bc

YOUR LIES

book_age16+
299
FOLLOW
2.2K
READ
doctor
drama
bxg
serious
brilliant
female lead
realistic earth
childhood crush
first love
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Menikah sebelum usia dua puluh adalah kesalahan terbesar dalam hidup Riana. Setelah tindakan bodohnya, Bagas berhasil menghancurkan pernikahan mereka dan membuatnya kehilangan calon bayi yang Riana harapkan. Riana kemudian memutuskan meninggalkan Bagas dan melanjutkan hidupnya sendiri tanpa keluarga. Beberapa tahun kemudian, Riana kembali, dan Bagas bertekad memenangkan hatinya sekali lagi. Akankah Riana memaafkannya atas masa lalu mereka yang mengerikan? Ataukah Bagas akan gagal dalam memenangkan hati Riana kembali?

.

.

.

.

Cover by me made with Canva

Image: h****://pixabay.com/id/illustrations/amarah-penolakan-pernikahan-1226157/

Font: Lastica, Josefin Sans

chap-preview
Free preview
Part 1
Riana’s Point of View Aku sedang dalam perjalanan pulang dari Sekolah Menengah Pertama, kemudian aku melihat seorang siswi yang kebetulan satu sekolah denganku tengah di-bully oleh sesama siswa laki -laki. Dan jika dilihat dari seragam mereka berdua sepertinya mereka satu sekolah denganku. Melihat hal itu tentu saja membuatku marah. Melupakan fakta bahwa diriku baru berusia dua belas tahun dan duduk di kelas tujuh, aku segera maju ke depan untuk menghadapi anak - anak nakal itu. "Hei, sudah kubilang beri kami uang!" salah satu dari anak laki - laki pembully berkata lalu menarik kuncir gadis itu. "Di mana uangnya? Berikan kepada kami!" Yang membuatku bertambah terkejut, dia menampar wajah siswi itu begitu keras sehingga meninggalkan bekas merah maroon di pipi kirinya. "Hei!" Aku membentak, melangkah maju. Kelima anak laki - laki itu berbalik, dan gadis itu mendongak, air mata mengalir deras di matanya. Dan setelah kulihat dari dekat ternyata sudut bibir anak perempuan itu berdarah. Kelima anak laki - laki itu mencibir ketika mereka melihat diriku. "Oh," kata anak laki - laki yang menampar gadis itu. Jelas bahwa dia adalah pemimpin dari anak - anak nakal itu. "Itu si Riana, dia adalah anak orang kaya. Bagus sekali. Bagaimana jika kamu yang memberi kami uang? Kamu mungkin memiliki lebih banyak uang dari Sari si jelek ini." Siswi itu Sari, membelalakkan matanya, terlihat jika dia tengah mengkhawatirkanku. Aku bisa membaca pesan dari matanya untuk menyuruhku lari. Tapi aku tidak akan melakukannya. Aku benci ketika orang menindas teman sebaya mereka. Itu adalah cara pengecut dan kejam. Aku selalu membela orang - orang yang mebutuhkan bantuan. Jika mereka menolak untuk meminta maaf, mereka akan segera menyesalinya. "Jadi?" kata anak laki - laki itu, mencibir. "Mana uang kami?" Aku tersenyum manis bagaikan malaikat, "Aku hanya ingin tahu untuk kalian gunakan apa uang dari Sari?" "Jangan banyak bicara kamu, Ri!" salah satu rekannya mengancamku. Dia melangkah maju, berniat menyakitiku. Tapi aku melihat tangannya terangkat untuk menamparku, tapi aku berhasil menahannya kemudian, aku menariknya ke bawah sekuat tenaga, lalu memutarnya tajam ke belakang punggungnya. "OW!" dia berteriak, meringis kesakitan. Dia meringis. Anak yang terlihat seperti pemimpin itu tampak terkejut. Dia jelas tidak menyangka gadis berusia dua belas tahun tahu bagaimana membela dirinya. Aku menatapnya dengan tenang, mengangkat alisku. "Sekarang. Apa kamu ingin meminta maaf kepada Sari dengan tulus, atau aku harus menendang pantatmu dulu?" "Dasar penganggu-," Dia maju ke depan dengan rekan - rekannya yang lain. Karena tidak ada pilihan lain yang tersisa, Aku menendang p****t anak laki - laki yang kutahan tangannya ke salah satu sahabat karib lainnya, lalu membuatnya terjatuh. Aku menghindari tinju pemimpin ke kanan dengan mudah, lalu memegang tangan yang terulur. Aku menggunakannya untuk mendorong dia mundur di atas teman - temannya. Dia mendarat dengan mendengus berat. Dua anak laki - laki yang tersisa tampak ragu - ragu. "Apa yang kamu tunggu?" pemimpin itu menggeram. "Hajar dia!" Pada saat ini, mereka berlima telah pulih dan sekarang maju ke arahku. Aku dikepung oleh mereka, dan mereka mengabaikan Sari. Sari bebas untuk melarikan diri, tetapi dia tidak melakukannya. Sekarang dia tampak ketakutan, aku jadi bertambah kasihan dengannya, kuharap dia tidak mengalami trauma karena melihatku menghajar anak - anak berandal ini. Aku merunduk ketika seorang anak yang bertubuh besar mengayunkan tinjunya ke arahku. Aku menjulurkan kakiku, dan dia tersandung tapi tidak jatuh. Selanjutnya, anak yang kutangkap sebelumnya mencoba menendang wajahku. Dia melakukan kesalahan besar. Aku mundur sedikit, membiarkannya mencoba untuk mendapatkan kembali keseimbangannya setelah gagal menendangku. Sudah terlambat. Kemudian aku menendangnya di p****t, dan wajahnyalah yang mendarat di tanah lebih dulu. Aku tahu aku tidak akan bisa mengalahkan semua anak –anak ini. Mereka adalah lima anak laki - laki kelas delapan yang tidak tahu cara bertarung dengan baik, tetapi tubuh mereka jauh lebih besar dariku. Aku sudah mulai kelelahan setelah mencoba mengalihkan perhatian mereka dari Sari. Beruntung sekali aku segera mendengar suara yang kukenal di belakangku. "Hei!" Kami semua berhenti berkelahi dan melihat sekeliling. Aku menggigit bibir saat melihat kakakku, Raka, bersama teman - temannya Kak Bagas dan Kak Farel, serta adik perempuan mereka Kak Jessi. Aku lega bertemu mereka, tetapi pada saat yang sama, aku tahu kalau aku akan dimarahi lagi karena mencoba menyelamatkan seorang siswa dari pembullyan. "Apa yang kalian mau?" salah satu anak laiki - laki itu bertanya dengan kasar. Kak Raka, Kak Farel, dan Kak Bagas tampak murah. Aku bisa melihat sikap overprotektif keluar dari mereka bertiga. Mereka benci kalau ada orang yang menggangguku. "Yang kalian lawan sekarang adalah adik perempuanku," kata Kak Raka datar. "Aku tidak bisa menganggap kejadian ini tidak ada dan membiarkan adikku sekarat, kan?" Aku hampir mendengus. Kakak laki - lakiku terlalu khawatir padahal aku yakin kalau aku bisa membela diri. Kak Jessica, yang bertubuh mungil dan kecil, berdiri tepat di belakang ketiga anak laki - laki itu. Dia memberku senyuman kecil. "Oh, ya aku ingat. Kamu adalah Raka," kata pemimpin anak laki - laki itu sinis. "Anak yatim piatu yang diadopsi." Lanjutnya. Dia jelas tidak mengenal Kak Raka dengan baik jika dia berpikir bahwa Kak Raka akan terganggu oleh fakta bahwa dia diadopsi. Tapi tetap saja, itu menggangguku. Dia telah menghina kakakku. Dengan geram, aku memelototinya dengan kejam, mengangkat tangan kananku, dan memukul kepalanya dengan keras. "OW!" Dia terhuyung tidak siap ketika aku memukul kepalanya, lalu dia mencoba untuk menyeimbangkan tubuhnya kembali, aku segera menendangnya. Dia jatuh ke belakang. "Dasar ...!" salah satu temannya berkata, dan anak itu memulai kembali pertarungan. Aku menghindari pukulannya dengan mudah, berbalik dan menyikutnya dengan keras. Aku melihat Kak Raka, Kak Farel, dan Kak Bagas bergabung dalam pertarungan kali ini. Aku mundur dari anak laki - laki bertubuh besar, yang tampaknya bertekad untuk membalas dendam pada saya karena menjegalnya tadi. Aku tersudut di tembok yang berada di belakangku, dan tidak ada ruang untuk merunduk ke samping. Aku sudah siap mendapat pukulan di wajah, ketika dia tiba - tiba ditendang ke samping. Aku melihat ke kanan dan melihat Kak Bagas mengerutkan kening. Aku menggigit bibir dengan perasaan bersalah. Lima menit kemudian, kelima anak laki - laki itu berlutut dengan tangan terangkat di udara. Wajah mereka dipukuli dengan parah dan bibir mereka robek serta berdarah. Mereka semua tampak pasrah. Kak Farel dan Kak Bagas berdiri di kedua sisiku, menatap ke arah para anak laki - laki itu dengan dingin. Kak Raka tepat di depanku, menatap mereka dengan jijik juga. Pakaian mereka bahkan tidak kusut. Siswi yang dibully tadi adalah Sari, sekarang dia aman bersama Kak Jessica, yang sedang menghiburnya dengan nada menenangkan. "Jadi, kalian mencoba mencuri uang dari Sari untuk membeli rokok?" Tanya Kak Raka dingin. Kelima anak laki - laki itu mengangguk. Dia akan tahu apa hukumannya jika dia tidak langsung menjawab pertanyaan kak Raka. Mata kirinya membiru, dan tulang pipinya memar. "Apa kalian tahu apa yang kan aku lakukan?" Kakakku bertanya padanya. Anak laki- laki itu tampak khawatir. "Aku akan memberitahu kepala sekolah dan guru," Kak Raka memberitahunya. "Jika mereka tahu kalian mencoba memalak seorang siswi dan menggunakan uangnya untuk membeli rokok, aku yakin kalian semua akan menyesali keputusan itu." Mata ketua dari anak laki -laki itu melotot, begitu pula mata teman- temannya. "Tidak, tunggu!" katanya dengan panik. "Jangan beri tahu Kepala Sekolah dan Guru kami. Kumohon. Aku takut kami akan dikeluarkan. Orang tuaku akan membunuhku!" "Nah, pelajaran yang pantas kalian dapatkan," kata Kak Farel sambil mengangkat alisnya. "Tidak, tidak," pinta ketua anak laki - laki itu dengan putus asa. "Kumohon. Aku akan melakukan apa saja." "Bagus," kata Kak Raka dingin. "Pertama, kalian berlima segera minta maaf pada Sari." Semua anak laki - laki menggumamkan permintaan maaf kepada siswi itu. Kak Raka tampak lega. "Kedua," kak Raka melanjutkan. "Aku akan memberitahumu bahwa aku tidak akan membiarkan ini terlupakan begitu saja. Inilah yang pantas kalian dapatkan karena mencoba menyakiti adik perempuanku." "Tidak, kumohon!" pemimpinnya menangis. "Kami juga akan meminta maaf padanya! Hanya ... kumohon! Jangan beri tahu kepala sekolah! Kumohon! Ayolah Kak! Kami mohon ..." Aku tahu bahwa mengancam mereka adalah salah. Mereka sudah dipukuli sebagai hukuman, dan mereka sepertinya tahu kesalahan apa yang mereka lakukan. Jadi aku melangkah maju untuk menghentikan Kakakku. "Kak Raka," gumamku, menyenggolnya dengan lembut. Dia mengabaikanku. "Kamu pantas mendapatkan lebih dari satu pukulan, dasar bajingan...!” kak Raka memulai. Sebelum dia bisa mengumpat terus dan aku sangat benci mendengar umpatannya, aku menoleh ke lima anak laki - laki. "Pergi," aku memerintahkan dengan penuh otoritas. Kak Raka menatapku dengan heran. Kelima anak laki - laki tampak bingung. Aku mengerutkan kening tidak sabar. "Pergi. Kalian sudah mendapat pelajaran kan? Jangan memalak atau menindas siswa lagi. Sekarang pergi." Mereka bertukar pandangan ragu sebelum bangkit berdiri. Mereka mengambil ransel mereka sebelum lari ke jalan. "Riana!" Kata Kak Raka kesal. "Kamu tahu aku akan menghajar mereka lagi!" Aku menoleh padanya, mengerutkan kening tidak setuju pada kalimat yang diucapkan kakak lelakiku. "Tidak, Kak. Mereka sudah banyak mendapat pelajaran dari kalian. Jadi, lupakan mereka." Ekspresinya berubah tidak percaya. "Kamu bercanda! Padahal aku akan melaporkan kepada kepala sekolah agar mereka dikeluarkan-" "Tidak, Kak," kataku keras. "Cukup. Sekarang harus berjanji padaku kalau kamu tidak akan memberi tahu Kepala Sekolah atau Guru." Kak Raka menatapku tidak setuju. Akhirnya, Kak Jessica angkat bicara. "Riana ada benarnya, Raka. Kamu sudah menghajar mereka. Kamu tahu kalau kamu tidak harus menghancurkan hidup mereka." Raka mengerutkan kening tetapi tidak berbicara. Kak Farel dan Kak Bagas juga tampak tidak puas, tetapi mereka tidak mengatakan apa - apa. "Apa kamu baik - baik saja?" Aku bertanya pada gadis itu. Sari mengangguk. "Terima kasih telah menyelamatkanku. Kupikir aku akan mati." Dia tersenyum. "Kamu tahu Ri, untuk anak kelas tujuh kamu sangat pemberani." Dia mengambil ranselnya, lalu melambai ke arah kak Jessica dan yang lainnya. "Sampai ketemu besok." Dia mulai menyusuri jalan, meninggalkan kami sendirian. "Riana ini peringatan," kata kak Raka tegas, menoleh padaku. "Menurut kamu apa yang tadi kamu lakukan anak kecil?" Aku menggigit bibirku. Raka bertolak pinggang. "Kupikir aku sudah memberitahumu berkali - kali untuk tidak melawan anak yang yang lebih besar darimu lagi? Terutama anak laki - laki. Anak-anak berandal itu bisa saja mengalahkanmu, Riana! Apa yang kamu pikirkan?" "Tapi mereka akan memalaknya bahkan mereka juga memukulnya!" Aku membela diri. "Apa Kakak berharap aku pura - pura tidak melihatnya? Kak Raka tahu kan aku tidak bisa melakukan itu!" Kakakku bersiap membuka mulutnya untuk membalas, lalu menutupnya lagi. Dia melirik Kak Farel dan Kak Bagas, mereka sekarang tampak geli. "Ah, sudahlah Ka," kata Farel, melangkah maju dan meletakkan tangan di pundakku. "Kamu tahu sendiri bagaimana sifat Riana itu. Dia tidak tahan melihat ketidakadilan. Biarkan dia. Kamu harus mengakui, dia cukup berani." Dia menoleh padaku. "Kamu hebat Ri.” Aku tersenyum puas dan membusungkan dadaku bangga. "Terima kasih, Kak Farel." Kak Raka mengernyit, "Berkelahi bukan hal yang harus dipuji Ri." Aku menjulurkan lidah padanya, lalu bersembunyi di balik tubuh besar Kak Farel. Kak Bagas dan Kak Jessica tertawa karena tingkah kekanakanku, tapi aku tidak peduli. Kak Raka menghela napas. "Ya Allah Riana. Nasehat apa lagi yang harus kuberitahu?" Aku mengintip dari balik punggung Kak Farel, "Kak Raka baik - baik saja kan?" Kak Raka menghela nafas lalu mengambil ranselku, yang aku letakkan untuk melawan anak laki - laki tadi. Dia membawanya di bahunya kemudian berjalan sendirian kearah rumah kami. Aku menatap Kak Farel, khawatir. Dia tersenyum padaku dengan hangat dan meyakinkan. Kemudian aku melihat ke arah Kak Jessica. Dia tersenyum padaku kemudian mataku menatap ke arah Kak Bagas. Dia hanya menatapku dengan mata tak terbaca. Cara Kak Bagas melihatku membuatku tidak nyaman. Dia menatapku dengan aneh belakangan ini. Jujur saja aku sudah naksir Kak Bagas sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku masih menyukainya, tapi cara dia mengamatiku dengan saksama membuatku menunduk ke bawah dan tersipu, tidak seperti tingkahku di sekitarnya sebelumnya. Kak Farel, Kak Jessica, dan Kak Bagas adalah saudara yang sangat dekat. Keluarga mereka dan keluargaku, telah berteman sejak lama mungkin sejak aku masih balita. Ayah kami adalah pengusaha sukses, pemilik perusahaan terbesar di Indonesia. Menjadi kaya memang ada batasnya. Om Ardi dan Ayahku keduanya bekerja di Surabaya, sementara kami terjebak di sini, di kota kecil Lampung. Kak Farel sekarang siswa SMA tahun ketiga dan akan segera menyelesaikan pendidikannya. Kak Raka ditahun kedua SMA sedangkan Kak Bagas dan Kak Jessi adalah siswa kelas satu di SMA, dan aku adalah satu-satunya yang terjebak di kelas satu SMP dan itu membuatku frustrasi karena tidak sabar untuk tumbuh dewasa. "Ayo, Ri," kata Kak Farel sambil meraih tanganku. "Aku akan mengantar kamu pulang." "Apa Kak Raka sudah gila?" Tanyaku cemas saat kami mendekati rumah kami. "Tidak," sergah Jessica dan Farel. "Biarpun dia bertingkah seperti itu, kami tahu Raka sangat bangga sama kamu, Ri," kata Jessica. "Karena kami juga bangga padamu. Kamu hebat hari ini." Aku menyeringai. "Terima kasih, Kak Jess." Dia tersenyum. "Tapi jika kamu terus melakukan ini, kurasa kamu akan membuat Kakakmu mati berdiri suatu hari nanti." Aku mendesah. "Aku tahu." "Hei, anak - anak," Dewi itu nama Ibuku yang menyambut kami di pintu. "Kenapa Raka cemberut? Apa terjadi sesuatu?" "Tidak ada apa - apa Tante," kata Kak Bagas, dia berbohong. Dia pandai dalam hal itu, "Hanya saja hari ini sangat melelahkan bagi kami." Dia tersenyum meyakinkan Ibuku. Ibu tersenyum. "Oo begitu. Raka tadi langsung masuk ke kamarnya, sepertinya anak itu sedang mengerjakan PR. Mungkin kamu ingin bergabung, Jess." Ibu mengedipkan sebelah mata padanya, membuatnya tersipu. "Uh… tentu, Tante," kata Kak Jessica, malu kemudian dia menuju lantai atas. Aku menyeringai. Aku tahu bahwa Kak Jessica dan Kak Raka saling suka sejak kami masih kecil. Tapi tak satu pun dari mereka yang akan mengakuinya, jadi kami selalu frustrasi ketika kami melihat mereka ragu-ragu untuk bergerak. "Bagaimana Ibu kalian?" Ibu bertanya pada Kak Farel dan Kak Bagas. "Dia baik - baik saja," jawab Farel. "Ibu merindukan ayah,” Dia mengangkat bahu. "Apa yang bisa Ibu lakukan? Ayah seorang pengusaha, dan diharuskan tinggal di Surabaya sendirian untuk bekerja." "Bagaimana dengan Tante sendiri?" Kak Bagas bertanya lirih. "Apa Tante sudah mendengar kabar Om Aryo?" Ibu tiba - tiba murung, dan dia mendesah. "Om mungkin sibuk. Menjadi pengusaha bukanlah hal mudah." Dia menghapus ekspresi muramnya lalu tersenyum ramah lagi. "Mengapa kalian tidak ke lantai dua dan mulai mengerjakan PR kalian? Tante akan membawa camilan untuk kalian." Kemudian Ibumenghilang menuju dapur. Kami berjalan dengan malas ke lantai dua. Aku melihat tas ransel milikku di depan pintu kamarku. Kak Raka pasti meletakkannya. "Aku ke kamar dulu Kak," kataku sebelum menghilang di dalam kamarku. "Oke Ri," kata Farel dengan mudah. Kak Bagas tersenyum padaku dengan sendu sebelum mengikuti kakak laki - lakinya ke kamar Kak Raka. Dan ketika Aku menutup pintu kamar, aku tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya - tanya apa yang membuatnya tersenyum seperti itu. . . . . .

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
14.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
208.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
191.9K
bc

My Secret Little Wife

read
100.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook