ia sudah lelah. Sesekali ia melirik jarum jam, ah, masih 1 jam lagi. Namun, tak apa, lagipula ini juga bukan pekerjaan yang amat berat. "Permisi, Pak Dareen. Apa perlu saya buatkan kopi?" tanya seorang Office Boy yang kebetulan lewat di depan ruangan Dareen. Dareen menggeleng, "Enggak usah, abis ini saya pulang." Setelah satu jam lamanya Dareen berkutat dengan pekerjaannya itu, akhirnya ia bisa bernapas lega dan segera mengemasi barangnya untuk pulang. Tiba-tiba gadis cantik berambut hitam legam datang dengan langkah kaki yang di hentakkan berulang kali, membuat Dareen menatapnya sinis sekaligus heran. Gadis itu membanting tas kecil miliknya di atas meja kerja Dareen. Bibirnya yang sengaja dikerucutkan membuat Dareen menerka bahwa gadis ini tengah kesal. "Reen, kenapa handphone kamu nggak aktif, sih?" bentak gadis itu. Dareen mendengkus kasar. Upayanya untuk segera menyelesaikan pekerjaan agar bisa cepat istirahat pun sirna. Kini ia harus berhadapan dengan Naura, kekasihnya yang sangat bawel dan banyak menuntut. "Ra, kamu tau, kan, aku lagi kerja?" tanya balik Dareen. Gadis itu memicing lalu memperhatikan tubuh Dareen dari atas sampai bawah, meneliti setiap jengkal tubuh Dareenーmelihat kemeja Dareen yang kusut serta mencium aroma tubuh Dareen. Lagi-lagi Dareen hanya bisa membuang napasnya malas. Kekasihnya ini memang sangat sering curiga padanya. Sebenarnya Dareen sudah malas dengan kelakuan Naura, bahkan Dareen sudah pernah memutuskan hubungannya dengan Naura. Namun, Naura terlalu keras kepala untuk menerima keputusan sepihak dari Dareen. Naura sangat mencintai Dareen dan Dareen tahu tentang itu, tapi yang tak Dareen suka adalah sifat Naura yang selalu membatasinya untuk bergaul dan kerap curiga. Kini Dareen mendekap tubuh gadis dihadapannya itu. Mengesampingkan ego adalah tugas hariannya. Ia sering menahan amarahnya demi Naura, ia akan selalu memeluk Naura ketika Naura sedang marah. "Bisa nggak, sih, kamu kasih waktu sedikit aja buat aku?" Naura mendongak meminta jawaban Dareen. Dareen mengangguk paham, "Besok kita belanja, oke? Kamu dandan yang cantik." Naura segera melepaskan pelukannya. Bukannya bahagia, Naura malah semakin cemberut hingga membuat Dareen semakin kebingungan. "Kenapa nggak sekarang aja? Kan kamu udah selesai kerjaannya." Tak bisa mengelak, Dareen akhirnya menuruti permintaan Naura. Apalagi setelah Dareen membantah bahwa tidak ada Mal yang masih buka saat ini, tapi lagi-lagi Naura mengelak dan mengatakan bahwa ada satu-satunya Mall disekitar sini yang buka selama 24 jam. Padahal kantuk dan lelah sudah menghampirinya sejak tadi, tapi apa daya, Naura selalu merepotkan dirinya. Mal kota besar ini baru saja mereka datangi. Dengan senyum yang dipaksa, Dareen selalu mengiyakan apa saja yang Naura minta. Ia akan membiarkan kekasihnya itu memilih semua barang yang diinginkannya. Terhitung sudah banyak uang yang dikeluarkan oleh Dareen untuk Naura, bahkan lebih banyak daripada kebutuhannya sendiri. Dareen sadar bahwa hubungannya ini toxic, tapi lagi-lagi ia tak dapat lepas dari Naura. Sambil melepas penat dan membiarkan Naura tengah asik berbelanja, Dareen menyempatkan diri untuk membuka ponselnya. Selama setahun ia mengambil peran untuk memegang kendali perusahaan, rasanya sangat jarang bagi Dareen untuk sekadar bermain sosial media. Tiba-tiba satu pesan datang untuknya, menampilkan nama Galen di sana dengan satu baris pesan. Galen : [Lo pulang atau enggak?] Dareen mengacak rambutnya, sebenarnya ia sangat ingin pulang. Namun, Naura terlalu menekan dan membuatnya lelah. Galen : [Kok dibaca doang?] Satu notifikasi lagi berhasil membuyarkan lamunan Dareen. Dareen : [Gue pulang ke apartemen. Lo tidur, jangan begadang terus!] Galen : [Padahal Adelard pulang bawa cewek.] Dareen : [Hah?] Galen : [Makanya lo pulang, jangan bucin terus.] Dareen bergeming memikirkan pesan yang baru saja Galen kirimkan. Cewek? Adelard punya pacar? Kira-kira itu pertanyaan yang mengelilingi kepalanya. Kini pandangannya beralih pada Naura yang masih asik memilih pakaian. Dareen menggeleng heran. Entah sampai kapan Naura akan bersifat seperti ini, boros dan banyak menuntut. "Ra, udah?" Dareen menampakkan wajahnya yang kusut dan lelah. Setelah berhasil meyakinkan Naura untuk berhenti belanja dan segera pulang, akhirnya Dareen bisa bernapas lega. Menyetir mobil di jalanan yang sudah mulai sepi membuat kantuknya datang, Dareen pun menyiasati dengan memutar lagu secara acak. Sesekali ia menyeruput kopi di dalam cup yang sudah ia beli sebelum keluar dari Mal tadi, serta mengikuti irama lagu yang sebetulnya tak begitu ia pahami. Naura yang tengah asik melihat-lihat pakaian yang baru saja ia beli pun tiba-tiba meremasnya dengan kasar. "Kamu sengaja nyindir aku lewat lagu ini?" Dareen yang sekali lagi menyeruput kopinya pun hampir tersedak. "Apalagi?" Dareen hampir pusing. Mengapa wanita selalu susah dipahami? "Coba kamu puter ulang beberapa bait lagu itu!" Terdiam, Dareen hanya bisa menatap pasrah dengan tatapan penuh pertanyaan. Benar, Naura sangat menguras tenaga dan emosinya. Tanpa mau repot-repot bertanya apa alasan Naura yang tiba-tiba marah dan memerintah dirinya, Dareen pun segera memutar ulang beberapa bait lagu tersebut. 'Don't want no fake tan, short skirt, daddy's money don't work. Shop until you drop on the town.' Dua bait lirik tersebut berhasil memenuhi telinga Dareen. Jika tadi ia tak merasa ada yang aneh karena tujuannya mendengarkan musik adalah untuk menghilangkan kantuk, kini ia bisa merasakan jika lirik tersebut sangat cocok disematkan untuk Naura. Dareen mendelik, ada sedikit tawa yang hampir keluar. Namun, sebisa mungkin Dareen menahannya dan pura-pura tak mengerti akan maksud dari lirik tersebut. "Kamu nyindir aku?" tanya Naura memastikan sekali lagi. "Maksudnya?" "Enggak usah pura-pura, kamu pasti paham, kan?" "Aku enggak ngerti bahasa inggris." Konyol, sebuah alasan sederhana yang sangat tidak tepat. Naura mengenal Dareen, si pengusaha muda dengan segudang prestasi yang sebelumnya telah menyelesaikan jenjang S1 nya di luar negeri. Kini sedang beralibi dengan dalih bahwa dirinya tidak bisa berbahasa inggris, rasanya cukup aneh. Naura berdecak, "Sayangnya kamu enggak pinter bikin alasan." "Ya udah, iya. Aku minta maaf, aku enggak maksud nyindir kamu lewat lagu itu. Aku puter lagunya juga asal, kok." Butuh waktu 15 menit bagi Dareen untuk bisa meyakinkan kekasihnya itu bahwa ia benar-benar tidak sengaja memutar lagu tersebut. Kejadian seperti ini lagi-lagi menguras emosi Dareen, hal sekecil ini bisa menjadi masalah besar jika ada Naura. Setelah mati-matian dan beribu-ribu kata maaf serta bujukan yang Dareen ucap, kini ia telah berhasil meyakinkan Naura bahwa hal itu terjadi bukan karena kesengajaan. Serta akhir dimana ia bisa bernapas lega karena kekasihnya itu sudah mendarat dengan selamat di kediamannya. Kini laki-laki dengan gaya rambut blonde itu sukses menginjakkan kaki di rumahnya. Dareen kembali teringat dengan pesan singkat yang dikirimkan oleh Galen tadi, membuatnya buru-buru untuk masuk ke rumah. "Gal," panggil Dareen dengan nada seperti menagih janji. Seperti sudah paham, Galen memberi isyarat dengan mengarahkan pandangannya pada pintu kamar yang ada disebelah kiri. Dengan cepat, Dareen pun langsung menghampiri kamar tersebut. Jehan, gadis yang hampir tertabrak oleh Adelard itu tengah tertidur pulas di ranjang berukuran medium dengan selimut yang melekat ditubuhnya. Dareen menatap tajam-tajam gadis polos yang terlihat pucat dan menyedihkan itu. "Panggil Adelard," pinta Dareen pada Galen. "Kenapa?" Belum sempat mengiyakan perintah Dareen, Adelard pun sudah datang dengan ekspresi andalannya, wajah datar. "Kenapa Galen harus manggil gue?" tanya Adelard lagi. "Dia siapa? Abis lo apain? Jangan macem-macem, lo masih SMA." Adelard tersenyum geli lalu terkekeh diakhir. "Mana mungkin gue macem-macemin cewek. Buat apa?" "Ya enggak ada yang tau, semua manusia pasti punya nafsu jahat yang tersembunyi di relung hatinya." "Gini, gue jelasin. Tadi gue hampir nabrak dia di jalan. Ini cewek nyebrang asal, tapi dia keburu pingsan karena dia demam. Alhasil gue bawa dia ke rumah sakit, dan yang paling jadi masalah adalah dia pindah kesini sendirian dan nggak punya tempat tinggal. Gue harus gimana selain ngajak dia pulang ke rumah?" jelas Adelard panjang lebar. "Papa tau soal ini?" "Enggak." "Apapun alasannya, besok pagi masalahnya harus kelar. Suruh dia pindah dan cari tempat tinggal, gue enggak mau ada orang asing di rumah kita," tegas Dareen. Tak ada respon dan tak mau ambil pusing, Adelard langsung pergi meninggalkan kedua saudaranya itu. Lebih-lebih Adelard tak merasa berdosa karena membawa gadis asing ke rumahnya, lagipula ia juga tak melakukan hal buruk. *** Cahaya matahari yang cukup terang dan hangat berhasil membangunkan Jehan dari mimpi indahnya. Kepalanya masih terasa berat, tapi ia berusaha untuk bangun sambil terus mengerjapkan matanya. Jehan mengamati ruang kamar bernuansa monokrom yang terlihat sangat rapi, sederhana, dan elegan ini. Sebuah lukisan bunga berukuran sedang menjadi satu-satunya hiasan dinding yang melekat di ruangan. Kamar tamu ini terlihat jauh lebih besar dari ukuran kamar Jehan. "Permisi, Non." Bi Arum datang membawakan segelas air dan makanan untuk Jehan, membuat Jehan membuyarkan lamunannya tentang ruang kamar ini. "Bibi, cowok yang tadi malem kemana?" "Eh, Non Cantik. Pagi-pagi udah nanyain Den Adelard, kangen, ya?" goda Bi Arum. "Bukan gitu, Bi. Aku cuma ...," ujar Jehan. "Udah makannya?" potong Adelard yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Lagi, tatapan dingin itu selalu dia berikan kepada Jehan, membuat nyali Jehan menciut seketika. "Siapin makan buat Papa, abis itu ajak Papa ke taman biar gak jenuh." perintah Adelard pada Bi Arum. "Siap, Den." Bi Arum meletakkan nampan berisi makanan di atas nakas, setelahnya ia pergi meninggalkan Jehan dan Adelard. Hati Jehan bergetar tatkala ia mendengar kata 'Papa' yang baru saja dilontarkan Adelard. Rasa bersalah kembali hadir di dalam benaknya, entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Kini hanya menyisakan Adelard dan Jehan di ruangan ini. Entah kenapa jantung Jehan berdegup kencang saat Adelard menatapnya tajam, seolah Adelard tahu bahwa ada hal besar yang disembunyikan oleh Jehan. "Kenapa gak dimakan?" "Bibi baru aja dateng, jadi aku belum sempet makan." "Cepet makan," perintah Adelard dengan suaranya yang tenang dan tatapan datar. Jehan mengangguk paham, dengan segera ia melahap nasi beserta lauk yang telah dihidangkan Bi Arum. Tak lupa Adelard yang masih diam menatapnya, membuat Jehan sedikit canggung. Jehan sesekali menatap Adelard yang masih setia berdiri di hadapannya seperti seorang pelayanan yang tengah menjaga seorang Tuan Putri. Dengan buru-buru Jehan meneguk air, lalu kembali menatap Adelard. "Kamu mau ngapain?" Belum sempat menjawab pertanyaan Jehan, dari arah pintu terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Dareen dan Galen datang untuk menemui Jehan. "Gue kakaknya Adelard, atas nama dia, gue minta maaf karena dia udah nabrak lo." Dareen mengulurkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke arah Jehan. "Hampir nabrak," koreksi Adelard. "Apa ini, Kak?" tanya Jehan tak mengerti dengan apa yang baru saja Dareen lakukan. "Lo pindah kesini, kan? Sendiri? Lo bisa pakai uang ini buat cari tempat tinggal," jelas Dareen. Jehan menelan saliva nya kasar, lalu menatap ketiga laki-laki dihadapannya secara bergantian. Tatapan mereka seperti tak menyukai keberadaan Jehan. Memang ia hanya orang asing, harusnya Jehan sadar diri, bukan? Namun, bukankah ini alasan Jehan datang ke kota? Jehan terus memutar otak, ia benar-benar tidak tahu opsi apa yang akan ia pilih selanjutnya. Ia terlalu buru-buru untuk datang ke kota dengan hanya berbekal pada keyakinannya untuk menebus kesalahan yang sama sekali tak ia lakukan. Apakah ia harus menerima uang pemberian Dareen dan pergi meninggalkan rumah ini, atau tetap singgah dengan alasan yang belum berhasil ia dapatkan? "Kok diem aja?" tanya Galen, "kita mau sekolah, loh. Entar telat." "Aku ... boleh tinggal disini? Maksud aku, aku disini bener-bener sendirian. Aku nggak tau harus kemana. Aku tinggal disini juga bukan mau numpang, tapi aku bakal kerja di rumah kalian." Satu alasan berhasil keluar dari mulut Jehan, harap-harap ketiganya akan menerima dan tak menaruh curiga. Dareen menatap kedua adiknya bergantian. Setelahnya ia menatap Jehan dan mengangkat dagu gadis itu agar ia bisa melihatnya. "Orang tua lo kemana?" "Udah nggak ada, mereka udah meninggal." "Keluarga lo yang lain?" "Ah, udah deh, Kak. Kalo lo tanya dia mulu, kita bakal telat! Udah biarin aja dia disini, lumayan kan bantu-bantu Bibi," tukas Galen. Dareen memperhatikan jam tangannya, benar, sebentar lagi ia akan telat masuk kantor, dan kedua adiknya akan telat masuk sekolah. "Ayo kita jalan," ujarnya sambil menatap Jehan sinis lalu keluar diikuti Galen dibelakangnya. Jehan bergidik. Tatapan Dareen seperti memiliki makna tersendiri, lain dengan tatapan Adelard yang terlihat jutek dan tidak ramah. "Inget, ya. Kita udah ngasih lo kesempatan disini, lo harus bikin kita percaya sama keberadaan lo sekarang. Karena sebelumnya kita sulit buat nerima orang asing kayak lo," lirih Adelard. "... Satu hal lagi, keluarga kita punya trust issue sama orang asing. Kita punya trauma mendalam sejak Mama meninggal. Gue harap lo enggak berani macem-macem di keluarga kita." Jehan terdiam, hatinya lagi-lagi panas. Benar dugaannya, keluarga ini pasti sedang tidak baik-baik saja. Kehilangan seorang Ibu, magnet paling kuat dalam keluarga adalah patah hati paling besar. "Iya, terima kasih karena kamu dan saudara kamu udah mau nerima aku." Tanpa ada respon, Adelard pergi begitu saja dari hadapan Jehan. Meninggalkan Jehan dan isi kepalanya yang berkecamuk, antara bertahan atau tidak, tapi ia sudah terlanjur terjebak di dalam jurang. . . (Bersambung)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD