Bab 1 - Bianca Elfira

1451 Words
Bianca Elfira, seorang gadis cantik berusia 22 tahun. Mahasiswi jurusan ilmu gizi di salah satu universitas swasta daerah Jakarta. Hidup sendirian di sebuah kos-kosan sederhana. Tak ada ayah dan juga ibu. Sejak usia 5 tahun, dirinya sudah tinggal di panti asuhan. Bukan tanpa alasan ia tinggal di sana, itu karena ibunya sendiri lah yang meninggalkannya di tempat itu. Jahat. Memang. Bianca selalu saja berusaha untuk melupakan kejadian masa kecilnya itu. Namun, sangat sulit. Berkali-kali kejadian yang ingin ia lupakan itu muncul dalam mimpinya. Wajah ibunya yang tak bersalah sama sekali saat meninggalkannya sendirian di depan panti sampai sekarang membuatnya merasa sedih dan kecewa. Ia tak tahu apa alasan sang ibu meninggalkannya seorang diri di sana. Kadang ... ia berpikir atau memang dirinya bukanlah anak kandung dari ibunya? Makanya ibunya sampai tega meninggalkannya sendirian di panti. Dan untuk ayah, Bianca tak pernah bertemu dengan ayahnya dari kecil. Ibunya bilang kalau ia tak memiliki seorang ayah. Saat itu usia Bianca 4 tahun, dirinya selalu iri kepada kawan-kawannya yang selalu mendapatkan hadiah dari ayah mereka saat pria itu pulang. Sedangkan dirinya hanya bisa menonton dari jauh dan tak bisa merasakan itu semua. Dulu ia tak paham ucapan ibunya dan mengangguk saat ibunya berkata bahwa dirinya tak memiliki ayah, lalu sejak saat itu ia tak pernah lagi menanyakan ayahnya kepada sang ibu karena takut membuatnya sedih. Dan saat ini, diusia 22 tahun dirinya merasa penasaran siapa ayahnya itu. Siap orang yang sudah membuatnya hadir di dunia ini? Jika boleh, ia akan meminta kepadanya agar tak pernah membiarkannya melihat dunia jika harus disakiti seperti ini. Bianca tersenyum miris. Tangannya kembali mencatat mata kuliah yang sedang dijelaskan oleh seorang dosen. "Sstt ... Bi!" Bianca menoleh dan melihat temannya—Saskia—kini tengah menatapnya dengan lekat. "Apa?" bisiknya dengan pelan karena takut menganggu dosen yang sedang mengajar. "Minjem pulpen sama buku dong, lupa bawa gue," ucap Saskia. Bianca memutar bola matanya malas. "Lo kuliah bawa apaan sih? Pulpen sama buku aja nggak bawa, ck!" ucap Bianca seraya membuka tasnya dan mengambil sebuah buku tulis dari dalamnya. Lalu, ia pun mengambil sebuah pulpen dari tempat pensil yang berada di atas meja. Setelah itu, ia pun memberikan dua barang itu kepada temannya. Saskia tersenyum lebar ketika mendapatkan barang yang ia minta. "Thanks!" Bianca menghela napasnya dan lanjut menulis di kertas binder miliknya. Saskia memang sudah biasa seperti itu. Temannya itu tak pernah membawa buku ataupun alat tulis ke kampus. Dan tahu apa yang ia bawa? Saskia selalu membawa make-up miliknya kemanapun ia pergi. Bahkan roll rambut pun ia bawa di dalam tasnya. Bianca sudah tak bisa menasehati temannya itu. Katanya itu adalah passion yang Saskia miliki. Ia merasa sangat tertarik dengan dunia make-up, bukan dengan kuliahnya. Ya, Bianca hanya bisa mengangguk setelahnya. Ia tak berhak ikut campur urusan Saskia, yang penting ia sudah pernah menasehati gadis itu. Saskia juga pernah bilang kalau dirinya terpaksa masuk jurusan gizi karena paksaan dari kedua orang tuanya, sementara dirinya sangat ingin mengasah skill make-up yang ia miliki. Saskia juga ingin menjadi make-up artist terkenal. Bianca jadi berpikir, jika kedua orang tuanya ada bersama dirinya, apakah mereka juga akan memaksakan kehendaknya untuk masa depannya? Seperti yang dilakukan oleh orang tua Saskia? Bianca tersenyum miris. ••• Bianca Elfira's Point of View Aku berjalan cepat setelah mendapatkan panggilan dari seseorang. Dia berkata bahwa dia menungguku di parkiran kampus. Dan jika aku tidak datang dalam 5 menit maka dia akan memberikanku hukuman. Aku menggidik ngeri membayangkan hukuman yang akan ia berikan kepadaku. Sampai aku pun merasakan bulu kudukku meremang. Tetapi, yang aku tahu pasti dia tak akan memberikan hukuman yang menyakitkan, melainkan yang bisa membuat kami berdua kenikmatan. Eh ... apa sih yang aku pikirkan ini? Ah, Bianca berhenti memikirkan hal itu! Bisa dilihat dengan jelas mobil sedan mewah berwarna hitam keluaran terbaru itu terparkir di parkiran kampus. Terlihat sangat mencolok dari sekian kendaraan yang terparkir di sana. Karena kebanyakan mahasiswa atau mahasiswi di sini membawa mobil Agya dan Ayla. Paling mahal juga yang pernah kulihat Fortuner atau Pajero. Aku hanya berharap semoga saja tak ada yang melihatku masuk ke dalam mobil itu. Sebab, pasti orang-orang akan curiga kepadaku. Secara, aku ini bukanlah golongan dari orang kaya. Mereka mengenalku sebagai Bianca yang sederhana. Aku memastikan keadaan sekitar. Masih banyak orang-orang yang berlalu-lalang. Aku jadi takut sekarang. "Hai, Bi ..." Aku memejamkan mata saat mendengar suara yang begitu familiar di telinga. Menolehkan kepala, aku pun tersenyum saat melihat seorang pria yang ingin dekat denganku dari lama. Namun, tentu saja, aku tak pernah tertarik kepadanya. "Hai, Ris, belum pulang?" Mataku melirik ke arah salah satu mobil yang terparkir. Aku yakin, pasti orang yang berada di dalam mobil itu kini tengah menatapku. Memperhatikanku dalam diam. Oh Tuhan, tolong keluarkan aku dari situasi menegangkan ini. "Belum. Buktinya gue masih di sini. Lo lagi nunggu siapa? Mau pulang bareng gue?" Aku tersenyum seramah mungkin. "Ah, gue pulang sendiri, Ris. Mau naik angkot aja nanti." "Oh, begitu, ya? Oke siap, hati-hati di jalan ya, Bi. Kalau ada apa-apa lu bisa telepon gue." Aku tersenyum seraya mengangguk pelan. Haris Raidan Wiraatmaja namanya. Dia adalah pria yang sangat baik. Aku dan dia memiliki hubungan yang bisa dibilang rumit, sebab beberapa kali ia menyatakan cinta kepadaku dan memintaku sebagai pacarnya, namun aku terus menolaknya. Dan ya, sampai sekarang pun dia masih tetap mendekatiku. "Iya, makasih, Ris." "Gue balik dulu, ya? Bye, Bi." Aku menganggukkan kepala. "Dah ..." Aku harus dulu memastikan bahwa Haris sudah pergi jauh. Dan saat memperhatikan motornya sudah tak terlihat lagi dari jangkauan mataku, akhirnya aku pun berjalan lagi menuju mobil yang sudah menungguku sejak tadi. Ketika sudah sampai di sisi samping mobil itu, mataku memandang sekitar, saat aku melihat sekelompok mahasiwsa yang sudah pergi sedikit jauh dari tempatku berdiri, aku pun langsung masuk ke dalam mobil. "Huft ... untung gak banyak orang." "Kamu telat. Tiga menit." Aku menghela napas pelan. Lalu, kutolehkan kepala untuk menatap orang yang berucap tadi. Senyuman lebar langsung aku sunggingkan untuk membuat dirinya terpesona. "Aish, tiga menit doang, Mas." "Kamu tahu 'kan? Saya paling nggak suka kalau ada orang yang telat. Nggak disiplin." "Mas! Kamu pikir aku anak sekolahan apa? Pake segala disiplin, banyak tata tertibnya gitu?" Aku menatap tangannya yang terangkat, lalu menoyor keningku dengan pelan. Dia terkekeh. Aku menatapnya dengan bibir yang cemberut. "Saya nggak suka orang yang telat." "Iya, iya, maaf. Nggak lagi, deh." "Saya sudah bilang 'kan? Kalau telat ada hukumannya." Aku memicingkan mata. "Apa?" Salah satu alisku terangkat saat mengucapkannya. Lalu, dia tersenyum penuh arti. Tak menjawab pertanyaanku, ia langsung menjalankan mobilnya. "Kita akan ke kosanku atau ke apartemenmu?" Ya, aku sudah bisa menebaknya. Pasti hukuman yang akan ia berikan tak akan jauh dari kenikmatan duniawi. Para pria dengan pemikiran primitifnya dan juga hasrat yang besar. Ia tersenyum miring. "Ke tempatmu. Dan ya, saya nggak bisa menginap. Fahira harus check up." Memejamkan sejenak, menahan rasa pedih di dalam hatiku. Kadang, aku melupakan bahwa pria di sampingku ini adalah suami dari wanita lain. Namun, ketika dihadapkan dengan kenyataan, semua itu bagaikan sebuah pisau yang menembus kulit. Menyakitkan. "Kenapa, sih, Mas ... kita nggak ketemu duluan sebelum kamu menikah?" celetukku. Dia tertawa kecil. Matanya menyipit seraya fokus menatap jalanan. Sedikit kerutan tampak di ekor matanya. Ah, pria itu semakin tua semakin tampan. Seperti Keanu Reeves yang aku tonton di sebuah film. Tetapi, tentu saja Mas Hendra tak setampan Keanu Reeves, dia memiliki wajah asli Indonesia. Yang ku suka dari wajah Mas Hendra adalah hidung pria itu yang mancung dan juga alis tebalnya yang setiap kali menatap seseorang bagaikan tatapan seekor elang yang tajam. "Mungkin, jika saya menghitungnya, kamu sudah bertanya seperti itu ratusan kali, Bi." "Kalau kita lebih dulu bertemu, mungkin aku yang akan jadi istri kamu sekarang." "Dan saya akan dicap sebagai om-om yang menyukai anak kecil saat itu. Usia kamu baru menginjak 16 tahun jika itu terjadi." "Udah deh, mulai ... jangan bahas umur, menurutku Mas Hendra tuh masih muda, kok," ucapku seraya tersenyum lebar seraya mencubit gemas pipinya. Perbedaan usiaku dengan Mas Hendra memang lumayan jauh. Saat ini, aku berusia 22 tahun, sedangkan dirinya sudah memasuki usia 35 tahun. Namun, walaupun begitu aku tak terlalu memikirkan perbedaan usia diantara kami. Aku sangat mencintai pria di sampingku ini. Walaupun aku tahu ... bahwa cinta kami adalah cinta yang terlarang. Katakanlah aku sangat jahat, demi kebahagiaanku, aku tega menghancurkan kebahagiaan wanita lain. Biarlah, sesekali aku ingin merasakan rasanya dicintai dan mencintai, sebab sejak kecil kedua orang tuaku saja tak menginginkan kehadiranku di dunia ini. Dan kini, saat aku bertemu dengan Mas Hendra. Rasanya duniaku kembali utuh dan bersinar. Dia benar-benar memberikan apa yang aku butuhkan di dunia ini. Tuhan ... aku tak akan melepaskan pria ini. Aku ingin selalu menjadi miliknya dan dia menjadi milikku. Bisa 'kah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD