4. Kejadian Yang Tidak Terduga

1683 Words
Dua orang pria tengah duduk di kursi empuk masing-masing. Rambut mereka di capit oleh penjepit berwarna merah. Dua orang setengah pria setengah wanita sedang memegang kuas makeup dan ada kaca serta koper berisi berbagai makeup yang sengaja di sediakan. Jemari mereka yang lentik baru saja di pasang nail art berwarna coklat bergerak lincah memoles penampilan kedua pria yang menjadi kliennya ini. Seakan sebuah sihir ajaib. Wajah yang semula memiliki garis halus. Bulu-bulu kumis dan janggut sirna. Kini tinggal tatanan rambut yang di buat berbeda dan terlihat seperti kids milenial zaman now.  Hair spray dan pomade sudah di aplikasi ke rambut hitam yang sudah mereka potong sebelumnya. "Silahkan kalian lihat di kaca!" Suara yang di buat nyentrik mempersilahkan klien mereka melihat hasil ajaib ini. Mereka berdua memandang sebuah kaca. Seakan tidak percaya bahwa yang di tampilkan di cermin adalah wajah mereka. "Ini serius?" Pria bertubuh kurus ini memandang orang yang tadi sudah mendandaninya. "The power of makeup, Tuan!" ujar profesional hair stylist dan make over asal Jakarta. Mereka tinggal memberikan sentuhan akhir saja. "Hua … terima kasih sudah mengubah kami!" Dia terlihat sangat senang. Terus saja memandang kaca dan merapikan tatanan rambut. "Bagaimana, Bi? Bagus, kan, ide gue?" Dia tersenyum lebar pada sahabatnya. Pria dingin yang di panggil dengan sebutan Bi itu malah diam. Dia juga mengagumi hasil akhirnya. Tapi ide ini sungguh sangat gila. Membolos bekerja demi menyamar. Ia menganggapnya buang-buang waktu saja. "Jangan diem aja Lu. Gue bantu kan demi menang taruhan! Bilang makasi kek!" Dia mengerucutkan bibir. Merasa kecewa karena sahabatnya ini tidak merespon apa-apa. "Iya. Makasih! Ayo kita berangkat!" jawabnya ketus. "Ini sentuhan akhirnya Tuan, sesuai keinginan kalian." Dua seragam putih abu-abu telah di siapkan untuk di pakai dua pria dewasa ini. Kini setelah mereka mengenakan pakaian seragam, tampilan mereka menjadi seperti anak milenial zaman now. "Bagaimana? Sudah seperti anak ABG?" tanya pria yang sangat antusias itu. "Sudah, Tuan Alex!" Dua profesional make over itu mengacungkan jempolnya. "Mulai hari ini, setiap pagi dan selama hari sekolah, kalian akan mendandani kami layaknya anak SMA!" ujar Alex yang bersemangat karena merasa kembali lagi muda. "Siap, Tuan!" Rezeki mengalir bak aliran air. Mengubah penampilan dua pria dewasa ini tidaklah murah. Mereka di bayar sangat mahal, sebanding dengan hasil menakjubkan yang mereka berikan. "Tuan Biyan menakjubkan sekali. Anda sangat tampan!" Biyan mendapatkan pujian.  Mulai saat ini pria dingin yang kurang belaian istri ini mulai beraksi untuk menjalankan misi mencari sugar baby. Biyan sekali lagi menatap kaca. Memperhatikan tubuhnya yang tinggi dan sixpack terbalut seragam putih abu-abu.  "Anak SMA yang sangat sempurna. Anda akan jadi idola banyak gadis di sekolah!" puji dua orang make over itu lagi. "Kalo gini caranya. Lo bakal cepet dapet sugar baby. Tapi masalahnya, si gadis sugar baby ini, harus tau nanti identitas Lo yang udah om-om. Wkwkwkwk …." Alex menepuk pundak Biyan, sahabat sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah atas. Meski sikap Biyan selalu dingin dan tidak terbuka, tapi Alex lah yang benar-benar tahu apa yang terjadi, apa yang di alami, dan apa yang di butuhkan Biyan. Alex sahabat yang paling pengertian di antara semua anggota geng mereka. Mereka berdua berjalan cool meninggalkan galeri milik dua profesional hair stylist dan make over itu. Hendak menaiki mobil tapi Alex menahan langkah Biyan. "Ya kali Lo mau naik mobil berplat B 1 YAN ke sekolah anak Lo. Yang bener aja? Mau ketahuan? Pake mobil gue aja!" Alex mengingatkan bahwa penyamaran mereka harus totalitas. Sekolah yang akan mereka datangi adalah tempat anak Biyan bersekolah. Alex sudah menyiapkan semuanya. Membantu Biyan dari mulai mencari seragam sekolah, buku-buku, tas, sepatu, orang yang memake over mereka, hingga mendaftarkan mereka berdua ke sekolah. Nama samaran mereka, Biyan adalah Gibran dan Alex sebagai Gunawan.  ~LianaAdrawi~ Seorang gadis cantik berambut coklat tengah membawa tumpukan buku tugas-tugas mata pelajaran biologi milik seluruh teman kelasnya yang sudah ia kumpulkan tadi sebelum bel berbunyi. Dia memasuki ruangan guru dan mencari meja yang menjadi tempat guru biologi duduk. Pria dewasa berambut hitam dan berkumis tengah duduk melihat kedatangan gadis itu dari mulai datang hingga kini berada di hadapannya. Dia mengucapkan terima kasih seraya mengusap jemari lentik yang tengah merapikan tata letak buku. Matanya berkedip sebelah saat sang gadis meliriknya yang sedang mengusap halus kulit mulus gadis yang nama di name tagnya bertulis Jesica. Jesica kaget atas perlakuan guru Biologi ini padanya. Mengusap tangannya halus serta mengedipkan sebelah mata. Ingin rasanya ia marah, tapi urung untuk di lakukan. Lihat saja, jika berani berbuat lebih, Jesica akan melaporkan guru baru ini ke pihak sekolah. Jesica bergerak cepat meninggalkan ruang guru yang terlihat sepi. Dia tidak mau jika guru itu mencuri kesempatan dan berbuat yang lebih gila lagi dari hal tadi. Mata Jesica membulat dan konjungtiva dia memerah. Dia bergegas kembali ke ruangan kelasnya. Seorang gadis tengah berjalan membawa dua botol minuman yang ia beli di kantin. Melihat temannya yang sedang berjalan cepat dan terlihat mengepalkan tangan, gadis itu segera berteriak. “Jesica … Jesica. Tunggu gue, Jes!” Jesica menoleh dan berhenti untuk memeriksa siapa orang yang memanggilnya. Dari suara yang ia dengar, suara itu memang milik orang yang ia kenal dan merupakan sahabatnya. “Rahma!” panggilnya pada gadis yang kini berlari mendekat. Mereka sekarang berdiri di taman sekolah yang menjadi akses jalan menuju kelas dari ruangan guru. Nafas Rahma tersengal-sengal saat sampai di hadapan Jesica. “Je- Je- Jes. Udah ke ruang gurunya?” “Udah,” jawab Jesica ketus. “Lo kenapa, Jes?” Rahma melihat ada kemarahan di mata Jesica sahabatnya. “Lo marah ama gue?” “Bukan, Rahma!” Jesica meraih satu botol minuman yang di bawa Rahma lalu membuka tutupnya kasar dan meminumnya hingga hampir tandas. “Lo aus?” Rahma masih mengatur nafasnya yang tersengal. Berdiri di samping Jesica sambil melihat burung-burung yang bertebrangan di taman. “Lebih tepatnya aus dan emosi?” Jesica menggelengkan kepalanya. “Ada apa? Ceritain ke gue dong!” Rahma menepuk pundak Jesica. Kali ini dia sangat penasaran. Jesica menghembuskan nafas kasar. “Guru biologi baru itu genit ke gue. Ngeselin!” Jesica melempar botol minuman yang isinya sudah tandas begitu saja dengan keras. Dua orang pria tengah berjalan dengan cool layaknya model yang berjalan di catwalk. Tidak ada yang memperhatikan mereka memang. Tapi, keduanya serasa terlahir kembali setelah memasuki gerbang sekolah menengah atas di kawasan Jakarta yang menjadi tempat anak-anak pintar bersekolah. Masa dimana umur paling terindah dan kegiatan paling berkesan adalah masa-masa SMA. Suasana taman yang rindang dan hawa yang sejuk karena pepohonan menambah kesan nyaman di hati keduanya. Mereka terlalu sering menghirup hiruk pikuk jalanan ibu kota Jakarta yang macet, berkas-berkas di kantor yang menumpuk dan lingkungan rumah yang hanya di singgahi kala malam dan pagi datang.  “Au ….” Pria bertubuh proporsional yang sudah tampil tampan dan stylish itu berteriak kesakitan. Dia berjongkok dan meraih botol minuman yang tadi mengenai kepalanya. Cukup sakit memang. Ini hal yang paling menjengkelkan dan sambutan kedatangan paling konyol yang ia rasakan. Ia melirik ke arah kanan dan kiri. Mencari orang yang melemparkan botol bekas ini sembarangan hingga mengenai bagian kepala. “Botol kepunyaan siapa ini, di buang sembarangan, awas saja, habis bersih orangnya kalo ketemu!” Sahabat yang tadi berjalan di sampingnya memperhatikan bagian kening pria itu yang sedikit memerah. Ia takut makeup sahabatnya hancur atau otaknya sedikit bergeser. “Sakit kaga?” tanyanya sambil meniup-niup bagian kening. Jesica yang sudah melempar botol bekas minumnya. Mendengar teriakan orang yang meringis kesakitan. Jantungnya seketika berdegup kencang. Perasaannya mengatakan bahwa botol yang ia lempar tadi mengenai orang yang tengah berjalan. “Jes, Jes. Jangan-jangan, botol yang Lo lempar itu nimpuk pala orang, Jes!” ujar Rahma yang panik. Mereka melirik dua orang pria di balik rumput pagar taman. Jesica sampai mengeluarkan keringat dingin kala sudah melihat pria yang menjadi korban lemparan botol bekasnya. “Aduh, Jes. Tuh, kan, nimpuk pala orang, Jes.” Rahma menunjuk pria yang sedang berjongkok memegang keningnya yang sakit dan meraih botol. Pria itu melirik ke arah mereka berdua. Rahma segera memegang pundak Jesica, menariknya agar mereka berjongkok dan tertutup pagar taman yang di tumbuhi rumput merambat agar tidak terlihat oleh kedua pria itu. “Kita merangkak sampai ke kelas!” ajak Rahma pada Jesica yang hanya diam karena takut di marahi. Jecica akhirnya mengikuti Rahma yang merangkak sampai ke kelas agar tidak ketahuan oleh kedua pria tampan itu. Kaki dan lutut yang di pakai merangkak cepat sampai ke depan kelas terasa lumayan pegal. Jesica dan Rahma diam sejenak meluruskan kaki di teras depan kelas. “Hampir aja ketahuan. Lo, sih. Lempar-lempar botol sembarangan!” Kaki Rahma menyenggol kaki Jesica yang ada di seberangnya. “Maaf, maaf. Gue emosi sama guru biologi yang genit tadi. Gue kira, luapin emosi dengan lempar botol sekencang-kencangnya bakal buat hati gue lega. Eh malah nimpuk orang dan bikin jantung gue mau copot!” Jesica mengatur nafasnya yang tersengal. Panas dingin di sekujur tubuhnya masih terasa. “Mereka lihat kita kita gak, ya?” Rahma mengkibas-kibaskan seragam bagian dadanya agar keringat tidak banyak yang keluar dan dia merasa ada oksigen yang masuk ke bagian kulit d**a. “Kayanya enggak!” jawab Jesica enteng. Perkataan adalah sebuah doa baginya. Jadi dia menjawab pertanyaan Rahma asal. Berharap memang tidak sempat di lihat dua pria tadi.  “Kalo iya lihat? Abis bersih, Lo!” Rahma menakut-nakuti Jesica yang terlihat panik. Dua orang pria berjalan melewati lorong dan mendekat pada dua gadis yang duduk meluruskan kaki menghalangi jalan mereka. “Ehm … ehem … permisi Nona-Nona manis!” ujar salah satu pria yang memakai bet serupa dengan mereka. Seragamnya terlihat baru dan aroma tubuhnya begitu damai terhirup rongga hidung.  Rahma dan Jesica saling pandang lalu melirik sumber suara. Satu pria berjongkok di hadapan mereka dan satu pria berdiri memegang segelas botol minuman kosong. Keduanyna terlihat tampan dan menawan, memiliki tubuh bak artis-artis korea yang sedang bersekolah dan mengenakan seragam SMA. Rahma dan Jesica kembali saling pandang dan menelan saliva mereka susah payah. Saling membulatkan mata dan terperanjat bangun lalu berlari memasuki kelas. Meninggalkan kedua pria yang mengedipkan mata beberapa kali karena heran. “Mereka takut ke kita, apa terpesona oleh ketampanan kita?” Pria yang semula berjongkok berdiri dan menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD